Indonesia.go.id - Gunongan, Peninggalan Arsitektur Pra-Islam di Banda Aceh

Gunongan, Peninggalan Arsitektur Pra-Islam di Banda Aceh

  • Administrator
  • Kamis, 10 Oktober 2019 | 08:40 WIB
BUDAYA
  Prajurit Tentara Kerajaan Hindia-Belanda di Gunungan, Kutaraja tahun 1874. Foto: Museum Negeri Aceh

Catatan Joao De Barros (1552-1615) yang berumur sedikit lebih tua beberapa tahun sebelum Sultan Iskandar Muda naik tahta memberikan kepastian bahwa Gunongan tidak didirikan pada abad 17 M.

Penelitian tentang peninggalan budaya pra-islam di Aceh hingga saat ini masih merupakan bidang yang sangat jarang dilakukan. Hal ini sangat wajar mengingat wilayah Aceh yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra merupakan wilayah di Nusantara yang paling banyak meninggalkan peninggalan budaya yang kuat pengaruh Islamnya bahkan sejak masa-masa yang paling awal.

Robert Wessing, peneliti antropologi dari Universitas Leiden, Belanda adalah salah seorang yang mencoba membaca dan menginterpretasi  berbagai peninggalan arsitektur di Aceh yang menyiratkan sisa-sisa peninggalan budaya masa sebelum kesultanan Islam. Salah satu artikel karyanya dia tulis di Majalah Archipel Nomor: 35 terbitan tahun 1988. Artikel itu berjudul The Gunongan in Banda Aceh, Indonesia: Agni's Fire in Allah's Paradise?

Wessing mencermati bangunan yang terletak di tengah-tengah Kota Banda Aceh ini sebagai peninggalan arsitektur yang bisa bercerita banyak jika dibaca melalui pendekatan simbol. Hingga hari ini, asal-usul pendirian Gunongan ini masih misterius. Sumber tertua yang menulis tentang bangunan ini adalah Kitab Bustan Al-Salatin yang ditulis oleh Nuruddin al-Raniry pada pertengahan abad 17.

Misteri Pembuat Gunongan

Jika orang berkunjung ke Taman Putroe Phang, kompleks tempat Gunongan berada saat ini di Banda Aceh, akan muncul keterangan bahwa Gunongan ini adalah bangunan yang dibuat pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Bangunan ini dikatakan sebagai persembahan sultan bagi permaisurinya yang berasal dari Phang atau Kerajaan Pahang yang rindu terhadap tanah leluhurnya.

Para peneliti sejarah ternyata meragukan klaim itu. Snouck Hurgronje (1909), yang meneliti khusus tentang Aceh di awal abad 20 adalah salah seorang yang meragukan Gunongan sebagai bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Dia meyakini bahwa bangunan itu berasal dari masa sebelumnya seperti halnya makam-makam yang ada di sekitar kompleks itu yang memang sebagian berasal dari zaman para "meurah".  Seperti diketahui gelar "meurah" adalah gelar penguasa Aceh sebelum masuknya pengaruh Islam.

Berbeda dengan guru besarnya, Husein Djajadiningrat (1916), dia meyakini kalau Gunongan dibuat pada masa Kesultanan Aceh. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Tsani atau masa sesudah Sultan Iskandar Muda. Husein yakin karena catatan itu tertulis dalam Kitab Bustan al-Salatin yang menyebutkan bahwa "... pada zaman baginda lah berbuat suatu bustan". Penulisnya adalah Nuruddin ar-Raniry yang saat itu menjadi Qadi atau Penghulu Utama kerajaan masa Iskandar Kedua.  Husein yakin karena catatan tertulis pada zamannya adalah bukti sejarah yang kuat.

Denys Lombard (1967) adalah salah seorang yang melihat Gunongan sebagai bangunan yang dapat menceritakan saat pengaruh Islam bertemu dengan karakter Asia Tenggara. Dia membandingkannya dengan "Meru" yang ada di istana Sri Menanti di Negeri Sembilan dan gunung buatan yang ada di Taman Sunyaragi, Cirebon yang dibuat pada abad 18. Tetapi dia tidak menyamakan masa pembangunannya dengan temuan-temuan yang lebih muda usianya. Dalam banyak hal Lombard menyiratkan adanya suatu bentuk yang meninggalkan kesan adanya keaslian besar. Bentuknya yang khas menurut Lombard tidak ada miripnya dengan Kraton Jawa.

Gunongan adalah Meru

Robert Wessing berpendapat bahwa Gunongan adalah simbol dari gunung kosmis yang berasal dari masa pra-Islam. Pendekatan ini adalah pendekatan Antropologi Budaya yang melihat munculnya suatu simbol selalu berkait dengan kosmos atau alam budaya Asia Tenggara yang berkembang pada zaman itu. Pengaruhnya jelas berasal dari sebelum Islam seperti terlihat jejaknya hingga kini dalam simbol gunungan wayang yang diperkirakan oleh para ahli bahkan telah ada sebelum masa kedatangan agama Hindu pada abad ke-7 M.

Dalam khazanah Hindu, Meru adalah tempat Dewa Indra berada. Dalam khazanah Siwa, Meru adalah tempat Siwa berada yang letaknya di Himalaya. Dalam berbagai  perkembangannya Meru bisa berujud bukit yang sebenarnya seperti terlihat di lokasi-lokasi bandar-bandar lama Sriwijaya di Palembang. Di Thailand Meru didirikan di tengah ibu kota yang bisa berbentuk stupa atau Pagoda yang dikenal sebagai Gunung Emas. Sementara itu di Khmer, Meru juga berada di tengah-tengah kota dalam bentuk Lingga Kerajaan sebagai perlambang bersatunya penguasa dan dewata di masa Raja Udayadityawarman II (1050-1065).

Catatan sejarah yang memperkuat argumen Wessing adalah catatan Joao De Barros (1552-1615)  yang berumur sedikit lebih tua beberapa tahun sebelum Sultan Iskandar Muda naik tahta. Jika pencatatan De Barros tidak keliru dia akan memberikan kepastian bahwa Gunongan tidak didirikan pada abad 17 M. Bangunan itu sudah terkenal jauh sebelum De Barros tiba di Aceh.

De Barros mengatakan bahwa dulu di daerah Acem (Aceh dalam sebutan orang Portugis) ada kuil besar yang ada di wilayah orang-orang tak beriman (heathen) yang terkenal karena puncaknya terbuat dari emas. Dia berkilau-kilau memantulkan cahaya matahari. Kitab Bustan al-Salatin juga menuliskan hal yang sama tentang puncak Gunongan yang dihiasi oleh Mahkota Bunga yang terbuat dari suasa (campuran emas dan tembaga). (Y-1)

Berita Populer