Pada abad ke-16, prajurit Kerajaan Mataram harus membabat hutan untuk membangun Kotagede. Di hutan tersebut, pohon nangka dan kelapa berlimpah.
Dalam buku berjudul ‘Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya’ karya Murdijati dikisahkan para prajurit berjumlah ratusan memanfaatkan nangka dan kelapa di hutan sebagai bahan makanan.
Nangka dan kelapa mereka olah menjadi masakan. Nangka dipotong-potong. Bumbunya terbuat dari beragam rempah ditambah gula merah. Saat memasak, nangka dan bumbu dimasukkan ke ember besar berbahan logam.
Kelapa yang banyak terdapat di hutan dimanfaatkan airnya untuk memberi aroma wangi, melembutkan tekstur nangka serta menambah rasa manis pada gudeg.
Sementara buahnya, diparut untuk diolah menjadi areh atau santan. Pembuatan gudeg membutuhkan proses pengadukan yang disebut hangudek. Dari proses hangudek itulah nama gudeg muncul.
Di Yogyakarta, gudeg tidak hanya terbuat dari nangka. Warga Dusun Mangir, Kabupaten Bantul, kerap menggunakan mayang atau bunga kelapa muda sebagai pengganti nangka. Jika dimasak bersama ayam, gudeg manggar menjadi teramat lezat. Mayang pada gudeg manggar juga dipercaya dapat menambah kecantikan.
Gudeg tidak hanya populer di Yogyakarta, tetapi juga Solo. Berbeda dengan gudeg Yogya yang umumnya dimasak hingga kering, gudeg Solo memiliki ciri agak basah.
Ada alasan tersendiri mengapa gudeg Yogya dimasak hingga kering. Agar lebih awet kala dibawa ke kota lain sebagai oleh-oleh.
Mencari gudeg di Yogyakarta amat mudah. Di hotel dekat Malioboro, turis dapat menemukan penjaja gudeg keliling. Kemudian ada satu kawasan yang khusus menjual gudeg, yakni Jalan Wijilan. Berbagai merek gudeg legendaris dapat dijumpai di sana. Sebut saja, gudeg Yu Djum dan Bu Lies.
Sekarang, gudeg juga dikemas dalam kaleng untuk memuaskan para pencinta gudeg yang menyukai kepraktisan. (K-RG)