Kabar menggembirakan di tengah pandemi Covid-19. Nilai ekspor produk industri kehutanan Indonesia ke seluruh dunia mencapai USD11,6 miliar pada 2019, naik hampir dua kali lipat sejak implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tahun 2013.
Saat bersamaan, proporsi hasil pembalakan liar menurun dari 80 persen sebelum implementasi SVLK menjadi 29,1 persen di tahun 2019. Tren ini menunjukkan bahwa pengelolaan produk kehutanan sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Khusus untuk ekspor kayu produk Indonesia ke Inggris, sejak November 2016 hingga pertengahan September 2020, lebih dari 27.500 dokumen telah diterbitkan sekitar 730.000 ton, senilai hampir USD1 miliar (Rp14,8 triliun).
"Tahun lalu saja, kami mengekspor USD350 juta produk kayu dari Indonesia ke Inggris. Kami menghargai kepercayaan Pemerintah Inggris tersebut, terhadap produk kayu kami," kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong pada webinar “UK Market Update for FLEGT Timber Product: Indonesia’s Timber as Sustainable Partner for UK Market”, Rabu (23/9/2020).
Boleh dikatakan, Indonesia adalah satu-satunya negara penghasil kayu tropis di dunia, yang telah membentuk sistem pelacakan pembalakan liar dari hulu hingga hilir yaitu SVLK. Sistem ini juga telah diakui secara internasional.
SVLK berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas.
Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.
Alue Dohong menekankan salah satu peran SVLK adalah memangkas penebangan dan perdagangan kayu liar, dan di saat yang sama memberikan manfaat ekonomi secara nasional.
Kredibilitas dan penerimaan sistem SVLK di pasar kayu internasional tidak terlepas dari komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan verifikasi dan sertifikasi, termasuk oleh komunitas kehutanan dan lembaga sertifikasi.
"Sekarang, 100 persen ekspor kayu dari Indonesia bersumber dari rantai pasokan yang diaudit secara independen, mencakup industri hilir dan hutan sebagai hulunya di seluruh negeri," ungkap Alue Dohong.
Selain kemanfaatan ekonomi antara dua negara, Menteri Negara-negara Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris Lord Goldsmith mengungkapkan, sistem verifikasi nasional Indonesia telah turut mengurangi deforestasi dan penebangan kayu liar selama tiga tahun terakhir, saat ini tercatat terdapat 24 juta hektare lahan hutan dan dengan 3.000 pelaku usaha telah tersertifikasi SVLK.
Lebih lanjut, importir Inggris yang diwakili oleh Timber Trade Federation dan British Retail Consortium menyampaikan mengenai meningkatnya kepedulian konsumen terhadap produk yang legal dan berkelanjutan.
Pasar Inggris secara umum suka dengan kayu bersertifikasi karena mempermudah proses impor serta memiliki nilai lebih bagi konsumen yaitu produk kayu Indonesia ramah bagi lingkungan hidup.
Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) juga merupakan landasan hukum global yang penting bagi penjual produk kayu di Inggris karena menekankan transparansi.
Semakin banyak konsumen Inggris yang mengadopsi “ethical purchasing”, yakni mengharapkan legalitas dalam produk kayu, memastikan sumber produknya, serta jaminan produk yang dibeli tidak menyebabkan deforestasi. Konsumen Inggris bahkan rela membeli produk tersertifikasi ramah lingkungan dengan harga premium.
Para importir berharap dengan perubahan perilaku konsumen ini Pemerintah Inggris dapat memberikan insentif bagi penggunaan kayu berkelanjutan oleh industri kayu Inggris, seperti yang telah diterapkan di sektor lainnya terkait lingkungan hidup, yaitu kendaraan listrik.
Untuk memastikan rantai pasok kayu sesuai SVLK, Kementerian LHK juga telah mendorong para industri kecil dan menengah (IKM) serta petani hutan rakyat memiliki SVLK. Untuk itu sejak 2017, Kementerian LHK membuat Program Nasional Fasilitasi Sertifikasi Legalitas Kayu Bagi UMKM Kehutanan.
Program nasional ini dilakukan dengan mensinergikan sumber daya yang dimiliki Kementerian LHK untuk melakukan pendampingan dan dukungan bagi UMKM Kehutanan dari hulu dan hilir guna mendapatkan SVLK.
Pada 2019 telah difasilitasi pembiayaan sertifikasi bagi UMKM sedikitnya 150 kelompok atau setara 4.500 unit UMKM (700 unit UMKM industri dan 3.800 unit UMKM Hutan Hak) dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,5 miliar.
Kebijakan ini merupakan komitmen pemerintah sebagai upaya untuk terus-menerus mengembangkan SVLK sebagai norma tidak hanya di negara yang menerapkan FLEGT, juga di negara-negara yang belum menerapkan FLEGT sebagai norma baku impor kayu.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini