Kosakata literasi, matematika, dan sains belakangan sering bertebaran di ruang publik. Tak kurang dari Presiden Joko Widodo dalam pidato nota keuangan 2020, di Gedung DPR-MPR RI (16/8/2019), menyebut tiga kata itu pula dalam kaitan dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Menurut Presiden, pembangunan SDM itu harus dilakukan dengan meningkatkan kemapuan dasar anak-anak Indonesia, terutama dalam hal literasi, matematika, dan sains.
Tiga serangkai kata-kata itu memang sering disebut sekaligus untuk membuat urusan menjadi lebih jelas. Pada mulanya kemajuan masyarakat sering dikaitkan dengan literasi. Namun, banyak kalangan yang mereduksi pemaknaannya sebagai kegiatan membaca dan menulis, bahkan dikerdilkan menjadi kemampuan baca-tulis. Jauh panggang dari api.
Kemudian muncul pemaknaan yang lebih umum bahkan mendunia, bahwa literasi itu merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, literasi juga dikaitkan dengan kemampuan berbahasa, berbicara, atau menangkap maksud orang lain, baik lisan maupun tertulis, dengan bahasa setempat maupun bahasa asing.
Tidak mudah mengukur tingkat literasi sendiri. Semakin banyaknya toko buku yang tutup di berbagai kota pada satu versi dianggap menjadi indikator bahwa pasar buku tidak tumbuh sehat. Namun, pada versi lain, itu karena maraknya toko buku online dan format e-book. Pada aspek yang lainnya, e-book yang ditawarkan penerbit ternyata hanya 5 persen dari judul yang diterbitkan.
Yang pasti, judul yang ditawarkan penerbit makin kaya. Lima tahun lalu, judul buku yang dimintakan ISBN (International Standard Book Number) ke Perpustakaan Nasional, sekitar 35.000 judul per tahun, kini sudah tumbuh melampaui 40.000 judul. Tirasnya sulit dihitung. Tapi, dari sisi tiras yang terbanyak adalah buku-buku pelajaran wajib (dari SD hingga SLA), baru kemudian buku anak-anak, agama, novel, dan buku-buku praktis. Buku sains masih merana.
Berpenduduk sekitar 265 juta (2019), dengan latar belakang budaya yang begitu beragam, 40.000-an judul buku di Indonesia tentu bukan hal istimewa. Malaysia yang hanya jumlah penduduk 31 juta bisa, menerbitkan lebih dari 30.000 ribu judul buku, dan Vietnam (97 juta jiwa) punya 35 ribu judul buku per tahun. Tak bisa dipungkiri Indonesia memang punya problem dengan literasi.
Dalam pemeringkatan terakhir (2016), literasi Indonesia tersuruk di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Survei dilakukan oleh Lembaga The World’s Most Literate Nations (WMLN), yang disponsori Unesco, Badan Pendidikan, Kebudayaan dan Keilmuan PBB. Sebetulnya, ada 200 negara yang disurvei, namun karena keterbatasan data statistik, pemeringkatan hanya diberlakukan atas 61 negara.
Dengan posisi 60, peringkat Indonesia hanya satu level di atas Botswana, Afrika. Thailand satu level di atas Indonesia yatu di posisi ke-59, Malaysia 53, Cina 39, Singapura 36, Jepang 32, dan Korea 22. Pada peringkat satu hingga 20, bertengger negara-negara berkultur “Barat” dan “Utara”, termasuk Amerika Serikat, kecuali Israel yang ada di posisi 19. Banyak negara lainnya seperti India, Filipina, Vietnam, tidak masuk dalam pemeringkatan karena banyak data yang tidak terakses.
Apakah dalam tiga tahun 2016-2019 Indonesia bisa meloncat naik? MWLN-Unesco belum merilis hasil survei terbaru. Namun, karena literasi dikaitkan pada budaya masyarakat, agaknya tak ada perubahan yang serba mendadak. Dengan segala kekurangannya, literasi ini dinilai bisa menjadi ukuran kecakapan sebuah negara dalam mengarungi peradaban baru.
Dalam menyusun peringkat, tim MWLN mengacu ke dua sumber. Pertama, hasil survei PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) serta PISA (Programme for International Student Assessment). Survei ini dilakukan di 72 negara atas sponsor kelompok negara industri OECD. Survei PIRLS maupun PISA itu dikenakan pada sampel (acak) atas siswa berusia 15 tahun.
Para siswa menjalani tes PIRLS untuk diuji kemampuan membaca dan memahami bacaannya. Pada tes PISA, siswa diuji dalam matematika dan sains. Pada tahap keduanya tim MWLN melakukan observasi kebiasaan membaca pada penduduk di 72 negara itu. Kebiasaan baca diukur dari jumlah perpustakaan, tiras buku yang terjual (termasuk e-book) dan statistik lain yang terkait dengan budaya membaca. Hasil observasi itu digabung dengan tes PIRLR/PISA untuk menentukan peringkat literasi. Namun, karena ada keterbatasan akses data, hanya 61 negara yang diukur peringkatnya.
Memang, ada kritik bahwa pemeringkatan itu terlalu berstandar Barat, termasuk tes bahasa asing bagi siswa yang menjadi sampel. Bagi masyarakat Eropa menguasai dua tiga bahasa adalah hal lumrah. Tapi bagi masyarakat Asia Timur tidak demikian. Tapi di sisi lain, kemampuan anak-anak Asia Timur dalam matematika sangat kuat.
Siswa-siswa Asia Timur dan Tenggara seperti Singapura, Vietnam, Hongkong, Cina, Korea, dan Jepang (Indonesia dan Thailand tidak termasuk di dalamnya) adalah jawara dalam sains dan matematika. Tapi, mereka toh kalah unggul dalam hal berbahasa asing (kecuali Singapura dan Hongkong) serta ketekunan membaca dibanding teman-teman sebaya mereka dari Barat. Walhasil, peringkat literasi mereka masih dianggap di bawah level anak-anak Eropa.
Apapun, keunggulan budaya literasi maupun hasil tes PIRLS/PISA, seerti telihat pada masyarakat Eropa dan Asia Timur, ternyata berkorelasi dengan kemampuan dalam bersaing di tengah tatanan ekonomi baru dan peradaban mutakhir. Literasi ada hubungannya dengan inovasi, kreativitas, dan etos kerja.
Tidak heran bila banyak pihak kini memberi perhatian besar pada isu literasi. Peningkatan literasi akan mendorong anak-anak Indonesia bisa bersaing dengan anak-anak dari Barat, Utara, atau Timur. (P-1)