Indonesia.go.id - Evolusi Naik Turunnya Tanah di Pesisir Kota Tua

Evolusi Naik Turunnya Tanah di Pesisir Kota Tua

  • Administrator
  • Selasa, 7 Januari 2020 | 05:51 WIB
PESISIR JAKARTA
  Tanggul pesisir Jakarta. Foto: Dok. PUPR

Segala bangunan dan infrastruktur di pesisir Jakarta tumbuh di atas tanah sedimen yang rapuh. Kini kawasan itu terancam ambles. Tanggul besar melindunginya dari abrasi arus laut, tapi tak mencegah penurunan tanah.

Pluit dan Penjaringan adalah wilayah baru di pesisir Jakarta. Peta kota benteng Batavia yang diterbitkan tahun 1679 sama sekali tak memperlihatkan adanya daratan Pluit dan Penjaringan di sisi barat Dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa maupun Ancol di sisi timurnya. Kelurahan Pluit, Penjaringan, dan Ancol adalah  tanah baru, hasil sedimentasi dan reklamasi selama 340 tahun belakangan.

Peta tua itu menunjukkan, Pelabuhan Sunda Kelapa ketika itu hanya berupa kanal besar yang sekaligus muara Sungai Ciliwung. Sebelum menyentuh bibir laut, badan Kali Ciliwung itu sudah dinormalisasi jadi lurus sepanjang sekitar dua kilometer. Kota Batavia ketika itu mengapit Ciliwung di kiri kanannya, yakni sisi barat dan timur. Panjang kotanya tak lebih dari 2 km, dan terdiri dari tiga blok yang masing-masing dikelilingi tembok setinggi lima meter.

Blok pertama di mulut dermaga adalah loji militer. Di situ ditempatkan para serdadu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan meriam-meriamnya. Di sebelah selatannya ada benteng lagi yang di dalamnya ada bangunan bisnis, gudang, kantor, perumahan, dan asrama pegawai VOC. Di sisi baratnya ada bangunan bisnis dan perumahan lainnya. Benteng-benteng itu dikelilingi parit cukup lebar. Semua dialiri air dari Ciliwung yang disudet di ujung hulu kota.

Kota Batavia tentu memerlukan pekerja kasar untuk mendukung kegiatannya. Kebutuhan ini diisi oleh kaum pribumi dan perantau dari Negeri Tiongkok yang tinggal di sisi selatan di luar benteng. Permukiman Tiongkok itu kini menjadi Glodok dan Tambora. Orang pribumi bermukim di luar benteng dan juga di luar Pecinan. Kaum pekerja itu biasa melewati Kanal Ciliwung untuk bekerja melayani penghuni kota.

Kanal sungai yang membelah Benteng Batavia itu hingga kini masih berfungsi. Ada yang menyebutnya Kali Besar, Kali Besar Barat, dan ada pula yang menyebutnya Kali Krukut.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1578377389_Peta_Batavia_2.jpg" />

Peta Batavia 1742. Foto: Nationaal Archie

Batavia terus berkembang. Peta Kaart van de Buitenstreeken van Batavia, karya kartografer Jacques Nicolas Bellin pada 1742, menunjukkan perkembangan menarik. Batavia telah makin berkembang ke arah selatan. Bangunan-bangunan baru didirikan di luar tembok benteng. Tanah di sekeliling Batavia telah pula dikavling-kavling dijual ke para saudagar.

Rekayasa aliran sungai berlanjut di sekitar Batavia. Kanal-kanal baru dibangun. Sungai Krukut disudet dan melalui kanal buatan airnya digunakan untuk mengairi parit yang melindungi di sisi barat tembok Batavia, sebelum dialirkan ke muara baru di lokasi yang kini disebut Pluit. Kanal itu sendiri kini masih ada dan disebut Kali Besar Barat.

Kanal utama yang membelah Batavia itu diperpanjang hingga ke Harmoni dan disebut Molenvliet. Kini parit besar itu dinamai Kanal Batang Hari dan diapit Jl Gajah Mada-Hayam Wuruk, Jakarta. Kanal ini mendapat pasokan air dari Kali Krukut dan Ciliwung lewat dua kanal sudetan yang baru lagi. Proyek dikerjakan oleh kontraktor Tiongkok.

Kali Krukut yang baru bergabung dengan Kali Cideng di Tanah Abang disudet, dan airnya dialirkan ke Molenvleit melalui kanal yang kini sejajar dengan Jl Abdul Muis. Adapun Sungai Ciliwung disudet di lokasi yang kini menjadi halaman Masjid Istiqlal, dan airnya digelontorkan ke Molenvleit melalui kanal khusus yang kini berada di depan Istana Negara, diapit Jl Veteran dan Jl Juanda.

Geografis Batavia pun berubah. Dermaga Sunda Kelapa sudah semakin menjorok ke laut. Sedimentasi makin meluas. Pesisir Pluit, Penjaringan, dan Ancol makin melebar ke laut, membentuk tanah berawa yang ditumbuhi bakau. Seperti halnya Ancol dan Penjaringan, Kawasan Pluit itu menjadi muara Sungai Angke, Grogol, dan Krukut.

Cerita tutur mengatakan, Pemerintan VOC harus memarkir kapal perang jenis fluitship yang ramping dan berlunas panjang di pantai berawa itu, setelah kapal yang menyandang nama Het Witte Paert ini mengalami rusak parah, pascaperang dengan Kesultanan Banten pada 1660-an. Kapal ini telantar dan dibiarkan lapuk. Warga Batavia menandai lokasi kapal itu ditambatkan sebagai fluitship, dan lidah Melayu menyebutnya Pluit.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1578376787_Peta_Batavia_1.jpg" />Peta Batavia 1800-1850. Foto: Nationaal Archie

Peta Plan de Batavia yang terbit sekitar 1840 menunjukkan perubahan yang luar biasa. Kota Batavia sudah melebar sampai ke Tanah Abang. Gedung-gedung pemerintahan sudah menjamur di kawasan yang kini menjadi Kompleks Istana Merdeka dan Istana Negara, Lapangan Banteng, dan Pasar Senen.

Jaringan kanalnya pun makin rumit. Aliran Kanal Molenvleit dibelokkan di Glodok, diputar sebelum masuk kembali ke Kali Besar. Ada konektivitas antara Sungai Ciliwung, Krukut, Grogol, dan Kali Angke guna mencegah luapan air ke pusat Kota Batavia. Penduduk Batavia semakin besar dan padat. Makin banyak tanah pertanian dibuka di hulu-hulu sungai. Erosi berlipat di hulu, dan di muara sedimentasi merajalela.

Tidak heran bila tanah tumbuh di pesisir utara Batavia itu semakin lebar di Ancol Timur, Ancol Barat, Penjaringan, Pluit, hingga ke Angke dan Kapuk. Sebagian lahan menjadi tanah pertanian, tambak, atau permukiman. Namun, tanah yang menjorok seperti membentuk tanjung belum terlihat sebagaimana kemudian terjadi di Penjaringan dan Pluit. Di situ, tanah tumbuh mencapai 4-5 km bila ditera dengan peta garis pantai keluaran 270 tahun lalu.

Tanah rawa Penjaringan itu tumbuh pesat dan cepat. Adalah Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus, kelana asal Hadramaut, Yaman, yang mulai membangun permukiman di situ, dengan sebuah surau dan pondok. Usianya baru 20-an tahun waktu tiba sekitar 1736. Ia segera mendapatkan jemaah karena sudah ada komunitas Muslim yang tumbuh sejak era Pangeran Jayakarta menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa, jauh hari sebelum VOC datang.

Para pengikut Habib Husein ini umumnya pekerja di pelabuhan. Karena dapat membangun komunitas yang tertib, Pejabat VOC memberikan lahan seluas 14 ha kepada Habib Husein di atas rawa itu. Secara sederhana reklamasi dilakukan untuk permukiman warga. Komunitas ini semakin berkembang seiring kemajuan bisnis di Sunda Kelapa, bahkan setelah Habib Husein meninggal dalam usia muda, sekitar 40 tahun dan belum menikah. Perannya kemudian digantikan sanak familinya yang datang dari Yaman, untuk berdagang sambil melakukan syiar agama.

Pendangkalan akibat sedimentasi terus berlangsung. Dermaga Sunda Kelapa makin menjorok ke laut dan begitu halnya dengan Kampung Penjaringan, kawasan yang disebut dalam bahasa Melayu sebagai Luar Batang, karena dibatasi oleh patok batang-batang kayu dan pagar besi dari kota kolonial itu, utamanya setelah benteng Batavia mulai dirobohkan di akhir abad 18 untuk perluasan kota.

Reklamasi di kawasan Luar Batang itu terus berlangsung. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok tidak membuat Sunda Kelapa serta-merta surut, karena ia masih melayani pelayaran domestik. Di awal 1900-an, areal Penjaringan atau Luar Batang itu sudah menjadi kawasan permukiman dan bisnis yang cukup penting. Di situ ada pelabuhan nelayan dan Pasar Ikan yang besar dan ramai. Masjid Luar Batang pun telah tumbuh sebagai bangunan yang indah dan megah dan kini menjadi situs penting di Jakarta Utara.

Kini Kelurahan Penjaringan itu luasnya mencapai 3,9 km2, menjorok 6 km ke arah laut dengan ujungnya berupa dermaga pelabuhan kapal ikan. Penduduknya sekitar 100 ribu jiwa. Di sisi baratnya ada Kawasan Permukiman elite Pluit dan keduanya dipisahkan oleh Waduk Pluit. Di sisi timurnya ialah kawasan Ancol.

Pluit menjadi permukiman elite. Di Penjaringan ada pelabuhan ikan, pasar ikan, dan situs sejarah Masjid Luar Batang, peninggalan Habib Husein. Tak jauh dari situ ada Museum Bahari, Pelabuhan Sunda Kelapa yang masih melayani pelayaran domestik. Ke arah timur ada kawasan Wisata Ancol, lalu Tanjung Priok, dan Pelabuhan Marunda dengan segala fasilitasnya. Pesisir itu telah menjadi aset yang tak ternilai.

Namun, kawasan yang berada di atas tanah sedimen dan tanah urug itu kini terancam gejala subsidensi (penurunan tanah), seperti gejala umum di Jakarta. Namun, di pesisir Jakarta Utara itu kecepatannya rata-rata 7,5 cm per tahun. Beban berat segala bangunan dan infrastruktur yang berkombinasi dengan eksploitasi air tanah yang berlebihan, berakibat pada efek subsidensi itu.

Sebagian pinggiran tanah Penjaringan sudah amblas dihantam abrasi laut. Pluit lebih beruntung. Meski sebagian besar wilayahnya sama atau di bawah muka laut, kawasan yang dibangun sejak awal 1970-an dengan konsep kota modern itu dilindungi dengan tanggul tebal dan saluran drainase ke Waduk Pluit yang muka airnya diatur 1,5 meter di bawah muka laut. Begitu halnya dengan Kawasan Kapuk, Ancol, dan Tanjung Priok yang telah menjadi daerah komersial dan cukup terlindungi dari abrasi.

Untuk menangkal dampak buruk subsidensi ini, Pemerintah pun menggelar program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), dengan tanggul sepanjang 39 km pada pesisir utara Jakarta. Baru setengah jalan. Kelak, program itu akan berlanjut dengan pembangunan kolam penampung air limbah dan limpasan hujan, yang  dilengkapi pompa-pompa air. Pompa ini mengalirkan air dari polder ke kanal-kanal banjir.

Tentu, akan menelan biaya besar. Namun, begitu risiko sebuah kota yang tumbuh begitu saja, dengan segala fasilitas yang dikembangkan secara tambal sulam di sepanjang perjalanan evolusinya dari Kota Bandar Jayakarta, menjadi Batavia, dan kini Jakarta. Kota tua itu kini sudah kebanyakan beban. Maka, gagasan memindahkan beban kota ke ibu kota baru adalah sebuah keniscayaan. (P-1)

Berita Populer