Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi teranyar. Tercatat, ekonomi nasional pada kuartal IV/2020 masih berada di area negatif, yakni -2,19% secara tahunan.
Dibandingkan dengan kuartal III/2020, realisasi pertumbuhan ekonomi tersebut membaik. Sebab, pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni -3,49%.
Berkaca pada tren minus yang terus turun ini, sejumlah pihak optimistis ekonomi nasional membaik pada kuartal-kuartal mendatang. Yang terdekat, pada kuartal I/2021, koreksi pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan semakin mengecil.
Bahkan ada yang memperkirakan, ekonomi nasional akan tumbuh di level positif. Sebuah optimisme yang cukup beralasan jika melihat sejumlah indikator sejauh ini, dan implementasi program vaksinasi yang kian meluas.
Bahkan, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tetap optimistis pertumbuhan ekonomi tetap bisa tercapai tahun ini. Instrumen yang digunakan untuk memacu pertumbuhan, salah satunya adalah mendorong konsumsi pemerintah dan investasi. Di kedua instrumen itu diharapkan tetap bisa tumbuh tiga persen hingga empat persen.
Benar, investasi dan pembangunan infrastruktur tetap akan digenjot oleh pemerintah sebagai bagian pengungkit pertumbuhan ekonomi. Nah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun sudah menyiapkan sejumlah pembangunan untuk mendongkraknya. Belum lama ini, Kementerian PUPR telah mengumumkan sebanyak 25 proyek kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) senilai Rp286,8 triliun sudah siap untuk dilelang pada tahun ini. Pertanyaannya kenapa harus melalui skema KPBU?
Dana yang dimiliki pemerintah termasuk melalui APBN terbatas jumlahnya, sehingga swasta pun dilibatkan untuk ikut mendanainya. Pelibatan modal swasta itu dilakukan melalui skema KPBU.
Untuk tahun ini, Kementerian PUPR telah menetapkan pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan, kementerian menawarkan 25 proyek selama 2021 dengan nilai Rp278,35 triliun.
Khusus proyek pemerintah, ada gap pendanaan yang masuk APBN dan non-APBN. Gap-nya mencapai 70 persen yang non-APBN atau setara dengan Rp1.435 triliun. Sedangkan yang dibiayai oleh APBN hanya sekitar 30 persen atau senilai Rp632 triliun dari total kebutuhan anggaran untuk penyediaan infrastruktur sebesar Rp2.058 triliun.
Pada kuartal I 2021, misalnya, pemerintah menawarkan proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) Ir H Juanda dari Bendungan Jatiluhur untuk melayani penduduk Jakarta. Kemudian, SPAM Karian dari Tangerang bagian selatan dan Jakarta bagian barat.
Di bidang sumber daya air (SDA), proyek yang ditawarkan adalah Bendungan Merangin di Jambi dengan nilai Rp6,08 triliun dan Bendungan Matenggeng Jawa Tengah (Rp3 triliun). “Kedua bendungan memiliki peluang ditawarkan melalui skema KPBU karena memiliki daya tarik investasi,” ujar Basuki Hadimuljono.
Menurut Menteri PUPR, biasanya KPBU bendungan bertumpu pada potensi pendapatan untuk investasi dari air baku dan listrik. Di sisi lain, ada irigasi dan pengendalian banjir murni untuk pelayanan masyarakat.
Dalam konteks Bendungan Maringin, bendungan itu berpotensi menghasilkan listrik yang cukup besar yakni 107,45 megawat (MW) dan Bendungan Matenggeng memiliki potensi air baku 1.100 liter/detik dan listrik 28,28 MW.
Pemerintah juga akan menawarkan proyek rusun, dan beberapa proyek jalan tol di wilayah Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan juga sektor kepelabuhanan.
Bagaimana respons swasta terhadap proyek KPBU tersebut? Beberapa emiten konstruksi dan infrastruktur pun bersiap menyambut kesempatan emas ini untuk ikut menggarap pembangunan.
Alternatif Pendanaan
Seperti dimaklumi, KPBU adalah alternatif pendanaan yang disiapkan pemerintah dengan mengunakan skema kerja sama pembangunan yang melibatkan pihak swasta atau dahulu lebih dikenal dengan sebutan public private partnership.
KPBU ini merupakan perjanjian antara pemerintah sebagai sektor publik dan sektor privat (swasta) untuk mengadakan sarana layanan yang diikat dengan perjanjian. Perjanjian itu terbagi menjadi beberapa bentuk, tergantung kontrak dan pembagian risiko.
Melalui skema tersebut, tantangan keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang selama ini menyebabkan selisih pendanaan (funding gap) diharapkan bisa selesai. Apalagi dalam situasi pandemi yang belum juga berakhir, keterlibatan pihak swasta seakan lebih dibutuhkan bila ingin memastikan pembangunan tetap berjalan.
Sebagai gambaran, berdasarkan proyeksi sebelumnya dengan mengukur kemampuan APBN 2020--2024, pemerintah diperkirakan hanya mampu memenuhi 30 persen atau sekira Rp623 triliun dari total kebutuhan anggaran untuk penyediaan infrastruktur sebesar Rp2.058 triliun. Adapun sisanya sekitar 70 persen atau Rp1.435 triliun inilah yang kemudian menjadi gap yang harus didanai dari luar anggaran, dalam hal ini swasta.
Akan tetapi masalahnya, risiko yang begitu tinggi ditambah ketidaklayakan proyek secara finansial, menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk dapat menawarkan sarana infrastruktur. Pasalnya secara naluri, tentu swasta tidak ingin melakukan investasi kepada proyek yang memiliki profitabilitas rendah dan berisiko tinggi. Apalagi proyek infrastruktur memiliki karakteristik jangka panjang.
Keseriusan pemerintah untuk mengedepankan skema KPBU haruslah dapat menjawab keraguan dan keengganan swasta. Salah satu instrumennya adalah dengan memberikan fasilitas berupa dukungan semisal jaminan dan insentif perpajakan sebagai pemanis.
Dengan demikian, sejumlah proyek KPBU yang ditawarkan itu bisa menjawab sesuai komitmen pemerintah untuk meneruskan pembangunan infrastruktur meskipun Indonesia sedang menghadapi pandemi. Langkah tersebut dibutuhkan agar ekonomi biaya tinggi dapat terus ditekan dan iklim investasi di tanah air menjadi lebih baik lagi.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari