Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang mulai merebak di Tiongkok sejak awal Januari telah memporakporandakan harapan yang sedang bersemi. Optimistis perbaikan ekonomi global 2020, seiring mengendurnya kobaran perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok, ditambah pula kebijakan akomodatif oleh banyak negara, mendadak ambyar. Keyakinan dari para pelaku ekonomi bahwa 2020 akan diwarnai tumbuhnya sektor riil dan sektor keuangan, redup akibat badai corona.
Yang muncul ialah kecemasan global setelah kini wabah Covid-19 melanda 209 negara. Meluasnya pandemi ke seluruh dunia tersebut dianggap membawa pentas ekonomi pada paparan risiko resesi global pada 2020. Ada penurunan permintaan yang beriringan dengan terganggunya proses produksi, akibat terbatasnya mobilitas manusia, sebagai dampak kebijakan pengurangan risiko penyebaran Covid-19.
Kondisi sulit ini diakui Presiden RI Joko Widodo. Presiden mengungkapkan, target pembangunan 2020 tidak akan bisa dicapai dan target pertumbuhan akan ada koreksi cukup tajam. “Saya harus bicara apa adanya. Target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi cukup tajam,” katanya, Selasa (14/4/2020).
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengakui, kuartal II-2020 akan menjadi titik terberat dalam perekonomian Indonesia. Dalam skenario pemerintah, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun ini bisa mendekati hampir nol persen. “Pertumbuhan ekonomi bisa turun 0,3%, hampir mendekati nol atau bahkan negatif growth di minus 2,6%. Untuk kuartal III akan ada recovery di 1,5% dan 2,8%,” katanya.
Berbicara usai sidang kabinet paripurna, Selasa (14/4/2020), Sri Mulyani menyitir perubahan drastis dari proyeksi IMF. Semula, sebelum badai corona, IMF memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,3% di tahun 2020 ini. Kini, direvisi menjadi negatif. “Koreksi bisa minus 2,2%. Atau berdasarkan Fitch Rating Agency, tahun ini mungkin ada di kisaran minus 1,9%," kata Sri Mulyani.
Kondisi ini, menurut Sri Mulyani, akan membuat dunia kehilangan potensi ekonomi yang seharusnya tumbuh USD5 triliun, hampir setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang. Pemerintah, kata Sri Mulyani, mengakui situasi sangat berat. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dulunya dipatok 5,3% akan mengalami tekanan sampai level 2,3%. “Bahkan dalam situasi yang sangat berat, mungkin menurun sampai negatif,” katanya.
Dalam stuasi buruk ini, angka kemiskinan di Indonesia meningkat 1,1 juta orang. Bahkan, dalam skenario terberat, bukan tidak mungkin jumlah warga miskin bertambah hingga 3,78 juta orang. Angka pengangguran yang selama ini sudah menurun, kemungkinan akan mengalami kenaikan. “Dalam skenario berat, ada kemungkinan naik 2,9 juta orang pengangguran baru. Skenario lebih berat bisa sampai 5,2 juta,” kata Sri Mulyani.
Namun ada sedikit titik terang diungkap Bank Indonesia (BI). Dalam keterangannya BI mengatakan, risiko resesi ekonomi dunia terjadi di triwulan-II dan triwulan-III 2020, sesuai dengan pola pandemi Covid-19, dan diperkirakan akan membaik mulai Triwulan-IV 2020. Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2021 akan meningkat didorong dampak positif kebijakan yang ditempuh di banyak negara, selain karena faktor base effect. Base effect didefinisikan sebagai pengaruh perubahan harga konsumen pada bulan yang sama tahun sebelumnya, juga pada perubahan inflasi tahunan pada bulan masing-masing tahun ini.
Kepanikan pasar keuangan dunia yang sempat meningkat tinggi pada Maret 2020, menurut BI, mulai mereda pada April 2020 didukung sentimen positif atas berbagai respons kebijakan yang ditempuh di banyak negara. Risiko pasar keuangan dunia yang berkurang seperti tecermin pada penurunan volatility index (VIX) dari 85,4 pada 18 Maret 2020 menjadi 41,2 pada 14 April 2020.
Volatility (volatilitas) adalah ukuran dasar untuk risiko yang terkait instrumen pasar keuangan. Ia menggambarkan fluktuasi harga aset, dan dicatat sebagai kisaran perubahan harga (selisih antara harga maksimum dan minimum) dalam sesi perdagangan, hari perdagangan, bulan, dan lain-lain. Biasanya kisaran fluktuasi yang lebih luas (volatilitas yang lebih tinggi) berarti lebih tinggi pula risiko perdagangan yang terlibat.
BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat terutama yang terjadi pada triwulan-II dan triwulan III-2020, sejalan dengan prospek kontraksi ekonomi global dan juga dampak ekonomi dari upaya pencegahan peyebaran COVID-19. Perekonomian nasional diperkirakan kembali membaik pada akhir kuartal 3 dan mulai awal triwulan IV-2020 , rebound, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diprakirakan dapat menuju 2,3%.
Pertumbuhan akan berlanjut dan meningkat lebih tinggi pada 2021. Seiring adanya prospek perbaikan ekonomi global, pemulihan ekonomi nasional juga didorong berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah, Bank Indonesia, dan otoritas terkait.
Defisit transaksi berjalan menurut perkiraan BI akan rendah. Ekspor akan menurun sejalan dengan penurunan permintaan dan harga komoditas dunia. Sedangkan neraca perdagangan diperkirakan membaik dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih tinggi akibat menurunnya permintaan domestik dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor. Defisit neraca jasa juga diprakirakan lebih rendah, didorong oleh penurunan devisa untuk biaya transportasi impor serta penurunan devisa pariwisata yang tidak setinggi yang diprakirakan.
Defisit neraca pendapatan primer pun, menurut BI, akan menurun sejalan dengan berkurangnya penurunan kepemilikan asing pada instrumen keuangan domestik. Secara keseluruhan, defisit transaksi berjalan di triwulan I-2020 diperkirakan akan lebih rendah dari 1,5% PDB. Sementara itu, aliran modal asing diprakirakan akan berangsur-angsur kembali masuk ke Indonesia sejalan dengan meredanya kepanikan pasar keuangan global dan membaiknya ekonomi domestik.
Namun secara keseluruhan prospek Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2020 yang tetap baik menurut BI dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal Indonesia. Posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2020 sebesar 121,0 miliar dolar AS, atau setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, dan diprakirakan akan meningkat pada akhir April 2020.
Bank Indonesia berpandangan posisi cadangan devisa tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Namun, presiden mengingatkan untuk tetap waspada dan menyusun sejumlah skenario. "Kita harus siapkan diri dengan berbagai skenario, tidak boleh pesimis dan tetap ikhtiar berusaha. Bekerja keras dalam upaya pemulihan kesehatan," kata Jokowi.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini