Indonesia.go.id - Peta Jalan Menuju Pemulihan

Peta Jalan Menuju Pemulihan

  • Administrator
  • Sabtu, 9 Mei 2020 | 20:35 WIB
INDUSTRI MANUFAKTUR
  Suasana pabrik perakitan motor di Karawang, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/ M Agung Rajasa

Indeks manufaktur anjlok. IHS Markit menyebut hal itu disebabkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Di lapangan ada masalah daya beli yang susut dan kurs rupiah. Presiden meminta disiapkan jalan keluarnya.

Sebagai indikator utama sektor industri, purchasing manager’s index (PMI) terkontraksi tajam. Sulit mengangkatnya di tengah suasana pandemi. Kuncinya pada daya beli pasar domestik.

Bahwa hampir semua bisnis oleng diterjang badai virus corona, semua bisa mahfum. Namun, jika dalam tempo yang singkat kinerja industri manufaktur, pilar penting dalam perekonomian nasional, mengalami kontraksi yang cukup dalam, tentu menjadi isu ramai di kalangan pelaku di bursa saham Indonesia IDX. Walhasil, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sedang terdorong naik ke level 4.700-an pun terkoreksi 2,3% pada Senin (4/5/2020).

Tema panas hari itu ialah PMI Manufacturing Indonesia, atau biasa disebut Indeks Manufaktur. Indeks ini dianggap sebuah indikator ekonomi-industri yang paling utama, dan dikeluarkan tiap awal bulan. Senin pagi itu Lembaga IHS Markit merilis surveinya tentang PMI manufaktur Indonesia periode April 2020.

Hasilnya, cukup mengejutkan. IHS Markit menyatakan indeks manufaktur Indonesia anjlok ke angka 27,5, level terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI, yang dimulai sejak April 2011. Terjadi kontraksi (pengerutan) yang signifikan di dunia industri. Menurut HIS Markit, susutnya indeks manufaktur itu akibat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia.

Situasi ini memunculkan respons Presiden Joko Widodo. Presiden mengakui bahwa ekonomi Indonesia mengalami kontraksi. “Oleh karena itu, saya meminta agar kondisi ini harus menjadi perhatian. Harus disikapi dengan hati-hati laporan indeks manufaktur Indonesia itu,” Presiden Jokowi mewanti-wanti.

Para menteri bidang ekonomi diminta oleh Presiden untuk memperhatikan secara rinci persoalan yang dihadapi industri manufaktur itu. Dan kemudian, dicari stimulusnya agar bisa bangkit. ’’Setiap stimulus harus tepat sasaran dan kita mencari jalan untuk pemulihan (recovery) setiap sektor,” ujar Presiden Jokowi dalam telekonferensi Rabu (6/5/2020).

Memang kontraksi tak hanya diderita Indonesia. Gejala ini menjadi fenomena global. Namun, yang menarik perhatian, tren kontraksi di Indonesia berjalan begitu cepat. Bila pada Februari indeks manufaktur ini masih di level 51,9 yang artinya masih tumbuh (ekspansi), ia menyusut menjadi 45,3 pada Maret dan terperosok di 27,5 pada April.

Posisi itu membuat Indonesia di level terendah di Asia Tenggara, persis di bawah Myanmar dengan angka 29,0. Negara jiran Malaysia masih mencatat skor 31,3 di April, dan Maret 48,4. Sementara Filipina yang masih mencatat skor 31,6 pada April, dan 39,7 di bulan Maret.

 

Titik Terlemah

Indeks manufaktur dewasa ini dianggap sebagai indikator utama, leading indicator, yang bisa memberikan deskripsi pekonomian secara lebih luas. Standar normalnya ditetapkan 50. Jika ia bergerak naik, berarti ada ekspansi atau pertumbuhan. Sebaliknya kinerja industri manufaktur melemah bila dia bergerak menurun, terkontraksi.

Nilai PMI ini diperoleh lewat survei oleh lembaga khusus seperti HIS Markit yang berpusat di London itu. Survei itu dilakukan kepada sejumlah industri, yang mengumpulkan data jumlah pesanan baru (new orders), output hasil produksi (factory output), jumlah curahan tenaga kerja (employment), waktu pengiriman dari pemasok bahan atau material (suppliers’ delivery time), dan ketersediaan barang-barang penunjang produksi yang dibeli (stocks of purchases).

Hampir semua negara industri maju merilis indikator ini. Markit Group ini juga merilis indeks di Inggris dan Jepang. Di Amerika, selain oleh Markit Group, indeks manufakturnya juga digarap Institute for Supply Management (ISM). Di Tiongkok ada indeks PMI resmi pemerintah (official PMI) dan PMI Caixin.

Menurut Bernard Law, perwakilan Markit di Jakarta, kebijakan PSBB telah membuat produksi manufaktur anjlok, karena pabrik-pabrik harus tutup (sementara). Sejumlah pelaku manufaktur juga mengeluhkan pasar yang menciut. ‘’Permintaan melemah, turun pada level terendah,’’ demikian penjelasan Law dalam rilisnya. Ada pula keluhan sulitnya mendapat bahan baku impor. Walhasil, sejumlah industri menutup sementara atau mengurangi kapasitas.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui adanya pelemahan di sektor manufaktur ini. Faktor utama, katanya, adalah penurunan permintaan domestik, yang selama ini menyerap hingga 70 persen dari produksi industri manufaktur dalam negeri. “Ketika daya beli menurun, otomatis industri melakukan penyesuaian, termasuk penurunan utilitasnya,” Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers yang dirilis di Jakarta, Kamis (7/5/2020).

Agus Gumiwang mengakui pula, ada problem terkait bahan input industri yang harus diimpor.  Urusan impor bukan soal mudah di tengah suasana pandemi ini. Ditambah pula ada tekanan kurs. “Akibatnya output menurun secara signifikan,” ujarnya.

Seperti laiknya negara yang tergabung dalam G-20, Indonesia terus menggenjot industrinya untuk menopang  perekonomiannya. Secara umum, sektor industri di Indonesia terus tumbuh, meski lajunya di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang ditopang oleh produk komoditas. Walhasil, kontribusi sektor industri untuk produk domestik bruto (PDB) cenderung menyusut.

Sebagai gambaran, pada 2015 kontribusi manufaktur terhadap PDB masih mencapai 20,99%, dan turun 20,52% (2016), 20,16% (2017), 19,86% (2018), 19,62% (2019), dan hingga di awal Mei 2020 ini masih di kisaran 17,8%-17,95%.

Masih menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dari sektor industri manufaktur ternyata industri pengolahan yang masih memberikan gambaran pertumbuhan yang menjanjikan meskipun trennya turun. Pada 2015, industri pengolahan masih mencatat pertumbuhan 4,33%, turun menjadi 3,26% (2016), 3,29% (2017), 3,27% (2018), 3,80% (2019) dan pertumbuhan di kisaran 0,70-0,80% hingga Mei 2020.

Harus diakui pandemi Covid-19 cukup berat menghantam sendi-sendi ekonomi bangsa ini, termasuk sektor manufaktur. Berkaitan dengan langkah untuk memperbaiki performa sektor manufaktur di tengah wabah corona, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui kementeriannya telah melakukan pemetaan yang membagi industri ke dalam tiga kelompok, yakni suffer, moderat, dan high demand.

Untuk industri yang mengalami suffer, tambah Agus, pemerintah berkomitmen mencari jalan keluar agar tidak mati. Adapun, untuk kategori moderat dan high demand, pemerintah berusaha untuk meningkatkan kinerjanya agar optimal.

Pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus di tengah pandemi Covid-19, berupa fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30%, pembebasan PPh 22 impor, dan restitusi PPN dipercepat. Targetnya, dengan sederet stimulus itu, sektor manufaktur bisa bergerak lebih cepat ketika nanti sudah memasuki masa pemulihan.

Dalam sidang kabinet awal April 2020, masalah itu sempat juga dibahas. Bahkan, Presiden Jokowi juga meminta menteri-menteri ekonomi untuk mencari cara, termasuk memberikan stimulus tambahan bagi pelaku usaha.

Begitu juga Kemenperin terus berupaya mendorong pemulihan sektor industri di dalam negeri yang terdampak pandemi Covid-19. Kementerian bekerja sama dengan pemda terkait operasional dan mobilitas kegiatan industri serta pengawasan implementasi Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI)

Tujuannya jelas, roda perekonomian nasional tetap terjaga dan berputar, meski tentunya dengan berpedoman pada protokol kesehatan. Harapannya, wabah pandemi Covid-19 segera berakhir dan roda ekonomi bisa segera bergerak minimal di semester II tahun ini.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer