Indonesia.go.id - Kepercayaan Pelaku Bisnis Indonesia Tinggi Meski Ekonomi Global tidak Pasti

Kepercayaan Pelaku Bisnis Indonesia Tinggi Meski Ekonomi Global tidak Pasti

  • Administrator
  • Senin, 15 Juli 2024 | 11:20 WIB
INDUSTRI
  Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki mengalami peningkatan produksi. Didorong oleh peningkatan pesanan baru yang cukup signifikan. KEMENPAREKRAF
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, industri di Indonesia menunjukkan ketahanan yang mengesankan. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Juni 2024 mencapai 52,5, menandakan stabilitas dan ekspansi tipis meski menghadapi berbagai tantangan. Dukungan dari pemerintah dan inovasi dalam industri lokal telah membantu para pelaku bisnis tetap optimis untuk masa depan.

Narasi ketidakpastian ekonomi global, rupanya bukan momok bagi para pelaku bisnis di Indonesia.  Indeks Kepercayaan Industri di tanah air pada Juni 2024, memperlihatkan hal itu.

Di tengah tekanan ketidakpastian ekonomi global, industri Pengolahan bukan saja bertahan, namun juga menunjukkan kenaikan atau ekspansi. Meski angkanya tipis, yakni naik 1% dibandingkan Mei 2024. Persentase responden yang menjawab kondisi usahanya meningkat dan stabil, naik dari 74,4% menjadi 75,4%.

“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan Juni 2024 mencapai 52,5, tidak berbeda dengan angka IKI bulan Mei 2024. Ini merupakan sinyal bertahan industri di tengah kondisi iklim usaha global saat ini,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, sebagaimana disimak www.indonesia.go.id pada Kamis (27/6/2024).

Hal ini tidak sejalan dengan pola nilai IKI periode tahun sebelumnya. IKI Juni 2023 mengalami peningkatan ekspansi 3,03 poin dari IKI bulan Mei 2023 dan masih merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 53,93, kondisi kegiatan usaha yang naik dan stabil mencapai 78,8%. Pola nilai IKI bulan Juni 2024 masih mengikuti pola IKI sejak dari bulan Februari 2024.

Dalam keterangan tertulis, Febri menjelaskan, terdapat 22 subsektor mengalami ekspansi dengan kontribusi terhadap PDB tahun 2023 sebesar 98,6%. Sedangkan industri tekstil adalah satu-satunya subsektor yang mengalami kontraksi di Juni ini.

Peningkatan nilai IKI dipengaruhi oleh meningkatnya nilai variabel pesanan baru dan persediaan produk. Nilai IKI variabel pesanan baru meningkat 1,62 poin menjadi 54,78. Nilai ini lebih rendah dari nilai variabel pesanan bulan Juni 2023. Pada bulan Juni tahun lalu, variabel pesanan baru meningkat ekspansinya cukup besar (naik 4,97) sampai mengubah level dari kontraksi di 49,84 menjadi ekspansi 54,81.

Ekspansi Paling Tinggi

Adapun ekspansi yang tinggi pada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki didorong oleh peningkatan pesanan baru yang cukup signifikan yaitu 3,21 poin dan penyerapan persediaan yang meningkat, namun produksinya mengalami kontraksi yang cukup dalam yaitu menurun 5,38 poin.

Peningkatan pesanan baru didukung adanya event pameran internasional yang berlangsung selama bulan Juni ini, seperti Global Sourcing Expo Australia 2024, serta persiapan tahun ajaran baru 2024/2025. Sedangkan produksi yang menurun masih didominasi oleh penurunan pesanan luar negeri, tingkat ketersediaan produk, dan harga bahan baku/penolong.

Nilai IKI variabel persediaan produk meningkat 0,46 poin menjadi 55,05. Hampir seluruh subsektor pada variabel persediaan mengalami ekspansi dan hanya dua subsektor yang kontraksi, yaitu Industri Mesin & Perlengkapan YTDL dan Industri Barang Galian Bukan Logam.

Berbeda dengan kedua variabel lainnya, nilai IKI variabel produksi mengalami kontraksi yaitu menurun 3,02 poin menjadi 46,99 dan merupakan yang terendah sejak IKI dirilis tahun 2022. Kontraksi produksi terbesar dialami oleh industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki dan industri pengolahan tembakau.

Dampak Pelemahan Rupiah

Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini, diduga menyebabkan para produsen menahan laju produksi dan memilih untuk meningkatkan penyerapan persediaan di samping penurunan pesanan domestik.

Pelemahan nilai tukar juga mempengaruhi peningkatan biaya produksi seperti biaya bahan baku, energi dan logistik yang tentu mempengaruhi keputusan berproduksi. Meskipun demikian, Febri menjabarkan, kondisi ini masih terpantau stabil, terbukti dengan meningkatnya nilai IKI pada 13 subsektor dari 23 subsektor industri pengolahan nonmigas.

Sebagai informasi, nilai tukar uang rupiah terus mengalami pelemahan terhadap US dolar beberapa waktu ini. Bahkan, dalam satu tahun terakhir, depresiasi rupiah terhadap US dolar tercatat hampir mencapai 10 persen.

Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah setara dengan Rp16.365 per dolar AS pada 19 Juni 2024. Sedangkan, pada periode yang sama tahun lalu, kurs rupiah masih setara Rp 14.995 per dollar AS.

Dengan demikian, rupiah sudah melemah 9,14 persen selama kurun waktu satu tahun. Sementara per hari Kamis (20/6/2024), rupiah ditutup melemah 0,4% di angka Rp16.425/USD, sebagaimana dikutip dari Refinitiv.

Optimisme Pelaku Usaha

Selain kondisi ketidakpastian global dan pelemahan nilai tukar, beberapa faktor yang mendorong perlambatan ekspansi IKI yaitu pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 tahun 2024 yang mengurangi peningkatan pesanan baru beberapa produk industri pengolahan, bahkan terjadi pembatalan kontrak pesanan. “Normalnya pada bulan Juni indikator kegiatan usaha industri adalah yang tertinggi, semoga kondisi ini dapat diperbaiki melalui revisi Permendag 8 tahun 2024,” Febri menambahkan.

Pada Juni 2024 ini, optimisme pelaku usaha untuk enam bulan ke depan tetap stabil pada 73,5%, atau sama dengan optimisme bulan lalu. Sedangkan pesimisme pelaku usaha enam bulan ke depan mengalami penurunan dari 5,7% menjadi 5,4%, nilai ini merupakan pesimisme terendah sejak IKI dirilis.

Adapun subsektor yang paling optimis dalam enam bulan ke depan adalah industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, diikuti industri kertas dan barang kertas, dan industri pengolahan lainnya. Tingkat optimisme yang tinggi ini dikarenakan kepercayaan pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah pusat, dan perbaikan kondisi ekonomi global ke depan. Optimisme terendah ada pada Industri Barang Galian Bukan Logam dan Komputer, Barang Elektronik & Optik.

Kedua subsektor industri tersebut masuk ke dalam subsektor yang diatur pada Permendag 8/2024 Industri Kayu, Barang Kayu dan Gabus serta Industri Tekstil merupakan industri dengan tingkat pesimisme yang cukup tinggi.

Sebagai langkah menjaga optimisme para pelaku usaha, Jubir Kemenperin itu juga meminta dukungan dari Kementerian Keuangan untuk fokus mengarahkan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). “Hal ini agar LPEI dapat terus membiayai industri manufaktur yang berorientasi ekspor, antara lain untuk pembiayaan penyediaan bahan baku impor, restrukturisasi mesin, biaya logistik pengiriman ekspor, dan sebagainya,” pungkas Febri.

 

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

 

Berita Populer