Indonesia.go.id - Abdul Kahar Muzakkir, Dari Kiai Kasan Besari hingga Muhammadiyah

Abdul Kahar Muzakkir, Dari Kiai Kasan Besari hingga Muhammadiyah

  • Administrator
  • Rabu, 20 November 2019 | 05:10 WIB
PAHLAWAN NASIONAL
  Perwakilan keluarga dari KH Abdul Kahar Mudzakkir yang dianugerahi gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Foto: Setpres/Biro Pers

Kesederhanaan Abdul Kahar tecermin dalam sikap keluarganya yang menolak uluran dana dari Pemerintah Kota Yogyakarta yang ingin memberikan hibah untuk renovasi. Alasannya adalah tidak elok, nanti terjadi korupsi.

Profesor Kiai Haji Abdul Kahar Muzakkir adalah tokoh intelektual Indonesia yang berlatar belakang organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah. Lahir dari keluarga pedagang di Kotagede, Yogyakarta, beberapa sumber mengatakan, dia lahir pada 1907. Buku Muhammadiyah, 100 Tahun Menyinari Negeri (2013) mencatat bahwa dia adalah putra Haji Muzakkir, seorang pedagang di Kotagede.

Liputan khusus Majalah Gatra, 25 Agustus 2012, menulis lebih lengkap. Abdul Kahar adalah salah satu anak laki-laki dari Muzakkir, seorang pedagang ternama Kotagede. Kakek Abdul Kahar bernama Haji Masyhudi yang merupakan salah seorang perintis pendirian Muhammadiyah di Kotagede pada awal pendiriannya di tahun 20-an.

Konon, kakek Abdul Kahar masih terhitung cicit dari Kiai Kasan Besari, yang diceritakan dalam sejarah pernah menjadi salah seorang komandan laskar Pangeran Diponegoro di zaman Perang Jawa. Dari garis Kiai Kasan Besari inilah jejak Tarekat Syattariyah menjadi salah satu unsur penting  dalam garis leluhur Abdul Kahar yang terbukti sangat membantu dia di masa-masa penting dalam hidupnya.

Artikel Majalah Gatra yang ditulis Arief Koes Hernawan, sepertinya sedikit mempunyai kekeliruan dalam menyebut tarekat Kiai Kasan Besari. Di sana tertulis "Tarikat Sabariyah" padahal Kiai Kasan Besari dalam studi Peter Carey di buku riwayat Pangeran Diponegoro yang berjudul Kuasa Ramalan (2012), termasuk salah satu dari jaringan ulama yang disinggahinya saat bergerilya. Seperti telah banyak diketahui lingkungan yang mempengaruhi pemahaman agama Pangeran Diponegoro adalah lingkungan Tarikat Syattariyah yang bersumber dari nenek buyutnya, Kanjeng Ratu Ageng, permaisuri Hamengkubuwono I.  

Kesederhanaan Seorang Pejuang

Banyak riwayat para pendiri republik ini merupakan orang-orang yang teguh berjuang tanpa pamrih. Salah satunya tampak dari peninggalan Abdul Kahar di Kotagede. Saat wartawan Gatra mengunjungi sebuah rumah  di sekitar Selokraman, Kotagede, yang tampak hanya sebuah rumah kosong yang tidak beda dengan rumah lainnya. Bentuknya limas seperti bangunan tua lainnya.

Menurut keluarga Abdul Kahar, rumah itu dibangun pada 1937. Tahun itu adalah tahun kedatangan Abdul Kahar sepulang dari Mesir. Kesederhanaan Abdul Kahar tecermin dalam sikap keluarganya yang menolak uluran dana dari Pemerintah Kota Yogyakarta yang ingin memberikan hibah untuk renovasi. Alasannya adalah tidak elok, nanti terjadi korupsi.

Dari keluarga Abdul Kahar tercatat riwayat masa kecilnya dia jalani di Kotagede. Semasa sekolah dasar dia bersekolah di tempat yang saat ini bernama SD Kleco. Selepas pendidikan dasar dia melanjutkan ke pesantren Gading dan Krapyak di sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Sebagai santri dia juga melakukan santri keliling ke Pesantren Jamsaren Solo kemudian dilanjutkan ke Madrasah Mambaul Ulum  di kota yang sama. 

Pada usia 18 tahun, Abdul Kahar menjalankan ibadah haji ke Mekah, tetapi karena suasana perang sedang berkecamuk di sana, Abdul Kahar memutuskan pergi ke Mesir. Di sana dia belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Setelah dua tahun dia pindah ke Darul ulum. Masa itu dia jalani selama 13 tahun. Hal itu membuat dia dekat dengan Sayid Quttub salah seorang ulama Sunni Islam yang mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah.

Selama di Mesir, itu Abdul Kahar aktif dalam pergerakan mahasiswa-mahasiswa asal Asia Tenggara yang memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari kolonialisme. Abdul Kahar juga menulis artikel di sejumlah koran Mesir seperti Al-Balagh dan Al Hayat. Tahun 1931, mufti besar Palestina, Sayid Amin Huseini, meminta Kahar untuk hadir dalam Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara.

Dia tidak langsung menyanggupi. Lebih dulu dia meminta izin koleganya di Hindia Belanda waktu itu yang menurut dia lebih pantas mewakili Asia Tenggara. Hingga akhirnya dia bisa hadir di Palestina yang waktu itu masih berada dalam wilayah British Trans-Jordania. Abdul Kahar adalah salah seorang yang membuat para pemimpin di Timur Tengah bersimpati terhadap perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Intelektual Muhammadiyah

Tahun 1938, Kahar akhirnya kembali ke Indonesia. Pengalaman belajar di Kairo membuat dia langsung aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi Direktur Madrasah Mualimin. Selanjutnya dia aktif di Pemuda Muhammadiyah dan Majelis Pembina Kesejahteraan Umat atau PKU.

Selain pendidikan dan dakwah, Abdul Kahar memulai aktivitas politik dengan bergabung bersama Partai Islam Indonesia (PII). Di sana dia bertemu dengan tokoh-tokoh seperti HM Rasjidi, KH Mas Mansoer, Faried Ma'aroef, Kasmat Bahuwinangun, dan Soekiman Wirjosandjojo. PII adalah pecahan dari Partai Sarekat Islam Indonesia yang muncul setelah muncul konflik akibat tuduhan korupsi terhadap HOS Cokroaminoto.

Artikel di Harian Republika 12 Maret 2019 menyebutkan bahwa dalam Kongres PII 1940, Kahar Muzakkir duduk sebagai unsur pimpinan pusat PII. Partai ini kemudian dibubarkan ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942.

Dari Shumubu hingga BPUPKI

Hingga 1943, Abdul Kahar bekerja di lingkungan Keraton Yogyakarta. Karena pengalaman internasionalnya dia menjadi komentator berita siaran-siaran radio berbahasa Inggris dan Arab di Jakarta. Beberapa waktu kemudian dia dimasukkan ke dalam Kantor Urusan Agama bentukan Jepang yang diberi nama Shumubu.

Saat itu Jepang ingin menyatukan para ulama Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin organisasi Islam "modern" menjadi satu. Di dalam Shumubu upaya penyatuan itu dilakukan. Proses itu berlangsung cukup lama hingga terbentuknya Masyumi.

Penelitian Merle Ricklefs tentang  cara Jepang menangani Islam di Jawa tertulis dalam buku Mengislamkan Jawa (2013). Jepang ingin agar orang Islam modernis dan Islam tradisionalis berada dalam satu organisasi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang moderat. Pada 1943 Jepang mengeluarkan peraturan "prinsip-prinsip menyelenggarakan administrasi militer di Jawa" yang intinya menyatukan para pemimpin umat Islam ke dalam satu organisasi yang tidak membahayakan Jepang. Hingga terbentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia pada akhir 1943.

Jepang menempatkan Kiai Haji Hasyim Asy'ari dari Nahdlatul Ulama sebagai kiai paling senior di tampuk pimpinan bersama Kiai Haji Wahab Chasbullah. Berjalannya Masyumi, karena Kiai Hasyim memilih tetap berada di Jombang dijalankan oleh putranya Kiai Haji Wachid Hasyum.

Dari kepemimpinan di Masyumi itu kemudian Wachid Hasyim dijadikan pemimpin Shumubu mewakili posisi ayahnya. Di Kantor Urusan Agama bentukan Jepang inilah Kiai Wachid Haysim bertemu dengan Haji Abdul Kahar Muzakkir.

Pada masa awal Masyumi inilah NU dan Muhammadiyah bisa terlihat harmonis. Rupanya riwayat garis sejarah ke belakang antara Kiai Wachid Hasyim, Kiai Haji Wahab Chasbullah, dan Haji Abdul Kahar Muzakkir bertemu dengan garis Kiai Kasan Besari

Selanjutnya adalah sejarah. Menyerahnya Jepang kepada sekutu membuat keadaan semakin darurat. Keinginan memproklamasikan kemerdekaan sebelumnya telah difasilitasi Jepang dalam Badan Persiapan Urusan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Abdul Kahar Muzakkir adalah salah seorang anggotanya bersama sembilan orang lainnya. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Wahid Hasjim, Achmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, dan Agus Salim.

Salah satu yang dicatat sejarah adalah perdebatan ketika penentuan dasar negara versi Piagam Jakarta. Abdul Kahar dan Wahid Hasjim sempat bersikeras mempertahankan butir pertama dalam Piagam Jakarta, “Ketuhanan dengan mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi setelah melewati perdebatan sengit, Kahar dan Hasjim menerima perubahan dan penyederhanaan demi persatuan. Butir pertama itupun berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”,  yang menjadi sila pertama dalam Pancasila. (Y-1)

Berita Populer