Di Banyuwangi terdapat tujuh etnis besar yang hidup rukun saling berdampingan. Ketujuh suku tersebut yakni; suku Using (Osing), Jawa Mataraman, Madura, Bali , Mandar, Tionghoa, dan Arab, yang akhirnya melahirkan berbagai upacara adat serta aneka tradisi yang berbasis pada agama. Salah satu tradisi dan ritual yang terkenal adalah tradisi gredoan dari suku Osing.
Menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, tradisi gredoan merupakan tradisi masyarakat Osing untuk mencari jodoh. Tradisi ini utamanya sangat kental dilaksanakan masyarakat di Dusun Banyuputih, Desa Macanputih, Kabupaten Banyuwangi.
“Gredo artinya menggoda. Ini berlaku buat mereka yang gadis, perjaka, duda atau janda. Diadakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya diadakan pada malam hari,” terang Hasnan.
Dalam tradisi gredoan, orang-orang yang sudah cukup umur untuk menikah akan mencari calonnya sendiri. Para pria biasanya akan memasukkan lidi dari janur kelapa ke lubang anyaman bambu atau biasa dikenal dengan gedheg milik gadis yang menjadi pilihannya.
Nah, jika sang gadis setuju maka ia akan mematahkan lidi tersebut dan sang pria mulai berbicara dilengkapi dengan rayuan. Dari rayuan itulah tradisi mencari jodoh ini dinamakan gredoan karena berasal dari kata gridu yang berarti menggoda. Biasanya juga dengan berbalas pantun.
Dalam proses berkenalan dan merayu mereka belum bertemu dengan tatap muka langsung tapi dibatasi dengan dinding bambu. Sang gadis berada di dalam rumah dan sang pria di luar. Setelah berhasil menaklukkan hati sang gadis dengan rayuan mereka maka sang pria akan segera melamar.
Beda Gredoan Dulu dan Sekarang
Gredoan selalu dilaksanakan tepat saat Maulid Nabi. Warga akan menemui dan berkumpul dengan warga lainnya. Selain untuk mendapat jodoh dan menjadi puncak memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW.
“Terlepas dari itu, tradisi tersebut juga dapat mempererat tali persaudaraan dengan acara kumpul-kumpul. Selain itu acara ini juga dapat menjadi hiburan karena banyaknya pertunjukkan yang disajikan,” jelas Hasnan.
Setelah tradisi gredoan usai, acara dilanjutkan pada malam harinya dengan para pria mulai menyalakan obor dan pertunjukan akan segera dimulai. Pertunjukan yang disajikan adalah pertarungan para pria dengan obor mereka. Selain itu juga ada pertunjukan atraksi tarian tongkat api, musik daerah hingga karnaval boneka yang dibuat warga.
Kini perbedaan yang paling mencolok antara gredoan zaman dulu dan gredoan zaman sekarang, terletak pada alat dan tempat pelaksanaan nggridu (lelaki merayu si gadis). Dulu alat yang digunakan adalah sodho (lidi), sedangkan sekarang menggunakan ponsel. Dulu tempat yang digunakan adalah gedheg (rumah berdinding bambu), sekarang berganti menjadi bangunan batu.
“Penggunaan ponsel menjadi aspek yang tidak bisa dihindari. Namun mau modern atau klasik, gredoan telah banyak membantu masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya dalam menggapai pernikahan,” ujar Hasnan Singodimayan. (K-YN)