Penggunaan panel tenaga surya kini semakin multifungsi. Kini panel surya pun tidak hanya untuk menerangi rumah tangga. Panel surya atau solar cell kini juga sudah digunakan sebagai tenaga penggerak air irigasi.
Benar, panel surya kini telah menjadi salah satu alat untuk solusi pengairan atau irigasi tersebut. Petani pun kini bisa terbebas dari pembelian BBM solar, elpiji, atau bensin. Dan, jawaban dari solusi itu adalah penggunaan pompa air tenaga surya sederhana.
Sebagaimana namanya, pompa air tenaga surya sederhana berfungsi untuk menyedot air dari dalam tanah ke permukaan yang digerakkan dengan tenaga surya. Secara fisik, fungsi dan instalasi pompa air ini tidak berbeda dengan pompa air konvensional.
Ilustrasi di atas adalah gambaran semakin masifnya penggunaan panel surya di tengah masyarakat. Bisa jadi semakin masifnya penggunaannya, karena piranti itu kini sudah semakin terjangkau harganya. Tidak lagi seperti beberapa tahun lampau.
Pemerintah pun menyadari itu. Apalagi, Indonesia juga sudah berkomitmen untuk mengembangkan energi berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) sesuai dengan yang tertera di cetak biru Kebijakan Energi Nasional yang menyebutkan jadwal dan besaran persentase yang harus dicapai, yakni pada 2025 peran energi baru dan terbarukan bisa mencapai 25% pada 2025. Porsi itu naik menjadi 36% pada 2050.
Untuk mengakselerasi pengembangan EBT dan untuk memenuhi tercapainya Bauran Energi 25% sesuai dengan kebijakan energi nasional di tahun 2025, Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan.
Kebijakan itu antara lain Permen ESDM No. 50/ 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan Kepmen ESDM No. 39 K/20/MEM/2019 tentang Pengesahan RUPTL PLN 2019-2028.
Bahkan, untuk mendorong percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan, dapat dilakukan penambahan pembangkit tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan di luar rincian RUPTL PLN 2019-2028 sesuai dengan kebutuhan sistem tenaga listrik setempat.
Dalam konteks pengembangan energi baru terbarukan, penggunaan panel surya yang kini mulai terlihat massif penggunaannya. Pasalnya, Indonesia sebagai negara tropis dengan sinar matahari yang memancar terus sepanjang hari berpotensi besar sebagai sumber listrik terbarukan.
Mulai Menggeliat
Meskipun patut disyukuri kini sudah mulai terlihat menggeliat, sayangnya dalam data, negeri ini masih kecil penggunaan energi berbasis surya tersebut. Penggunaan energi itu ternyata baru di bawah 100 megawatt (MW). Padahal dari sisi potensinya bisa mencapai 207 gigawatt (GW).
Pengembangan energi surya di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura, apalagi bila disandingkan dengan Cina yang sudah mencapai 8.300 MW dan Jepang (6.914 MW). Dan sebagai informasi pengguna tenaga surya dunia saat ini dipegang Jerman dengan kapasitas 32.441 MW, Italia (16.361 MW), dan AS (7.777 MW).
Dari sisi regulasi, pemerintah terus mendorong penggunaan energi surya. Komitmen itu kembali disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan. Menurutnya, saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menggenjot penggunaan energi surya lantaran dinilai lebih efisien dan ramah lingkungan.
Jonan menyebut, pihaknya akan melakukan penyesuaian regulasi yang bisa lebih kondusif untuk pengembangan tenaga surya. Dengan begitu, Jonan berharap sektor industri bisa ikut mengembangkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Atap lantaran menyimpan potensi besar.
"Makanya, saya sangat mendorong pembangunan PLTS di atap-atap. Mereka bisa bangun banyak. Tujuan lainnya juga bisa mengurangi polusi juga," terangnya kepada awak media, Kamis (12/9/2019).
Namun, Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN dinilai masih kurang menarik.
Pasalnya, beleid yang diterbitkan 15 November 2018 tersebut dinilai malah bisa menghambat pengembangan PLTS Atap di Tanah Air, terutama di sejumlah poin di permen tersebut. Misalnya, terkait dengan penghitungan nilai kilo watt per hour (kWh) ekspor-impor yang dikali 65% atau hanya senilai 0,65, bukan 100% .
Pengalian ini berpengaruh signifikan terhadap pengguna PLTS Atap eksisting on-grid (terhubung PLN). Sebab, hampir 90% penggunaan listrik terjadi pada malam hari yang bergantung pada penyimpanan grid atau dari PLN.
Artinya, dengan perhitungan tarif tersebut, nilai keekonomisannya menjadi berkurang. Akibat regulasi itu, sebagian pengguna pengguna PLTS Atap memilih beralih dari on grid menjadi off grid, kendati memerlukan biaya investasi yang lebih mahal.
Hal itu lantaran ada investasi tambahan bagi pengguna off grid, karena membutuhkan baterai. Saat ini, biaya investasi untuk pemasangan PLTS Atap berada dikisaran Rp12 juta-Rp14 juta per kilo watt peak. Bila harus menambah baterai, investasi off grid sekitar Rp20 juta.
Bisa jadi adanya keluhan itu juga telah didengar oleh Kementerian ESDM. Jonan pun menjanjikan revisi terhadap regulasi yang ada sembari menambah aturan khusus untuk mendorong penggunaan PLTS Atap pada bangunan di sektor industri.
"Iya, dalam Peraturan Menteri. Kita sesuaikan aturan supaya industry juga mau pasang PLTS," imbuhnya.
Jonan menekankan bahwa beleid ini tidak akan mewajibkan penggunaan PLTS Atap bagi industri. "Nggak diwajibkan, tapi pasti dia (industri) tergeraklah, karena lebih efisien," katanya.
Pernyataan Jonan juga diamini oleh Dirjen Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto. Kementerian ESDM bersama dengan lintas kementerian terkait, termasuk BUMN dan sejumlah daerah tengah serius untuk memompa permintaan panel surya supaya bisa masuk dalam skala industri.
Sutijastoto menargetkan bisa menciptakan market panel surya sebesar 300 Megawatt dalam setahun. Menurutnya, jika ada market minimal sebesar itu, industri pembuatan panel surya dalam negeri bisa terbangun.
"Solar cell kan masih impor. Kita sedang creating market. Kita ingin ada pabrik dalam negeri tapi baru ekonomis kalau ada market 300 MW. Itu syarat minimal.” (F-1)