Teori pemasaran klasik menyebut, di saat resesi, di situlah muncul peluang. Lantas bagaimana nasib kaum pebisnis di saat pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19) selama enam bulan terakhir?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencoba memotret hal ini dalam laporan Analisis Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha 2020. Secara rinci tertuang dalam laporan tersebut adaptasi yang dilakukan pelaku usaha baik mikro dan kecil (UMK) dan usaha menengah besar (UMB), antara lain, mengurangi jam kerja, diversifikasi usaha, protokol kesehatan, dan pemasaran daring (online).
Analisis BPS ini menguraikan secara rinci kondisi pelaku usaha tanah air di masa pandemi. Laporan disajikan dalam bentuk e-booklet. Publik bisa mengakses data ini di laman BPS.
Kepala BPS Suhariyanto menyampaikan laporan ini kepada pers secara daring pada Selasa (15/9/2020). Survei yang dilakukan pada 10-26 Juli 2020 melibatkan 34.559 responden. Responden terdiri dari 6.821 usaha menengah besar, 25.256 usaha menengah kecil, dan 2.482 usaha pertanian. Secara proporsional mereka mewakili Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.
Data BPS ini menunjukkan pelaku usaha melakukan serangkaian adaptasi untuk bertahan dari tekanan akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, wabah corona ini mengakibatkan kalangan unit usaha mengalami penurunan pendapatan secara agregat hingga 82,85%. Masa suram ini dialami baik oleh UMK maupun UMB.
Mau tak mau agar tidak tumbang, sebagian pengusaha banting setir. Diversifikasi usaha yang dimaksud di survei ini adalah menjalankan proses bisnis seperti biasa namun ada penambahan produk, bidang usaha atau lokasi bisnis agar meningkatkan pendapatan. Setidaknya 15 dari setiap 100 perusahaan cenderung melakukan diversifikasi usaha. Sedangkan, 5 dari setiap 100 perusahaan berupaya beralih ke sektor yang baru.
Tiga sektor yang terbanyak melakukan diversifikasi usaha adalah industri pengolahan 21,97%, akomodasi dan makan minum 19,88%, serta perdagangan dan reparasi kendaraan (perbengkelan) 16,71%.
Sementara itu pemanfaatan internet dan informasi teknologi (IT) menjadi salah satu jurus pengusaha dalam mempertahankan pendapatan. Bahkan, mereka mengaku di survei ini, pemasaran via daring mampu mendongkrak pendapatan sebelum pandemi terjadi. Pembatasan sosial sejak April membuat pemasaran secara konvensional tidak efektif lagi. Memakai piranti online menjadi solusi menjanjikan.
Para pelaku UMK sekitar 83 persen mengakui bahwa mereka merasakan dampak positif terhadap pemasaran online. Senada dengan itu, 79 persen pelaku UMB juga merasakan dampak positif dari pemasaran online. Setidaknya, 4 dari setiap 5 pelaku usaha mengaku cara online berpengaruh dalam penjualan produk mereka.
"Ini terlihat untuk komoditas makanan dan minuman berupa frozen food dan jamu, minuman, penjualan masker, sepeda, dan ada jasa layanan internet dan internet provider," ungkap Kepala BPS Suhariyanto.
Secara umum, sekitar 47,75% pelaku usaha yang sudah memanfaatkan pemasaran daring. Sementara itu, sebanyak 5.76% perusahaan yang memakai internet di masa pandemi.
Berdasarkan profil usaha, sebanyak 62,64% pengusaha cenderung menggunakan pemasaran online di sektor usaha yang sama, sedangkan sebanyak 27,45% lainnya yang baru memakai pemasaran online di masa pandemi justru lebih berani melebarkan sayap bisnis mereka.
Penyedia jasa pendidikan terbanyak memakai internet dalam memasarkan produk mereka. Dampak ini seiring dengan kebijakan belajar daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Persentase terbanyak berikutnya disusul industri pengolahan, perdagangan, dan bengkel serta akomodasi dan makan minum.
Laporan BPS ini juga mengungkapkan, unit usaha yang sudah menerapkan pemasaran daring memiliki keuntungan 1,14 kali lebih tinggi dibandingkan yang baru memakai internet di masa pandemi. Adapun perusahaan di kota lebih banyak memakai pemasaran via online 64,58% dibandingkan perusahaan di wilayah kabupaten sebesar 48,9%.
Meski sejumlah sektor mendapatkan berkah dari adanya pandemi ini, proporsinya terhadap total pelaku usaha yang disurvei BPS sangat kecil.
Protokol Kesehatan
Survei ini juga menggambarkan penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja oleh para pelaku usaha. Sebanyak 85,88% sudah menjalankan penggunaan masker dan pelindung wajah, sebesar 81,91% sudah menerapkan aturan menjaga jarak (physical distancing), dan 81,87% sudah menyediakan sarana cuci tangan (air, sabun dan hand sanitizer).
Perusahaan di kota secara rata-rata lebih patuh menerapkan protokol kesehatan dibandingkan perusahaan di wilayah kabupaten. Usaha berskala menengah dan besar relatif lebih banyak mematuhi protokol kesehatan dibandingkan kalangan UMK. Misalnya, dalam kebijakan menjaga jarak, UMK hanya 79,47%, sedangkan UMB mencapai 95,92%.
Unit usaha di sektor kesehatan, pendidikan, dan keuangan merupakan sektor tertinggi dalam mematuhi protokol kesehatan di lingkungan kerja mereka masing-masing. Persentase tiga sektor ini antara 94-95%.
Secara umum laporan BPS ini menunjukkan kalangan usaha cenderung mempertahankan bisnis mereka di tengah situasi sulit saat ini. Mereka bertahan dengan pelbagai jurus adaptasi mulai dari mengurangi jumlah pegawai, memangkas jam kerja, diversifikasi usaha hingga pemasaran secara online. Melakukan PHK adalah jurus terakhir pengusaha. Kalangan usaha mulai optimistis terjadi pemulihan ekonomi ketika pemerintah membuat kebijakan relaksasi pembatasan sosial pada Juni lalu.
Laporan e-booklet BPS ini diharapkan menjadi pertimbangan kalangan pemangku kepentingan dalam menyusun dan memutuskan kebijakan strategis agar ekonomi nasional cepat pulih. Suara pengusaha secara gamblang telah dinyatakan dalam laporan tersebut. Sebagian dari mereka mengaku akan mampu bertahan paling lama September ini atau sampai Desember 2020 jika pemerintah tidak memberikan insentif seperti permodalan, pengurangan pajak, diskon tarif listrik, hingga bansos.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini