Indonesia.go.id - Kaldera Toba, Antara Kesempatan dan Tanggung Jawab

Kaldera Toba, Antara Kesempatan dan Tanggung Jawab

  • Administrator
  • Jumat, 11 Desember 2020 | 05:47 WIB
UNESCO GLOBAL GEOPARK
  Danau Toba di Sumatera Utara ditetapkan sebagai Geopark dengan nuansa berbeda. Foto: Kemendikbud

Bila melihat jarak tiga kali letusan yang mencapai ratusan ribu tahun, rasanya sang ‘raksasa’ Toba ini masih akan meneruskan tidurnya dalam waktu yang sangat lama.

Bak magnet yang terus-menerus menyedot perhatian dunia, Danau Toba bukan hanya menarik perhatian para turis mancanegara. Para pakar bidang pergunungapian pun tak bosan-bosannya bolak-balik ke kawasan itu demi menguak misteri yang masih tersembunyi.

Kekuatan magnet Danau Toba kian nyata ketika Dewan Eksekutif UNESCO dalam sidangnya yang ke-209 di Paris, Prancis, Selasa (2/7/2020), menetapkan kaldera Toba sebagai Global Geopark atau menjadi warisan dunia yang harus dijaga dengan baik.

Duta Besar RI untuk UNESCO Arrmanatha Nasir mengatakan, melalui penetapan ini Indonesia dapat mengembangkan geopark kaldera Toba melalui jaringan Global Geoparks Network dan Asia Pacific Geoparks Network. “Khususnya dalam kaitan pemberdayaan masyarakat lokal yang bermukim di Danau Toba dan sekitarnya,” ujar Nasir seperti dikutip Republika.co.

UNESCO menilai, kaldera Toba memiliki kaitan geologis dan warisan tradisi yang tinggi dengan masyarakat lokal khususnya dalam hal budaya dan keanekaragaman hayati. Dalam konteks inilah, negara anggota UNESCO mendukung kaldera Toba dilestarikan dan dilindungi sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark. Penetapan kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark memberikan kesempatan dan sekaligus juga tanggung jawab bagi Indonesia, khususnya bagi masyarakat setempat.

Penetapan kaldera Toba sekaligus mendorong pengembangan perekonomian dan pembangunan berkelanjutan di kawasan tersebut. Melalui pengembangan geopariwisata yang berkelanjutan, terbuka peluang bagi masyarakat setempat untuk promosi budaya, produk lokal, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Dengan adanya pengakuan dan perhatian dunia terhadap kaldera Toba, pemerintah dan masyarakat setempat berkewajiban meningkatkan dan terus menjaga kelestarian lingkungan dan keutuhan dari kawasan kaldera Toba. Penetapan kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark, merupakan proses panjang dari upaya bersama berbagai pemangku kepentingan. Baik itu pemerintah pusat dan daerah, maupun masyarakat setempat.

Proses persiapan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO bagi kaldera Toba menunjukkan komitmen tinggi dan kerja sama yang baik dari semua pihak di Indonesia sejak awal proses, dari pengumpulan data, menyelenggarakan berbagai workshop, juga penyusunan dan negosiasi dokumen nominasi untuk diajukan ke UNESCO. Kaldera Toba berhasil masuk daftar UNESCO setelah dinilai dan diputuskan oleh UNESCO Global Geoparks Council pada Konferensi Internasional UNESCO Global Geoparks ke-IV di Lombok, Indonesia, pada 31 Agustus-2 September 2019.

 

Raksasa Tidur

Sudah lama Toba digambarkan sebagai gunung raksasa yang sedang tertidur nyenyak. Ratusan ribu tahun silam, tercatat Gunung Toba sudah tiga kali mengalami letusan hebat yang disebut dengan supereruption.   Letusan Gunung Toba terakhir kalinya pada 74.000 tahun silam bahkan membuat lebih setengah permukaan bumi tertutup abu vulkanik selama bertahun-tahun. Kini, jejak peristiwa mahadahsyat itu ditemukan di hampir seluruh permukaan bumi, berupa sisa-sisa abu vulkanik yang menyatu dalam tanah.

Di India, ditemukan jejak abu vulkanik Gunung Toba setebal 12 sentimeter. Debu vulkanik yang terhambur dari Gunung Toba menyelimuti lebih dari separuh permukaan bumi. Hal itu membatasi masuknya sinar matahari hingga mengubah iklim dan memicu gagal panen di banyak belahan dunia. Tragedi berikutnya pascasupererupsi Gunung Toba yang dihadapi manusia yang hidup di zaman itu adalah kelaparan dan kematian.

Itulah sebabnya, tak berlebihan jika lokakarya internasional ke-7 tentang keruntuhan kaldera atau ‘The 7th International Workshop on Collapsed Calderas’, dilaksanakan pada September 2018, di Tuk Tuk, Pulau Samosir, Sumatra Utara. Di sana, para ahli kaldera itu berada persis di tengah-tengah kaldera raksasa dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer.

Di antara pakar kaldera itu, hadir Kepala Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi Kasbani, Vice President International Association on Volcanology and Chemistry of Earth Interior (IAVCEI) Profesor Shanaka de Silva, dan Secretary of IAVCEI Profesor Roberto Sulpizio, pakar Kaldera dari Eastern Illinois University, Amerika Serikat, Craig Alan Chesner, serta puluhan ahli kaldera dari banyak negara lain.

Craig Alan Chesner seperti dikutip Kompas mengatakan, Toba adalah magnet yang sangat kuat bagi para ahli kaldera seluruh dunia. Misteri letusan terakhir Gunung Raksasa Toba pada 74,000 tahun lalu terus mengusik ketenangan mereka untuk menguaknya melalui serangkaian penelitian dan lokakarya ilmiah. “Toba selalu membuat kami rindu untuk datang dan datang lagi. Toba ibarat magnet sangat kuat untuk menguak misteri, sekuat letusannya yang terjadi 74.000 tahun silam,” ujarnya.

 

Laboratorium Terlengkap

Chesner sudah bolak-balik meneliti Toba dan menyebut Toba adalah rumah keduanya. Oleh karena itu, para ahli menjulukinya bapak kaldera dunia. Craig dan koleganya sesama ahli kaldera sepakat, Toba adalah laboratorium terlengkap di muka bumi mengenai kaldera. Pasalnya, warisan letusan gunung itu masih banyak yang bisa ditemukan secara utuh. Menurut mereka, peristiwa 74.000 tahun lalu itu termasuk letusan muda secara geologis.

Penelitian Chesner yang paling fenomenal adalah tentang bathymetric atau kedalaman serta pemetaan dasar air, seperti danau atau laut (pada 2005 dan 2008). Berdasarkan penelitian itu, Chesner menyebutkan, kedalaman Danau Toba tidak rata, tetapi bervariasi, antara 50 meter dan 500 meter. Pengukuran bathymetric yang dilakukan Chesner menggunakan metode pengambilan data kedalaman dengan single-beam sonar. Metode ini memakai proses pendeteksi perambatan suara (frekuensi) di bawah kapal penarik. Selanjutnya, pencatatan perambatan suara itu menghasilkan peta-peta kedalaman air yang akurat.

Penelitian terkini tentang letusan Gunung Toba menyimpulkan, letusan pertama terjadi sekitar 800 ribu tahun silam. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba meliputi daerah Prapat dan Porsea.  Sedangkan letusan kedua memiliki kekuatan lebih kecil terjadi sekitar 500 tahun lalu dan menghasilkan kaldera di sisi utara danau. Tepatnya di daerah antara Silalahi dan Haranggaol. Letusan terdahsyat terjadi 74 tahun silam dan menghasilkan Danau Toba seperti sekarang dengan Pulau Samosir di bagian tengahnya. Letusan yang ketiga inilah yang menarik perhatian masyarakat dunia.

Untuk ukuran gunung super atau supervolcano, letusan dahsyatnya terbilang masih sangat baru. Jejak letusannya pun terbilang masih utuh dan sangat menggoda para ahli kaldera dunia untuk menelitinya terus-menerus. Kedahsyatan letusan gunung api raksasa (supervolcano) Toba itu bersumber dari gejolak bawah bumi yang hiperaktif. Lempeng lautan Indo-Australia yang mengandung lapisan sedimen menunjam di bawah lempeng benua Eurasia, tempat duduknya Pulau Sumatra, dengan kecepatan 7 sentimeter per tahun.

Gesekan dua lempeng di kedalaman sekitar 150 kilometer di bawah bumi itu menciptakan panas yang melelehkan bebatuan, lalu naik ke atas sebagai magma. Semakin banyak sedimen yang masuk ke dalam, semakin banyak sumber magmanya. Kantong magma Toba yang meraksasa disuplai oleh banyaknya lelehan sedimen lempeng benua yang hiperaktif.

Kolaborasi tiga peneliti dari German Center for Geosciences (GFZ) dengan Danny Hilman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Fauzi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2010 menyimpulkan bahwa di bawah Kaldera Toba terdapat dua dapur magma yang terpisah. Dengan dapur demikian, diperkirakan volume magma mencapai setidaknya 34.000 kilometer kubik. Dan itu mengkonfirmasi banyaknya magma yang pernah dikeluarkan gunung ini pada supereruption 74.000 tahun silam.

Penelitian Chesner pada 1991 juga menemukan bahwa magma di Toba masih ada. Kehadiran magma setelah letusan 74.000 tahun lalu bisa dilihat dari munculnya air panas di sisi barat Danau Toba. Lantas, apakah fenomena ini layak dikhawatirkan? Apakah letusan dahsyat kaldera Toba masih bisa terjadi? Para pakar kaldera menampik kemungkinan Kaldera Toba akan meletus dalam waktu dekat.

Bila melihat jarak tiga kali letusan yang mencapai ratusan ribu tahun, rasanya sang ‘raksasa’ Toba ini masih akan meneruskan tidur panjangnya dalam waktu yang sangat lama.

 

 

Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari