Indonesia.go.id - Ini Langkah Bank Indonesia Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

Ini Langkah Bank Indonesia Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

  • Administrator
  • Jumat, 27 Oktober 2023 | 13:25 WIB
KURS RUPIAH
  Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah ke Rp15.872 saat perdagangan ditutup pada Minggu, 22 Oktober 2023. Diikuti sejumlah mata uang Asia lainnya. ANTARA FOTO
Pelemahan rupiah terjadi karena sejumlah faktor luar dan dalam negeri. Bagaimana otoritas moneter mengatasinya? Bank Indonesia pun menerbitkan instrumen baru.

Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah ke Rp15.872 saat perdagangan ditutup pada Minggu, 22 Oktober 2023. Sebelumnya, posisi tersebut juga terjadi pada perdagangan Jumat, 20 Oktober 2023, di mana rupiah melemah 0,36%.

Menurut kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah berada di angka Rp15.856 per dolar AS, melemah dari Rp15.838 per dolar AS pada hari perdagangan sebelumnya.

Aksi Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang memutuskan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (BI7DRR) naik menjadi 6%, untuk sementara belum berefek positif. Merujuk  Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023), suku bunga deposit facility juga naik menjadi 5,25% dan suku bunga lending facility menjadi 6,75%.

“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak mengingat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024,” kata Perry.

Mata Uang Asia Melemah

Meskipun mengalami tekanan, menurut pantauan BI, kondisi rupiah relatif lebih baik situasinya dibandingkan dengan pelemahan beberapa mata uang negara lain. Sejumlah mata uang Asia mengalami depresiasi terhadap dolar AS secara year to date (ytd).

Setidaknya, sebanyak delapan mata uang Asia terpantau melemah dengan catatan dampak terbesar terjadi pada mata uang yen Jepang sebesar 12,75% ytd. Beberapa kantor berita finansial melaporkan kondisi tersebut terjadi pada umumnya terjadi akibat suku bunga The Fed yang mengisyaratkan masih ada potensi menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,50-5,75%, khususnya pada Desember.

Menurut laporan cnbcindonesia.com, terpuruknya yen Jepang semakin parah akibat Bank of Japan (BoJ) memutuskan menahan suku bunganya di level ultra-rendah. BoJ dikabarkan berjanji untuk terus mendukung perekonomian sampai inflasi secara berkelanjutan mencapai target 2%. Hal ini menunjukkan bank tersebut tidak terburu-buru untuk menghentikan program stimulus keuangan.

Kondisi terparah kedua terjadi pada ringgit Malaysia yang terkoreksi mencapai 7,66% ytd basis ringgit. Ringgit telah jatuh ke level terendah sejak krisis keuangan Asia 1997-1998, karena mata uang tersebut terbebani kenaikan dolar AS dan perbedaan suku bunga yang semakin lebar dengan negara tersebut.

Selanjutnya, won Korea Selatan berada di peringkat ketiga dengan pelemahan 5,93% ytd basis won. Berturut-turut berikutnya adalah baht Thailand tersungkur pada 4,64%, dan peso Filipina menurun ke 1,73% ytd.

Kondisi AS dan Tiongkok

Selain hal tersebut, Perry Warjiyo juga menyatakan salah satu alasan kenaikan suku bunga BI adalah tensi geopolitik yang meningkat sehingga membuat harga minyak masih cukup tinggi. Alhasil, inflasi cukup sulit untuk diturunkan sehingga suku bunga perlu ditingkatkan.

Selain itu tak dipungkiri juga, perkembangan perekonomian dalam negeri dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, turut berpengaruh. Kantor berita cnbcIndonesia.com mengutip analisis perekonomian AS yang makin menguat. Itu terlihat dari ISM (The Institute for Supply Management) Services AS  yang melonjak cukup signifikan ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.

Data lainnya juga menunjukkan angka pengangguran AS mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.000. Beragam data tersebut, menurut sejumlah analis, mencerminkan penguatan ekonomi AS sehingga tingkat inflasi bisa sulit ditekan ke depan.

Faktor lainnya yang turut berpengaruh adalah kondisi ekonomi Tiongkok. Caixin PMI Manufacturing PMI menunjukkan, aktivitas manufaktur Tiongkok menjadi lebih ekspansif sejak Agustus 2023. PMI Agustus menjadi yang tertinggi sejak Februari 2023 atau dalam lima bulan terakhir.

Walaupun cenderung positif, data ekonomi ekspor dan impor Tiongkok masih mengalami kontraksi. Angka ekspor kembali terkoreksi mencapai 8,8% year on year (yoy) menjadi USD284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka menjadi sebesar 7,3% (yoy) menjadi USD216, 51 miliar. Demikian pantauan cnbcibndonesia.com pada Sabtu (9/9/2023).

Instrumen Baru Investasi

BI menyatakan, akan terus berkomitmen dan melaksanakan penguatan rupiah. Sebelumnya, BI telah menerbitkan instrumen baru berupa Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang akan diterapkan pada 15 September 2023. Pada tahap awal, SRBI akan diterbitkan pada tenor enam bulan, sembilan bulan, dan 12 bulan.

Menurut keterangan resmi situs BI, di pasar perdana, SRBI hanya dapat dibeli bank umum yang menjadi peserta OPT konvensional, baik secara langsung atau melalui lembaga perantara. Untuk pasar sekunder, SRBI bisa dipindahtangankan dan dimiliki oleh nonbank dan bisa dimiliki warga negara Indonesia maupun warga negara asing.

"Nah, ada asing yang masuk kemudian bisa memperdalam pasar valuta asing dan bisa mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah,” kata Perry.

Tidak hanya menaikkan suku bunga, BI juga akan merilis instrumen investasi baru pada pertengahan November 2023. Kebijakan tersebut adalah penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Menurut Perry, hal ini ditujukan agar dapat menarik modal asing ke Indonesia yang promarket, selain SRBI.

SVBI adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek atau di bawah satu tahun dengan tenor sebesar satu bulan, tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, hingga 12 bulan. SVBI menggunakan underlying aset berupa surat berharga dalam valuta asing milik BI. 

Untuk SUVBI adalah sukuk dalam valuta asing yang diterbitkan BI dengan menggunakan underlying aset berupa surat berharga dalam valuta asing berdasarkan prinsip syariah milik BI. SUVBI memiliki tenor sebesar satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan. Namun, Perry membuka peluang kalau pasar kuat, tenor SUVBI akan diperpanjang hingga 12 bulan. 

Perry menambahkan, kedua instrumen tersebut bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan boleh juga diperdagangkan dengan nonresiden. “Ini merupakan komitmen BI untuk makin promarket sehingga secara bertahap kami meluncurkan instrumen yang lebih promarket," ujarnya.

Perry juga mengharapkan hal yang sama. “Ke depan, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation,” katanya lagi kepada pers di Jakarta, Kamis.

Selain itu, Perry mengatakan akan terus meningkatkan dan memperluas koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha dalam pengimplementasian instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.

Ihwal peningkatan instrumen, Perry juga mengharapkan hal yang sama. “Ke depan, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation,” katanya lagi kepada pers di Jakarta, Kamis.

Selain itu, Perry mengatakan akan terus meningkatkan dan memperluas koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha dalam pengimplementasian instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.

Kebijakan itu juga untuk mengantisipasi berbagai strategi keuangan yang diluncurkan The Fed menjelang akhir tahun ini. Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan, pertemuan November ini akan menahan suku bunganya di angka 5,25--5,50%. Untuk Desember mendatang, masih ada potensi The Fed untuk menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps).

Analis pasar mata uang Lukman Leong menilai, pernyataan hawkish (pengetatan) dari pejabat The Fed, Christopher J Waller dan John Williams. “Waller mengatakan walau tidak akan menaikkan suku bunga pada pertemuan November 2023, bisa saja suku bunga dinaikkan di pertemuan berikutnya. Sedangkan, Williams melihat suku bunga The Fed akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama,” kata Lukman seperti dikutip kantor berita Antara pada Kamis (19/10/2023).

Dukungan Pengusaha

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Kamdani mengapresiasi berbagai usaha BI untuk mempertahankan rupiah. “Kami menghormati dan mendukung keputusan menaikkan suku bunga acuan ke 6%, juga mengapresiasi BI menciptakan kenaikan suku bunga yang minimal. Maka beban penyesuaian kenaikan suku bunga di sisi pelaku usaha bisa lebih bisa dikelola," kata Shinta, melalui keterangan pers, Kamis (19/10/2023).

Kadin, menurut Shinta, berharap instrumen kenaikan suku bunga dijadikan “last resort” untuk menciptakan stabilitas dan penguatan nilai tukar. “Instrumen kebijakan dan intervensi moneter lain yang dimiliki Bank Indonesia untuk mengendalikan nilai tukar harus ditingkatkan,” kata Shinta.

Kronologi Kebijakan BI terhadap Rupiah

Beberapa poin penting dari perjalanan kebijakan Bank Indonesia terhadap rupiah selama 2023 adalah sebagai berikut:

  • BI fokus pada stabilisasi nilai tukar rupiah dan pengendalian inflasi agar kembali ke sasaran lebih awal sebagai bagian dari langkah mitigasi terhadap dampak rambatan gejolak global.
  • BI menerapkan strategi seperti memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait, mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, serta memperluas kerja sama bilateral currency swap arrangement (BCSA) dengan negara-negara mitra.
  • Bank Indonesia menetapkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75% sejak Maret 2023 dan yakin tingkat bunga tersebut memadai untuk mengarahkan inflasi inti terkendali dalam kisaran 3,0±1% dan inflasi IHK kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada semester II 2023.
  • BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation dan menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Kronologi kebijakan BI terhadap kurs rupiah selama 2023 adalah sebagai berikut:

  • Januari 2023

BI menaikkan suku bunga acuan (BI7DRR) menjadi 5,75% untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah gejolak ekonomi global.

  • Februari 2023

BI yakin BI7DRR sebesar 5,75% memadai untuk memastikan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 3,0±1% pada semester I-2023 dan inflasi IHK kembali ke dalam sasaran 3,0±1% pada semester II-2023.

  • Maret 2023

BI mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% dan mengumumkan laporan kebijakan moneter triwulan I-2023 yang menyatakan bahwa BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor dan memitigasi risiko rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.

  • April 2023

BI kembali mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% dan mencatat bahwa nilai tukar rupiah mengalami penguatan sejak awal 2023, di mana sampai 18 Januari 2023 rupiah menguat 3,18% secara point to point dan 1,20% secara rerata dibandingkan dengan level Desember 2022.

  • Oktober 2023

BI menyampaikan perkembangan indikator stabilitas nilai rupiah yang menunjukkan bahwa pada akhir hari Kamis, 19 Oktober 2023 rupiah ditutup pada level (bid) Rp15.810 per dolar AS (*).

 

Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna/Elvira Inda Sari