Indonesia.go.id - Di Balik Istana-Istana yang Dihidupkan Kembali

Di Balik Istana-Istana yang Dihidupkan Kembali

  • Administrator
  • Kamis, 1 Agustus 2019 | 09:21 WIB
SEJARAH
  Istana Kadriah Kalimantan Barat. Foto: Dok. Situs Budaya

Menariknya dalam renovasi yang muncul, istana-istana yang mempunyai riwayat kerajaan Hindu seringkali dicat dengan warna emas. Sementara itu, yang dipengaruhi Bugis atau Makassar biasanya dicat hijau.

Sepuluh tahun pertama memasuki awal abad baru, abad 21, adalah masa munculnya istana-istana di Kalimantan yang dihidupkan kembali. Perkembangan ini berlatar belakang konteks iklim desentralisasi yang lebih terbuka. Restorasi beberapa kesultanan yang sempat lama terkubur dalam sejarah pembangunan kebangsaan adalah hal-hal yang dikembangkan bahkan secara resmi diketahui oleh negara.

Bernard Sellato mencermati hal ini dengan mengambil contoh Kesultanan Kutai yang direstorasi pada 2001. Kesultanan Sintang pada 2003 dan Kesultanan Pontianak pada 2004. Kesultanan Banjarmasin sepertinya masih belum bisa melakukan restorasi mengingat wilayah ini cukup lama larut dalam sengketa pewaris dinasti.

Landasan utama dari proses restorasi yang bermunculan adalah munculnya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap istana-istana lama sebagai bagian dari benda cagar budaya. Aturan itu adalah Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 26 Tahun 2008.

Akibat dihidupkan kembalinya beberapa "kesultanan" itu, kemudian muncul klaim-klaim dari keturunan-keturunan sultan yang berserakan di pelosok Kalimantan. Bermacam-macam tuntutannya. Mulai dari meminta kembali istana yang disita hingga meminta tempat yang diklaim sebagai wilayahnya. Untuk kasus yang terakhir terjadi di bekas wilayah Kesultanan Pasir.

Dalam sepuluh tahun pertama abad 21 munculnya iklim politik dan kultur yang sangat berwarna lokal. Dalam tingkatan provinsi maupun kabupaten identitas lokal telah menguat. Mengalirnya sumber-sumber keuangan lokal membuat pengembangan museum dan istana menjadi tahapan yang penting.

Inilah museum generasi ketiga. Museum yang diinisiasi dan dibiayai oleh pemerintah lokal. Kadang oleh sultan yang menobatkan diri atau seseorang yang mengaku-aku sebagai sultan. Atau juga, dibiayai oleh penyumbang korporasi. Semua itu muncul dalam skala yang lebih besar dari riwayat terdahulu.

Generasi Ketiga

Kutai Kartanegara, misalnya. Kini di sana sebuah museum baru yang lebih besar telah didirikan, bersebelahan dengan yang lama. Museum ini ingin menggantikan istana Mulawarman yang merupakan museum negeri. Di sebelahnya, di Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin, yang konon katanya telah berdiri sejak abad ke-17, menaranya direnovasi kembali dengan menara yang lebih bergaya modern. Sebuah bangunan baru dengan nama Kedaton Kutai Kartanegara juga dibuat untuk sultan baru yang bergelar Aji Muhammad Salehuddin II. Menurut berita setempat pada 24 November 2010, sultan baru telah mengundang sultan-sultan dari seluruh Indonesia untuk memperingati secara besar-besaran peringatan 1.660 tahun berdirinya Kerajaan Kutai (lama) yang dibangun oleh Maharaja Sri Kundungga pada 350 Masehi.

Kalimantan Selatan memiliki cerita sendiri. Sejarah pergantian kekuasaan di wilayah ini cukup sering terjadi. Kekalahan terhadap Belanda pada 1859--1865 telah mengakibatkan hilangnya kesultanan sebagai konsekuensinya.

Ternyata pada 2012, saat tidak ada sultan yang ditahbiskan, Pangeran Khairul Saleh, yang juga seorang bupati, merasa perlu untuk bertindak cepat. Dia segera membeli tanah dan mempersiapkan pembangunan sebuah istana. Saat ini, Khaiul Saleh telah menjadi Sultan Banjarmasin sekaligus Wali Kota Kota Banjarmasin. Untuk mewujudkan impiannya, arsitek yang membangun istana ini merasa perlu untuk menggunakan ukiran lama Belanda dari pertengahan abad 19 sebagai sumber inspirasinya.

Menarik juga untuk melihat kasus di Landak, Kalimantan Barat, yang menggunakan arsip lama Belanda untuk merancang istana barunya dengan gaya Melayu Lama. Bahkan di Brunei, mereka juga menggunakan gaya ukiran Inggris bertahun 1848 untuk membangun kembali ruang pertemuan "lapau" yang hancur karena perang dunia kedua.

Faksi dan Kompetisi Politik

Menghidupkan kembali kesultanan adalah salah satu langkah yang dilakukan untuk menguatkan perkubuan dalam perebutan kekuasaan di tingkat provinsi atau kabupaten. Di Kalimantan Selatan, misalnya, yang kenyang dengan sengketa dinasti, satu kubu sukses melobi Khairul sebagai sultan. Tetapi kubu yang lain punya calon yang berbeda. Mereka bahkan membangun "istana" juga buat kandidat itu di tempat lain.

Faksi yang mendukung Sultan Aji Muhammad Salehuddin II di Kutai Kartanegara ternyata tidak puas.Mereka kemudian mendorong calon dari dinasti lain, yakni dinasi Kutai Martadipura. Padahal dinasti ini adalah dinasti yang dalam sejarah telah ditaklukkan dan dihapus oleh Kutai Kartanegara pada abad 18.

Situasi kompetisi politik lokal yang semakin ramai membuat pemerintah kabupaten dengan "sultan-sultan" yang ada sangat memandang penting festival-festival peringatan lokal. Festival yang dilakukan di Erau, Kutai, atau Birau, Bulungan, telah menjadi festival besar dengan pertunjukan musik dan tari yang menarik wisatawan. Padahal dulunya festival itu kecil yang sederhana. Sekarang ini pentas yang meriah diiringi dengan berbagai pasar penjualan cinderamata, kontes meniup terompet, hingga pameran pusaka perahu lama. Semuanya dilakukan untuk meningkatkan status kedaerahan dan meningkatkan penerimaan asli daerah.

Di kota-kota lain yang lebih kecil, di tingkat kabupaten, juga muncul renovasi-renovasi istana lama atau kerajaan kecil. Di beberapa tempat, bahkan membangun kembali yang sudah runtuh. Seperti Museum Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur, tempat ini telah dibangun kembali. Sementara itu di tempat lain yang merupakan rival, juga didirikan. Seperti, di Sambariung dan Gunung Tabur yang berada di Berau. Museumnya bernama Museum Batiwakkal. Di bagian tenggara, penguasa Bugis di Tanah Bumbu, juga dalam proses merenovasi peninggalan-peninggalan lama yang ada. Di Kalimantan Barat ada Istana Matan, Istana Mempawah, dan Istana Sanggau yang juga dibangun kembali semuanya, disertai dengan sebuah museum. Istana lain seperti di Sekadau, Sambas, dan Tayan di Kalimantan Barat juga direnovasi. Masih terkait dengan itu enam kerajaan kecil di hulu sungai Kapuas juga menunjukkan gejala yang sama.

Museum-museum baru yang didirikan selain memamerkan pusaka atau peninggalan-peninggalan lama juga berfungsi sebagai pencarian dana bagi pewaris "kerajaan" yang tidak mampu. Selain pemasukan dari pariwisata, sekaligus mencari dukungan spiritual dan legitimasi. Menariknya dalam renovasi yang muncul, istana-istana yang mempunyai riwayat kerajaan Hindu seringkali dicat dengan warna emas. Sementara itu, yang dipengaruhi Bugis atau Makassar biasanya dicat hijau.

Penguasa di Sintang bernama Kesuma Negara VI, dengan gelar panembahan pada 2005 kemudian menjadi sultan di 2006 sekarang menempati bagian utama Istana al Mukarramah. Bangunan di sebelahnya dijadikan Museum Dara Juanti yang terbuka bagi pengunjung. Renovasi yang dilakukan pemerintah kabupaten di awal 2000-an tidak dilanjutkan. Sultan tidak menyukainya. Akibatnya dibangun proyek baru Pusat Kebudayaan Sintang. Tahun 2004 pemerintah kabupaten bersama Royal Tropical Institute (KIT) dari Amsterdam bergabung di dalamnya. Muncul kemudian Museum Kapuas Raya yang berfungsi juga sebagai perpustakaan. Museum ini dibangun mewakili tiga komposisi populasi, yakni Dayak, Melayu, dan Cina.

Wilayah kaya yang lain juga turut membangun. Seperti Museum Kayu Tuah Himba di Tenggarong dibangun untuk memamerkan hasil hutan dan kehutanan lokal. Di Sangatta, Kalimantan Timur, muncul proyek museum untuk memamerkan sejarah tambang batu bara dan perkebunan sawit. Yayasan-yayasan dibangun untuk keperluan ini. Masih di tempat ini juga muncul proyek untuk memamerkan temuan arkeologi yang terdapat dari gua-gua purba yang ada di sana. Di Amuntai, Kalimantan Selatan, muncul Museum Candi Agung yang dibangun di sekitar peninggalan abad ke-15. Pembangunannya melibatkan orang dari pusat arkeologi nasional di Jakarta.

Saking banyaknya bermunculan inisiatif renovasi dan pembangunan museum Direktorat Jenderal di Jakarta bahkan sampai perlu mengeluarkan buku "Bagaimana Membangun Museum" yang dikeluarkan tahun 2009. (Y-1)