Indonesia.go.id - G7 Plus G20 Bertekad Ringankan Dampak Perang

G7 Plus G20 Bertekad Ringankan Dampak Perang

  • Administrator
  • Sabtu, 14 Mei 2022 | 15:44 WIB
G20
  Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan G7 Foreign and Development Ministers Meeting. Acara tersebut dilakukan secara hibrid, online dan offline. Kemenlu
Di sidang G7, Menlu RI Retno Marsudi mendesak agar bahan pangan dan pupuk tidak dimasukkan dalam daftar embargo terkait perang di Ukraina. Indeks harga pangan masing tinggi.

Group Seven (G7) ialah kelompok tujuh negara terkemuka di dunia yang berhimpun untuk bekerja sama turut memecahkan persoalan global. G7 berdiri pada 1975 dengan anggota Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang. Belakangan Uni Eropa terlibat di dalamnya. Pemegang presidensinya bergiliran dan pada 2022 ada di pundak Jerman.

Inflasi global akibat pandemi Covid-19, yang diperburuk oleh perang di Ukrania, telah membuat harga pangan dan energi melambung tinggi. Situasi rawan ini harus ada jalan keluarnya dan isu ini termasuk yang terus dibahas oleh G7. Hanya saja, mereka tak mau sendirian. Maka, G7 mengajak serta G20, yang pada 2022 ini presidensinya tersampir di bahu Indonesia, untuk bersama-sama mencari cara pemecahannya.

Dalam pertemuan menteri luar negeri (Menlu) G7, yang membahas isu tentang dampak perang di Ukraina atas ketahanan pangan dunia, Menlu RI Retno Priansari Lestari Marsudi diundang khusus oleh Menlu Jerman Annalena Baerbock, untuk memberi pandangan atas masalah tersebut. Retno Marsudi hadir sebagai “koordinator” menlu negara-negara G20.

Hadir secara virtual dari Washington AS, Jumat (13/5/2022) dalam rangka  mengawal kunjungan kerja Presiden Joko Widodo, Menlu Retno Marsudi menyambut baik inisiatif G7 untuk membahas  isu ketahanan pangan ini. Secara umum, ketahanan pangan itu sendiri merujuk pada ketersediaan pangan dan distribusinya, keterjangkauan harganya, dan kualitasnya cukup baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Di depan forum Menlu G7+G20 itu, Menlu Retno Marsudi menekankan bahwa perang di Ukraina telah memberi dampak  buruk pada ketahanan pangan global, dan itu lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang. Kelangkaan dan kenaikan harga-harga pangan, tutur Retno Marsudi, harus dicegah. Maka, Menlu Retno Marsudi mendesak agar masyarakat internasional tak memasukkan bahan pangan dan pupuk tanaman dalam sanksi politik terkait perang di Ukraina. Dengan begitu, ketersediaan pangan dan proses produksinya bisa terjaga.

Pandangan Indonesia, yang juga mewakili G20, memang cukup sensitif di tengah situasi perang di Ukraina yang membuat negara-negara di dunia terbelah. Namun, seperti ditulis dalan keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI, negara-negara G7 dapat memahami situasi kompleks dan sulit yang dihadapi saat ini, dan semua memberikan dukungan terhadap Presidensi Indonesia.

Pertukaran pandangan antara Menlu RI dan para Menlu G7 dalam pertemuan itu, menurut berita dari laman Kemenlu RI itu, berjalan sangat positif. Tak ada satu pihak pun yang menginginkan G20 terpecah. Diskusi pun dilaksanakan dengan spirit untuk mencari solusi terhadap situasi yang tidak mudah saat ini. Pembicaraan akan berlanjut pada pertemuan G20 di Bali pada Juli mendatang.

Harga Pangan Terdampak

Dari laman resmi Organisasi Pangan Dunia (FAO) disampaikan bahwa harga bahan pangan secara rata-rata masih tinggi. Indeks harga pangan pada April 2022 mencapai 158,5, hanya 1,2 poin lebih rendah dari titik tertinggi sepanjang waktu (all time hight) yang terjadi pada Maret 2022. Tak bisa dipungkiri, lonjakan pada Maret itu terkait serangan Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022.

Penurunan indeks yang secuil itu hanya dimaknai sebagai susutnya kepanikan pascaaksi serbuan Rusia ke Ukraina. Perang terus terjadi. Pemerintah Ukraina mengklaim  (9/5/2022), 90 juta ton produk pertaniannya, termasuk gandum, jagung, dan minyak nabati, tak bisa dikirim ke luar negeri karena pelabuhannya di Laut Hitam diblokade angkatan laut milik Rusia. Sebaliknya, sebagian ekspor dari Rusia, termasuk gandum dan pupuk, juga terhadang karena sanksi ekonomi dari banyak negara.

Dampak perang itu pun merambat ke mana-mana. Secara umum harga bahan pangan mencapai ke level tertinggi pada Maret 2022, dan terkoreksi di bulan April 2020. Toh, tetap masih tinggi. Harga pangan di April 2022, secara rata-rata 29,8 persen di atas harga April 2021. Indeks harga sereal rata-rata bertengger di level 169,5, naik terjal dari posisi 2020 yang masih 103,1.

Untuk minyak nabati kenaikannya cukup ekstrem. Indeks harganya April 2022 ada di level 237,5, melesat tinggi dari 99,4 pada 2020. Yang harganya relatif stabil adalah daging dan gula pasir.

Dalam catatan FAO, ada harapan sejumlah harga akan turun, atau setidaknya tak bergerak naik ke posisi lebih tinggi. Panen raya musim gugur di Brazil (Selatan) dan Argentina cukup melimpah, dan membanjir ke pasar. Pasokan gandum India lebih besar dari yang diperkirakan.

Namun, Pemerintah India sendiri menyatakan akan menghentikan ekspor gandumnya (13/5/22), setidaknya untuk sementara waktu. Peristiwa gelombang panas yang menerjang beberapa negara bagian, termasuk Gujarat, mendorong Pemerintah India mengamankan stok gandum dalam negeri ketimbang menangguk devisa dari impor. Ada kekhawatiran gelombang panas itu akan menekan hasil panen.

FAO juga menyebut harga minyak nabati tergantung pada kebijakan Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sementara itu, Indonesia menghentikan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak RBD Olein ke luar negeri, sampai harga minyak goreng dalam negeri stabil. Jadi, minyak nabati dan gandum masih belum bisa diprediksi trennya ke depan sampai tersedia laporan yang lebih rinci tentang pasokan dari seluruh produsen. Bila tak terkendali, kedua komoditas ini bisa mengungkit harga pangan lebih tinggi.

Situasi akan memburuk bisa pasokan pupuk ke pasar dunia terganjal. Rusia adalah eksportir pupuk terbesar di dunia. Ia mengekspor sekitar 7 juta ton pupuk Urea per tahun, menyumbang  16 persen ke pasar dunia. Rusia juga mengekspor kalium dan fosfor untuk bahan baku pupuk.

Desakan Indonesia, sebagai pemegang Presidensi G20, agar pupuk tidak masuk dalam daftar sanksi larangan ekspor menjadi relevan. Situasi akan lebih ringan bila perang di Ukraina cepat berakhir dan masyarakat dunia bisa bersama-sama melawan hantu inflasi global yang masih gentayangan.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari