Pemerintah tidak akan secara sepihak melarang Vaksin Nusantara. Pihak pengembang harus membuktikan semua klaim keberhasilannya.
Pemerintah tak berniat untuk menghentikan pengembangan Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agung Putranto. “Dalam masa pandemi ini pemerintah terus mendukung dan mengawal perkembangan vaksin yang tentu harus didasarkan kepada ilmu, metode ilmiah, dan diuji di laboratorium, sampai menghasilkan kandidat vaksin yang potensial," kata Juru Bicara Satgas Covid-19 Profesor Wiku Adisasmito dalam konferensi reguler, Selasa (23/2/2021) di Jakarta.
Vaksin Nusantara itu mendadak menarik perhatian publik, setelah secara bertahap beredar kabar bahwa uji klinis tahap satunya sudah rampung pada akhir Januari lalu. Berita semakin santer setelah tersiar kabar bahwa laporan uji klinis itu sudah disampaikan ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Jakarta.
‘’Kami baru menerima hasil uji klinis fase 1-nya, jadi masih dievaluasi oleh timnya Direktur Registrasi dari BPOM dengan tim ahli, untuk dinilai kelayakannya, apakah bisa segera kita keluarkan protokol untuk uji fase 2-nya," ujar Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito.
Namun sejauh tak ada masalah di sisi etik, safety, dan kemanfaatannya dalam menstimulasi antibodi, tidak ada alasan BPOM untuk menolak menerbitkan protokol untuk uji fase keduanya.
Vaksin Nusantara luput dari perhatian publik. Vaksin ini baru muncul sepintas pada Desember 2020, dengan nama Joglosemar, namun isunya tidak jauh bergulir. Nama dokter Terawan, yang saat itu masih menjabat Menteri Kesehatan, disebut sebagai penggagasnya. Vaksin itu dikembangkan oleh PT Rama Emerald Multi Sukses, industri farmasi yang telah berkiprah hampir 40 tahun dan bekerja sama pula dengan Litbang Kesehatan Kemenkes.
Dalam pelaksanaannya, Rama Emerald Multi Sukses menggaet AIVITA Biomedical Inc asal California, sebagai mitranya. Penelitiaan praklinis dan pengujian klinisnya dilakukan oleh para ahli dari RS Kariadi, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro Semarang, dan Litbangkes. Sejumlah dokter FK UGM Yogyakarta dan FK UNS Surakarta dilibatkan sebagai peneliti. Penelitian dilakukan sejak Oktober 2020.
‘’Kami bahu-membahu untuk mewujudkan vaksin berbasis dendritic cell," kata dokter Terawan, ketika itu. Meski sudah tak bertugas sebagai menteri, dokter Terawan masih mengawal proyek tersebut. Ia pun telah berulang kali tampil memberikan penjelasan saat vaksin model baru itu menjadi sorotan sejak medio Februari ini. Namun, vaksin itu kini dinamai Vaksin Nusantara.
Menurut dokter Terawan, Vaksin Nusantara itu seperti vaksin yang lain, yakni bisa memberikan efek kekebalan (imun) bagi penggunanya. Yang berbeda ialah platform vaksinnya. Bila pada vaksin lain ada platform inactivated virus (virus dilemahkan), platform rekombinan protein, vektor adenovirus, DNA, atau mRNA, yang semuanya berperan sebagai pembawa antigen untuk stimulasi kekebalan. Vaksin Nusantara menggunakan sel dendritik sebagai pembawa antigennya.
Vaksin sel dendritik ini diramu secara individual, yang menurut dokter Terawan, membuatnya cocok untuk semua penerima. Sel dendritik itu diisolasi dari sel darah putih pasien. Sel-sel itu kemudian dipaparkan ke genom antigen (potongan materi genetik virus Covid-19) yang akan “ditelannya” untuk kemudian nongol di dinding selnya.
Setelah menelan genom virus itu, sel-sel dendritik tak ubahnya seperti vaksin lain, yang bisa menstimuliasi lahirnya antibodi. Untuk menjamin jumlah cukup, sel-sel itu dibiakkan selama tiga hari. Setelah itu larutan berisi sel dendritik disuntikkan kembali ke pasien. Sel-sel dendritik akan berkembang dalam tubuh.
Dengan pendekatan yang lebih individual, sel dendritik dianggap bisa dikenakan kepada pasien tua atau muda dan dianggap aman bagi mereka yang mengidap penyakit pemberat (komorbid). Karena keberadaan antigen ini melekat pada badan sel dendritik, yang secara “organik” adalah bagian tubuh asli manusia. Maka dari itu, dokter Terawan pun menyebutnya sebagai vaksin yang menghadirkan imunitas seluler dan memberikan imunitas jangka panjang, bahkan seumur hidup.
Dalam lingkup sistem kekebalan tubuh, imunitas seluler itu memang sama lazimnya dengan imunitas humoural yang biasa dibangkitkan oleh vaksinasi. Bila imunitas seluler itu muncul dari sel-sel tubuh, maka yang humoural muncul dengan dimediasi oleh makromolekul yang ada dalam cairan tubuh. Vaksin merangsang T-sel dan B-sel dalam menciptakan imunitas.
Dokter Terawan cukup akrab dengan penggunaan sel dendritik. RS Gatot Subroto, tempat dokter Terawan merintis karirnya sebagai dokter militer, telah mengembangkan teknik rekayasa sel dendritik untuk membangun sistem kekebalan tubuh guna melawan penyakit kanker. Pada masyarakat kedokteran, hal tersebut dianggap lebih lazim ketimbang sebagai vaksin untuk menghadapi kondisi pandemik akibat virus ganas seperti Covid-19.
Tak ayal, kontroversi pun merebak, dan banyak kritikan yang dialamatkan kepada Vaksin Nusantara. Dengan platform yang individual, pelayanan individual dan eksklusif, vaksin ini dianggap hanya akan melayani masyarakat kalangan atas.
Kritik lainnya ialah belum ada bukti vaksin ampuh berbasis sel dendritik untuk virus ganas. Yang lain mempertanyakan klaim bahwa vaksin itu sanggup membangun imunitas jangka panjang bahkan seumur hidup. Semua meminta bukti, dan banyak pula yang meminta uji klinisnya dihentikan.
Namun, proses pembuatan vaksin adalah proses ilmiah yang tidak bisa dihentikan secara sepihak. Sains harus berkembang secara bebas. Para peneliti di Semarang pun mendapat manfaat dari teknologi mutakhir, yang diboyong dari AIVITA Biomedival, berupa teknik isolasi sel dari serum darah, proses pencakokan genom antigen, dan pembiakannya.
Bola di kini di tangan BPOM. Dengan melibatkan panel ahli, tim praktisi dari BPOM punya kesempatan mengaudit segala proses pembuatan vaksin baru itu mulai dari isolasi sel-sel dendritiknya hingga uji klinis tahap-1 yang dilaporkan melibatkan 180 relawan.
Yang tak kalah penting, proses audit oleh BPOM juga harus cukup transparan, kredibel, dan akuntabel. Dengan begitu, tak ada alasan masyarakat mencemaskannya.
Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari