Ada sebuah desa di salah satu sudut Indonesia bagian tengah yang memiliki pemandangan alam bawah laut sangat indah ditambah kecantikan pantai berpasir putih halus memukau dengan air laut biru jernihnya. Namanya Desa Mbuang-Mbuang, sebuah kawasan terpencil, tertinggal, dan terluar (3T). Letaknya di Pulau Salue Kecil, Kecamatan Bokan Kepulauan di Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Luasnya hanya 725,67 kilometer persegi (km2) dikenal sebagai kabupaten maritim di Sulawesi Tengah karena sebesar 85 persen luas wilayahnya terdiri dari perairan kaya akan hasil laut bernilai tinggi seperti lobster, gurita, ikan cakalang, kakap, kerapu, dan budi daya rumput laut.
Sebagian besar wilayah Desa Mbuang-Mbuang adalah perairan laut lepas berair biru jernih berombak sedang dikelilingi beberapa pulau karst tak berpenghuni. Luas daratan Mbuang-Mbuang sekitar 200 hektare, didiami oleh 100 kepala keluarga atau sekitar 500 orang. Mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan dan menerima layanan carter perahu wisata serta pemandu wisata di waktu senggang. Mereka juga membuka pintu rumahnya untuk dijadikan homestay.
Terdapat beberapa pantai berpasir putih halus membentang di sekitar Mbuang-Mbuang. Seperti Pantai Pasir Panjang, Pantai Kalambina, dengan karang timbulnya saat air laut menyusut dan Pantai Pingo dengan gugus terumbu karangnya tak jauh dari bibir pantai. Ada pula Pulau Lampu, sebutan masyarakat setempat bagi Pulau Pepelan karena terdapat bangunan mercusuar.
Untuk mencapai pantai-pantai ini dapat memakai perahu nelayan dengan lama perjalanan 20 menit. Begitu jernihnya air laut di sekitar kawasan pantai-pantai ini membuat seolah-olah perahu yang kita tumpangi seperti sedang melayang atau berlayar di atas cermin.
Selain wisata pantai, pemandangan bawah lautnya tak kalah memukau. Gugus terumbu karang jenis barrier reef masih alami termasuk Gorgonia, yaitu karang warna merah berbentuk seperti kipas. Kita juga dapat menemukan banggai cardinal fish (Ptepogon kaudemi), ikan laut hias endemik dari perairan Banggai.
Di Desa Mbuang-Mbuang juga terdapat laguna seluas 20 hektare. Masyarakat sekitar menyebutnya Danau Paisu Batongan dan berair asin. Seperti juga warna perairan di sekitarnya, air biru jernih sedikit kehijauan langsung menyegarkan mata ketika menyinggahi danau sedalam 12 meter ini. Uniknya, di danau ini terdapat ribuan ubur-ubur tak bersengat (Cassiopeiaini) dengan aneka ragam warna mulai putih transparan, kuning terang, hingga jingga. Hewan jinak ini bisa langsung terlihat di permukaan air danau. Menurut Irsan, warga setempat, jika musim hujan ribuan ubur-ubur bisa menutupi sebagian besar permukaan danau. Kita bisa berenang bersama hewan jinak ini dengan syarat badan kita tidak boleh ditaburi tabir surya atau menggunakan alat bantu renang, seperti kaki katak karena akan merusak ubur-ubur.
Masih ada obyek wisata Bukit Popisi yang tingginya sekitar 200 meter sampai ke puncaknya. Di atas puncak bukitnya kita bisa menikmati lautan luas sejauh mata memandang dan di bagian lain bisa melihat jajaran pulau karst tak berpenghuni. Sepintas pemandangannya persis seperti kita mendaki Bukit Wayag di jajaran Kepulauan Wayag di Raja Ampat, Papua Barat. Ada pula Gunung Baodean setinggi 300 meter dan menjadi ikon dari desa ini dengan tulisan besar-besar Mbuang-Mbuang di puncaknya.
Akses Mulai Ditingkatkan
Sulitnya akses transportasi menuju Banggai Laut dan pulau-pulau di sekitarnya termasuk Mbuang-Mbuang merupakan kendala yang dihadapi pemerintah setempat saat ini. Bila perjalanan dilakukan dari Jakarta, kita bisa menggunakan pesawat transit di Makassar atau Palu berlanjut ke Luwuk. Total waktu yang dihabiskan lewat jalur udara dari Jakarta hingga Luwuk sekitar enam jam.
Untuk mencapai Banggai Laut dari Luwuk dilakukan lewat jalur laut memakai kapal feri berkapasitas 100 penumpang atau kapal rakyat berkapasitas 40 penumpang. Lama perjalanan adalah sembilan jam. Jika menggunakan kapal cepat yang beroperasi hingga siang hari saja, waktu tempuhnya sekitar tiga jam. Kemudian jika meneruskan menuju Mbuang-Mbuang menggunakan kapal rakyat dengan lama perjalanan enam atau dua jam jika memakai speed boat berkapasitas sembilan orang dari Kota Banggai, ibu kota Kabupaten Banggai Laut. Sebuah perjalanan menguras energi.
Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo mengakui, akses menuju daerahnya masih terpaku pada jalur laut. Hanya saja, sejak awal 2020, pihaknya menggandeng Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan membangun bandar udara (bandara) dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1.457 Tahun 2018 tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara Baru di Kabupaten Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah.
Sebuah lahan seluas 234 hektare di Desa Kendek, Kecamatan Banggai Utara telah dihibahkan pemerintah setempat kepada Kemenhub untuk dibangun bandara sebagai antisipasi mempercepat akses masyarakat dan barang. Bupati Wenny Bukamo mengatakan, Kemenhub telah mengalokasikan anggaran senilai Rp20 miliar untuk pembangunan landas pacu bandara sepanjang 1.600 meter dan terminal penumpang seluas 1.730 meter persegi yang mampu menampung 17.150 penumpang per tahunnya.
Bandara Kendek dirancang untuk dapat didarati pesawat jenis ATR 42 berkapasitas 40 penumpang atau pesawat ringan jenis Grand Caravan yang mampu mengangkut 1,5 ton barang. Pensiunan perwira menengah TNI Angkatan Udara ini memperkirakan kehadiran bandara dapat memotong waktu untuk mencapai Banggai Laut dari semula 9-10 jam menjadi hanya maksimal 2,5 jam saja lewat akses udara.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini