Indonesia.go.id - Rumah Honai, Kekayaan Arsitektur Hijau dari Papua

Rumah Honai, Kekayaan Arsitektur Hijau dari Papua

  • Administrator
  • Senin, 26 Agustus 2019 | 21:05 WIB
ARSITEKTUR
  Rumah Adat Honai. Foto: Pesona Indonesia

Hampir setiap suku di Indonesia memiliki kekayaan arsitektur lokal. Bahkan jauh sebelum arsitektur modern di kenal, para leluhur negeri ini telah mengembangkan arsitektur dengan kesederhanaan dan kejujuran material yang digunakan.

Salah satu arsitektur lokal yang masih bertahan hingga kini adalah  Rumah Honai, rumah adat suku Dani yang tinggal di lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Keberadaaan Rumah Honai dapat ditemukan di lembah-lembah dan pegunungan di tengah pulau Papua terutama di ketinggian 1.600 – 1.700 meter di atas permukaan air laut. Selain suku Dani, ada beberapa suku lain yang hidup bertetangga di lembah ini yakni Suku Yali dan suku Lani dengan populasi sekitar 100.000 jiwa.

Honai merupakan rumah mungil yang unik dengan bentuk seperti jamur. Ya, rumah ini memiliki bentuk dasar lingkaran dengan rangka kayu berdinding anyaman dengan atap kerucut yang terbuat dari jerami. Tingginya hanya 2,5 meter yang jika dilihat dari udara terlihat seperti jamur berwarna cokelat kehitaman berjajar di sepanjang lembah. Tak heran jika pertama kali ditemukan  oleh ekspedisi Richard Archbold pada tahun 1938 disebut sebagai Grand Valley.

Kekayaan ilmu arsitektur Honai ini sangatlah unik. Material yang digunakan dalam membuat Honai 100% berasal dari bahan alami yang dapat diperbaharui. Lantai tanah, dinding anyaman dan atap jerami merupakan bahan yang sangat ramah lingkungan. Hal ini menjadi contoh bagi arsitektur generasi sekarang bahwa jauh sebelum dikenalnya ilmu arsitektur hijau, nenek moyang kita di Indonesia sudah menerapkannya.

Bentuk rumah dengan atap menutup hingga ke bawah ini ternyata bertujuan untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak terkena air hujan. Sekaligus dapat meredam hawa dingin agar tidak masuk ke dalam rumah. Rumah ini juga tidak memerlukan jendela mengingat suhu di sana bisa mencapai 10-15 derajat celcius pada waktu malam. Hanya ada satu pintu untuk akses keluar-masuk dengan ventilasi kecil yang aman dari masuknya binatang liar.

Menariknya, meskipun mungil di dalam rumah ada dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Lantai pertama sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan aktivitas keluarga lainnya. Bahkan pada malam hari tepat di bagian tengah pada lantai terdapat galian tanah yang berfungsi sebagai tungku selain sebagai penerangan, bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh.

Sesungguhnya rumah Honai hanya boleh dihuni oleh kaum laki-laki saja. Sedangkan rumah untuk kaum perempuan disebut rumah Ebei dan untuk kandang binatang disebut Wamai. Ketiga jenis rumah ini bentuknya terlihat sama persis, hanya saja rumah bagi para pria ukurannya lebih tinggi.

Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah Honai juga berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan perang atau berburu, tempat melatih anak laki-laki agar menjadi orang yang kuat saat dewasa nanti sehingga dapat melindungin sukunya, tempat untuk menyusun strategi perang, juga tempat mnyimpan segala simbol dan peralatan warisan leluhur. 

Ditilik dari kegunaan rumah Honai di atas, dapat kita simpulkan bahwa selain memiliki fungsi dalam bentuk fisik, rumah adat ini juga memiliki beberapa filosofi penting yang masih terus dipertahankan oleh masyarakat lembah Baliem. Pertama, Honai memiliki nilai menjaga kesatuan dan persatuan yang paling tinggi sesama suku serta mempertahankan budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur untuk selamanya.

Kedua, dengan tinggal dalam satu Honai maka semua orang akan sehati, sepikir dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dan terakhir, rumah Honai merupakan simbol dari kepribadian dan merupakan martabat dan harga diri dari orang suku yang harus dijaga oleh keturunan atau anak cucu mereka di kemudian hari.

Waktu yang tepat bagi kita bila ingin melihat dan mengunjungi Honai adalah ketika Festival Lembah Baliem digelar. Ini adalah festival pertunjukan seni budaya dari masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Lengkap dengan atraksi perang antar suku. Festival ini mulai digelar sejak tahun 1989 setiap bulan Agustus, bertepatan dengan bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.

Satu hal yang menarik lainnya, selain sebagai tempat tinggal, Honai juga memiliki banyak fungsi lain. Ada Honai khusus untuk menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, ada pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di Kampung Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat dua mumi paling terkenal di Lembah Baliem.

Untuk mencapai lokasi ini, kita terlebih dahulu harus menjangkau Bandar Udara Sentani di Jayapura, kemudian melanjutkan penerbangan ke Wamena yang berjarak 27 kilometer dari Lembah Baliem. Beberapa maskapai yang menyediakan penerbangan dari Jayapura ke Wamena di antaranya Trigana Air Service, Express Air, Wings Air, dan penerbangan komersial jenis Cessna superti Susy Air, MAF Aviation, dan AMA Aviation. Jenis maskapai penerbangan itu juga menyediakan rute perjalanan dari Wamena ke Jayapura. (K-HP)