Leluhur menurunkan tradisi kepada generasi penerus. Arus modernisasi memang telah mengikis budaya turunan itu, tetapi ada banyak pula masyarakat yang menolak untuk melupakan tradisi. Meski begitu, kita tetap berada dalam naungan Bhineka Tunggal Ika yang selalu mempersatukan.
Perbedaan keyakinan juga membuat negri ini semakin kaya. Seperti keyakinan Wangsa Bonokeling yang dianut warga sekitar Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah. Keyakinan ini sudah ada sejak nenek moyang kita beberapa ratusan tahun silam, namun hingga kini tetap lesatari setia dianut para pengikutnya.
Wangsa memiliki arti kelanjutan atau keturunan dari suatu kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan kerajaan itu sendiri. Bonokeling, sendiri diambil dari nama seorang Kyai Bonokeling yang konon mempunyai penghormatan tertinggi yang dianggap leluhur pada masanya.
Lalu siapakah gerangan Kyai Bonokeling?
Asal-usul Bonokeling sejatinya masih misterius hingga kini. Pada kenyataannya memang tidak ada sejarah yang mencatatnya. Tampaknya warga meyakini bahwa merahasiakan jati diri ajaran Bonokeling merupakan salah satu upaya melestarikan warisan budaya ini.
Sementara kabar angin menyebut, Kyai Bonokeling adalah nama salah seorang patih di Kerajaan Pasirluhur. Kabar lain juga menyebut Kyai Bonokeling diyakini sebagai cikal-bakal leluhur yang menurunkan seluruh ajaran kepada anak cucunya. Sosoknya sangat dipercaya memiliki ilmu kebatinan tinggi, yang dapat digunakan sebagai jalan bagi keturunannya untuk menggapai keselamatan dunia dan akhirat.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, Kyai Bonokeling sebagai sosok spiritual kejawen di masa lampau mengajarkan lima ajaran tentang kehidupan bagi wangsa pengikutnya yang masih dijalani hingga sekarang. Kelima ajaran tersebut ialah;
- Monembah, yang berarti sebagai manusia dianjurkan beribadah dan menyembah kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
- Moguru, yaitu patuh terhadap perintah orangtua.
- Mongabdi, yang berarti saling menghargai dan menjalin hubungan antarsesama manusia.
- Makaryo yang berarti bekerja. Tanpa bekerja, manusia tak bisa mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang kehidupannya di dunia.
- Manages manunggaling kawula Gusti, yang artinya hubungan manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara apa pun. Dalam keyakinan Bonokeling, setiap orang yang lahir di muka bumi adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, interaksi manusia dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara.
Wangsa Bonokeling juga mempunnyai tradisi yang hampir serupa dengan tradisi nyadran atau unggahan unggahan yang sama-sama berkunjung ke makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim setempat saat menjelang bulan Ramadan tiba.
Perbedaan mencolok pada tradisi nyadran dan unggahan yakni prosesi ritual adat dari unggahan yang masih menjunjung tinggi kebudaayan lokal yang menjadikan masyarakat Bonokeling tetap melestarikan turun menurun ini.
Ritual unggahan ini masih dilaksanakan rutin oleh anak cucu dari Kyai Bonokeling setiap tahun di hari Jumat yang bertepatan sebelum bulan Ramadan tiba. Ritual ini melibatkan hingga seribu penganut kepercayaan Bonokeling dari berbagai desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.
Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul, dengan memulai dengan melakukan caos bekti atau yang berarti salam penghormatan pada para tokoh pemangku yang paling dihormati dalam rumah adat pasemuan. Dan dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Cilacap yang masyarakatnya masih banyak menganut ajaran wangsa Bonokeling.
Pada prosesi caos bekti, para penganut Bonokeling dari yang muda hingga yang tua, semua akan berjalan kaki puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen yang ada di wilayah Kabupaten Banyumas.
Dengan berjalan kaki menyimbolkan napak tilas dari perjalanan leluhur yakni Kyai Bonokeling saat menyebarkann ajarannya. Sembari berjalan, beberapa warga akan terlihat memanggul wadah yang berisi sesaji dan uba rampe yang berisi hasil panen dari ladang dan ternak mereka sebagai persembahan dan rasa syukur.
Selama prosesi tersebut, para kelompok itu akan dipimpin oleh ketua adat selama beberapa hari ke depan. Makam keramat Kyai Bonokeling, juga akan mendadak ramai dan diserbu oleh ribuan wangsanya. Semua desa akan ramai dan meriah sebuah hajatan agung tapi tetap sakral.
Saat pertengahan malam hingga pagi tiba, suasana desa akan dipenuhi nyanyian tembang-tembang Jawa, yang berisi pujian-pujian atau perkataan baik yang dipanjatkan kepada Kyai Bonokeling.
Pada siang harinya, para pria dari wangsa ini akan berbondong-bondong menyembelih hewan ternak hasil mereka sebagai wujud persembahan yang dibawa dari desa Adiraja. Hasil bumi itu lalu dipersembahkan kepada sesama penganut Bonokeling dan memasaknya bersama-sama secara masal untuk dimakan bersama di sekitar area makam Kyai Bonokeling.
Disaat para pria sibuk menyembeli hewan ternak, ratusan perempuan dengan berbalut kemban putih akan memasuki makam Kyai Bonokeling satu per satu dengan khitmad. Para perempuan akan membasuh anggota badannya satu per satu, mulai dari kaki, tangan, wajah sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.
Lalu mereka akan duduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan yang diangkat tinggi oleh mereka. Hal itu bertujuan menghaturkan kehormatan di depan makan keramat.
Dalam kepercayan Bonokeling, perempuan mempunyai kedudukan yang lebih dihormati daripada pria. Hal itu lantaran wanita dianggap perwujudan ibu bumi yang menghasilkan keturunan anak cucu pengikut Bonokeling hingga saat ini. Sebab itu, kedudukan wanita dalam kepercayaan kejawen kuno ini sangatlah dihormati.
Setelah rampung seluruh tradisi dan prosesi ziarah, seluruh anggota Komunitas Adat Bonokeling akan makan bersama di kompleks makam Kyai Bonokeling. Baru pada keesokan harinya, warga Bonokeling yang berasal dari Cilacap akan kembali lagi ke rumahnya masing-masing dengan tetap berjalan kaki. (K-YN)