Presiden Joko Widodo pada Jumat 20 September 2019 meminta penundaan pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Setelah mendengarkan masukan dari berbagai kalangan, menurut presiden pengesahan RKUHP tidak perlu dilakukan oleh DPR RI periode 2014 - 2019, yang notabene akan habis masa kerjanya pada 30 September 2019 ini.
"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," ujar Presiden.
Tak hanya itu. Permintaan supaya masukan dari masyarakat didengarkan dalam pembahasan RKUHP juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi ini. Materi RKUHP yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara pemerintah dan Komisi III DPR pada 18 September lalu itu, dan sedianya hendak disahkan jadi undang-udang dalam sidang paripurna DPR tanggal 24 September ini, disadari oleh Presiden masih mengandung sejumlah materi yang butuh pembahasan lebih lanjut.
"Saya perintahkan Menkumham kembali jaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada" kata Presiden di Istana Bogor.
Setidaknya terdapat beberapa isu seputar materi RKUHP, yang hingga kini masih mengundang penolakan masyarakat luas. Antara lain, pasal 218 - 220 tentang penghinaan presiden; pasal 240 - 241 tentang penghinaan presiden yang sah; pasal 353 - 354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
Selain itu, juga masih ada beberapa pasal yang menyulut pro-kontra. Ambilah contoh materi soal perzinaan, aborsi, pelarangan perihal mempertunjukkan alat kontrasepsi, masalah gelandangan dan pengamen yang didenda karena mengganggu ketertiban umum, hingga soal pidana mati.
Sudah tentu keputusan Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan RKUHP ini patut diapresiasi. Tak kecuali juga arahan Presiden kepada Menkumham untuk menjaring masukan dari kalangan masyarakat luas patut diwujudkan dengan membuka seluas-luasnya ruang publik dalam pembahasan RKUHP.
Menyenangkan semua pihak dengan mengakomodasi semua ide dan aspirasi dari semua kelompok tentu bukanlah resep terbaik. Namun memastikan RKUHP harus sesuai dengan spirit dan nilai-nilai demokrasi sebagai amanat agenda Reformasi 1998, bagaimanapun adalah tugas yang harus ditorehkan untuk menyemai tegaknya supremasi hukum sebagai salah satu pilar peradaban bagi Indonesia yang lebih baik.
Sejarah KUHP
KUHP yang berlaku di Indonesia ialah warisan hukum kolonial Belanda, yang notabene sudah berlaku di Indonesia sepanjang satu abad lebih.
Memiliki nama asli Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI. Regulasi ini diberlakukan di tanah Hindia Belanda melalui Koninklijk Besluit (Titah Raja Belanda -- Invoerings-verordening) Nomer 33 pada Oktober 1915 dan mulai diberlakukan pada 1 Januari 1918. WvSNI sendiri merupakan produk hukum turunan dari Wvs Belanda yang dibuat pada 1881 dan diberlakukan di Belanda pada 1886.
Memasuki era penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang di Indonesia tidak pernah mencabut berlakunya WvSNI. Meskipun demikian Jepang bukan tak sesekali juga memberlakukan maklumat ketentuan hukum pidana tertentu di Indonesia. Maka di sepanjang sejarah pendudukan Jepang bisa dikata terdapat dua aturan pidana secara bersamaan, yaitu aturan pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang dan aturan pidana peninggalan pemerintahan kolonial Belanda WvSNI.
Memasuki periode Indonesia merdeka pada 1945, supaya tidak terjadi kekosongan hukum pidana nasional, maka WvSNI diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sementara itu, hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dihapuskan.
Sudah tentu upaya Indonesia memperbaruhi hukum pidana nasional sudah dilakukan sejak lama. Bahkan bisa dikata, menyusun KUHP baru yaitu KUHP Indonesia, seakan menjadi obsesi tiap menteri hukum di negeri ini.
Bagaimana tidak? Selain KUHP sendiri sudah berusia lebih dari satu abad sehingga tentu sudah tidak sesuai dengan spirit dan konteks perkembangan zaman, lebih jauh KUHP warisan kolonial Belanda ini juga dirumuskan berdasarkan konteks sosiologi hukum masyarakat Belanda yang nisbi berbeda dari konteks sosiologi hukum masyarakat Indonesia.
Selain itu, bahkan hingga kini sebenarnya belum pernah ada teks resmi KUHP terjemahan WvSNI (Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie) yang telah dikeluarkan oleh negara. KUHP yang berlaku selama ini hanya memiliki terjemahan versi tidak resmi yang dilakukan oleh para pakar hukum pidana.
Sebutlah misalnya KUHP versi terjemahan Mulyatno, atau Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, atau R Susilo, dan atau versi Badan Pembinaan Hukum Nasional. Namun toh demikian semua KUHP tersebut bukanlah terjemahan versi resmi yang telah dikeluarkan dan ditetapkan oleh negara. Akibatnya jelas sangat mungkin setiap versi terjemahan KUHP itu akan memiliki redaksi yang berbeda.
Mengingat urgensinya keberadaan hukum pidana nasional, yang bukan saja bersifat pascakolonial, namun juga dirumuskan dengan latar belakang konteks sosiologi hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka proyek KUHP baru ini sebenarnya proses perumusannya telah dimulai jauh hari yaitu sejak era presiden pertama di Indonesia, Presiden Soekarno.
Tercatat upaya melakukan pembaruan KUHP mulai terasa gregetnya sejak 1958, yaitu ditandai dengan berdirinya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional). Selanjutnya juga diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I pada 1963. Seminar ini menghasilkan berbagai resolusi, yang antara lain adanya desakan untuk merumuskan KUHP baru. Masih di tahun yang sama, upaya tersebut juga telah didorong oleh Menteri Kehakiman saat itu, Sahardjo, dengan membentuk tim perumus KUHP.
Namun hingga periode kekuasaan Presiden Soekarno berakhir, upaya merumuskan KUHP Indonesia masih jauh dari terwujud. Bahkan di sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah komando Presiden Soeharto selama 32 tahun praktis belum juga berhasil diwujudkan.
Di masa era Orde Baru ini kita mengenang nama Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1984 - 1993), yang boleh dikata paling gencar mendorong penyusunan KUHP baru. Pada 1993 sebenarnya rumusan KUHP praktis telah berhasil dirampungkan. Namun upaya ini, entah mengapa terhenti saat Menteri Kehakiman berganti di bawa kepemimpinan Oetojo Oesman (1993 - 1998).
Barulah nanti saat Muladi menjabat menjadi Menteri Kehakiman pada 1998, RKUHP ini kembali diajukan. Agenda ini dilanjutkan saat Yusril Ihza Mahendra pada 2001 - 2004 menjabat menjadi Menteri Hukum dan Ham, sebuah nomenklatur baru menggantikan istilah Menteri Kehakiman. Pada 2004, RKUHP masuk progam legislasi nasional prioritas. Saat itu kementerian itu dipimpin oleh Hamid Awaluddin (2004 - 2007). Tapi, pembahasan tak jua kunjung usai hingga 2009, saat posisi menteri dijabat oleh Mohammad Andi Mattalatta (2007 - 2009).
Empat tahun kemudian Komisi III DPR memulai kembali upaya perumusan RKUHP. Akan tetapi surat presiden (supres) untuk membahasnya bersama DPR ternyata baru keluar di tahun 2015, saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah digantikan oleh Presiden Joko Widodo.
Tim perumus pun dibentuk. Diketuai oleh mantan menteri yang pernah concern dengan isu penyusunan KUHP baru yaitu Muladi. Bagaimana keseriusan Muladi memimpin perumusan RKUHP ini terlihat dari pernyataannya belum lama ini, saat kontroversi penolakan pengesahan RKUHP menjadi undang-undang sedang pasang naik terjadi:
"Saya sudah 35 tahun mengkaji masalah ini, kritik yang terjadi oleh pers, medsos, dan pakar tertentu itu (terlihat) sporadis dan tidak mendasar. RKUHP ini rekodifikasi total, bukan amandemen, bukan revisi untuk membongkar pengaruh kolonial Belanda yang sudah 103 tahun. Jangan sampai gagal, ditunda boleh. Tapi gagal, berarti kita (justru) cinta penjajahan" ujur Muladi pada 20 September 2019 dalam jumpa pers di kantor Kemenkumham.
Ya, Muladi tentu benar. Selain sudah berusia satu abad lebih, di negeri asalnya sono yaitu Belanda, kini WvS Belanda sudah tidak berlaku. Di Belanda sendiri sejak 1992 telah digunakan kitab hukum pidana baru, yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek.
Bayangkanlah, RKUHP ini telah melewati 7 kali pergantian presiden dan 20 kali pergantian menteri di sepanjang dimulainya upaya untuk merumuskan KUHP sendiri oleh Menteri Kehakiman Sahardjo (Menteri Hukum dan Ham sekarang) di era Presiden Pertama. Bagaimana mungkin WvSNI yang diadopsi dari WvS Belanda, serta selama ini hanya diubah namanya menjadi KUHP, kini masih hendak dipertahankan di bumi Indonesia? (W-1)