Indonesia.go.id - Dari Panitia Sembilan Hingga Panitia Lima

Dari Panitia Sembilan Hingga Panitia Lima

  • Administrator
  • Jumat, 22 November 2019 | 04:55 WIB
PAHLAWAN NASIONAL
  Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Maruf Amin melihat foto AA Maramis (tengah) usai penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Foto: Setpres/Biro Pers

Panitia Lima diketuai Mohammad Hatta, beranggotakan AA Maramis, Achmad Subardjo, Sunario, dan AG Pringgodigdo. Tiga di antara lima tokoh itu, yakni Hatta, Soebardjo, dan Alex, adalah mereka yang intens terlibat dalam sidang-sidang BPUPKI. Keterlibatan Maramis dalam tim kerja ini dilakukan secara korespondensi dari Swiss.

Satu lagi gelar Pahlawan Nasional disematkan kepada putra terbaik Sulawesi Utara. Penghargaan tertinggi itu diberikan kepada Alexander Andries (AA) Maramis, putra daerah asal Minahasa. Penganugerahan gelar pahlawan itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 120 TK Tahun 2019 tanggal 7 November 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Selain Alexander Andries (AA) Maramis, Keppres itu juga menganugerahkan gelar Pahlawanan Nasional kepada Abdoel Kahar Muzakkir, KH Masjkur, Prof Dr Sardjito, Roehana Koeddoes, dan Himayatuddin Muhammad Saidi.

Tiga orang di antara mereka yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional 2019 adalah anggota BPUPKI/PPKI. Selain Abdoel Kahar Muzakkir dan KH Masjkur, satu orang lainnya ialah AA Maramis. Ketiganya dinilai berjasa bagi kemerdekaan Indonesia.

"Tiga anggota BPUPKI/PPKI yang tersisa belum dapat anugerah selama ini," ujar Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Negara, Jimly Asshiddiqie, Jumat (8/11/2019).

Ya, bagaimanapun AA Maramis merupakan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Andi Maramis dan Cahrlotte Ticoalu ini juga merupakan keponakan Maria Walanda Maramis, sosok perempuan Pahlawan Nasional. Biasa dipanggil dengan nama Alex, ia lahir di Manado pada 20 Juni 1897 dan tutup usia di Jakarta pada 31 Juli 1977.

Bagaimana catatan tentang kiprah dan perjuangan Alex bagi republik, dan sejauh mana signifikansinya, marilah disimak bersama.

Merujuk Tokoh-tokoh Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia karya MPB Munus dkk, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan tidak banyak cerita tentang masa kecil Alex, selain dikisahkan ia menempuh sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado.

Setamat dari ELS, Alex meneruskan sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III di Batavia selama lima tahun. Di Batavia, Alex tinggal di rumah keluarga Belanda, karena itulah ia menjadi sangat fasih berbahasa Belanda. Lulus dari HBS, ia melanjutkan sekolah hukum di Universitas Leiden Belanda. Mengambil spesifik bidang hukum internasional, sepulang dari sana ia menyandang gelar Meester in Rechten.

Seorang Pejuang Demokrasi

Semasa di Belanda, mudah diterka Alex aktif dalam wadah mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Dari sinilah, patriotisme Alex Maramis mulai tumbuh berkembang membentuk jati dirinya. Salah satu tulisannya yang kritis sekaligus politis pernah dimuat dalam Gedenkboek 1908-1924 Indonesische Vereeniging pada akhir 1924, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia.

Dalam artikelnya Terugblik (Tinjauan ke Belakang), merujuk artikel Wildan Sena Utama (2018), Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris, dikatakan bahwa Maramis menulis panjang tentang evolusi Perhimpunan Indonesia, dari klub sosial menjadi gerakan nasionalis. Menurutnya, evolusi ini secara inheren berhubungan tidak hanya dengan kebangkitan nasional itu sendiri, tetapi juga “kebangkitan Timur”. Kebangkitan Timur, seturut Maramis ialah merujuk kepada kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, kebangkitan nasional Tiongkok dan India, serta berdirinya Boedi Oetomo dan Indische Vereeniging.

Selain itu, kembali merujuk pada MPB Munus dkk, juga disebutkan artikel itu berisi gugatan terhadap eksistensi Pemerintah Hindia Belanda ditilik periksa dari sudut pandang hukum internasional. Tulisan ini, masih seturut MBS Munus dkk, ternyata bergaung sangat keras di dunia internasional, di negeri Belanda sendiri, maupun juga di kalangan pergerakan di tanah Hindia.

Pulang ke tanah air, Alex semakin intens terlibat aktivitas politik antipkolonialisme. Selain tercatat aktif dalam organisasi pemuda dan komunitas perkauman Kawanua, pernah terlibat dalam wadah PNI (Partai Nasional Indonesia), ia juga tercatat aktif dalam organisasi keagamaan. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, sebuah gereja perjuangan di Manado didirikan olehnya bersama dengan Sam Ratoelangi dan Toembelaka pada 1933.

Menarik disimak, warna nonkooperatif hasil besutan PI masih terlihat kuat saat di tanah air. Sekalipun Alex lulusan Belanda, dia tidak pernah mau bekerja sebagai pegawai pemerintah. Alex justru memilih bekerja sebagai advokat. Mula-mula di Semarang, kemudian Palembang, dan selanjutnya di Jakarta.

Baginya, advokat merupakan suatu profesi yang memungkinkannya ia tetap independen, bebas bekerja, dan bertindak dibandingkan jika bekerja di pemerintah. Konsistensinya terhadap sikap nonkooperatif ini kembali teruji ketika Alex menolak keras tawaran jadi anggota Volksraad.

Semasa pendudukan Jepang, Alex Maramis tetap bekerja sebagai advokat. Dengan keahlian dan profesinya sebagai advokat, pada 1943 ia diajak ikut dalam keanggotaan Poetera (Poesat Tenaga Ra’yat) yang dibentuk pemerintah Jepang dan dipimpin oleh Empat Serangkai: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH Mas Mansyur. Masih di tahun yang sama, seturut catatan MPB Munus dkk, Alex kemudian juga diangkat sebagai salah satu anggota Chuo Sangi-in, yaitu sebuah Dewan Pertimbangan Pusat yang dibentuk oleh Jepang.

Seperti diketahui, pada 1942 posisi pasukan tentara Jepang dalam Perang Asia- Pasifik terlihat mulai terdesak. Untuk menarik dukungan dan mobilisasi penduduk di negeri jajahan, Jepang berjanji memberikan kemerdekaan kepada Birma dan Filipina. Sialnya, rencana ini sama sekali tidak menyebut nama Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta, pun protes keras!

Merespons protes kaum pergerakan ketika itu, pemerintah Jepang lantas mengeluarkan kebijakan partisipasi politik. Salah satunya ialah mendirikan Chuo Sangi-in di tingkat pusat, dan Shu Shangi-kai di tingkat karesidenan atau kotapraja. Lembaga ini didirikan atas anjuran perdana menteri Jepang, Jendral Tojo, pada 5 September 1943. Tugasnya yaitu mengajukan usul kepada pemerintah atau menjawab pertanyaan pemerintah tentang soal-soal politik dan memberikan saran-saran yang diperlukan.

Bermula dari Chuo Sangi-in inilah, mudah diduga, kemudian membawa Alex terlibat penuh dalam sidang-sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) jelang kemerdekaan. Badan ini dibentuk oleh Jepang pada 1 Maret 1945, setelah militer Jepang semakin terseok-seok kalah dalam Perang Asia – Pasifik di awal tahun 1945.

Menarik dicatat, Alex juga termasuk kelompok Panitia Sembilan. Panitia Sembilan adalah kelompok kerja yang dibentuk pada 1 Juni 1945, diambil dari suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Diketuai oleh Soekarno, adapun anggotanya adalah: Mohammad Hatta (wakil ketua), Alexander Andries Maramis (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), Abdoel Kahar Muzakkir (anggota), Agus Salim (anggota), Achmad Soebardjo (anggota), Wahid Hasjim (anggota), dan Mohammad Yamin (anggota).

Tentu saja juga menarik diingat sini. Sebagai jalan tengah antara kaum nasionalis-sekular dan kaum nasionalis-Islam, pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan, rumusan yang sohor disebut “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter”. Salah satu klausul rumusan ini menyebut “Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.”

Sementara, Alex sendiri ialah nonmuslim dan tercatat setuju dengan capaian kompromi sebagai hasil sidang-sidang Panitia Sembilan. Bisa dipastikan, Alex bukan hanya demokrat tulen, lebih dari itu ia juga seorang pluralis yang sangat tolerans terhadap warna-warni perbedaan keagamaan.

Masih sebagai seorang demokrat dan pluralis, penting juga dicatat sumbangsih ide dan sikap Alex terkait isu etnis atau ras. Ya, terlebih mengingat keanggotaan BPUPKI sendiri terdapat nama-nama seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, dan Tan Eng Hoa, misalnya, sebagai mewakili peranakan Tionghoa; atau sebutlah AR Baswedan sebagai mewakili peranakan Arab; atau juga terdapat nama Pieter Frederik Dahler sebagai mewakili peranakan Eropa.

Jelas, Alex bukanlah seorang rasialis. Bicara soal posisi kaum peranakan Arab, Tionghoa, dan Belanda, Alex tegas mengatakan supaya kaum peranakan baik Arab, Tionghoa, dan Belanda—yang sesuai ketentuan Nederlandsch Onderdaan masih memiliki status sebagai warga negara lain—juga bisa ditempatkan sebagai warga negara Indonesia.

Memasuki periode Indonesia merdeka, kiprah Alex masih terbilang menonjol. Merujuk sumber Kementerian Keuangan, pada 26 September 1945 ia diangkat menjadi Menteri Keuangan yang kedua, menggantikan menteri sebelumnya, Samsi Sastrawidagda. Alex menjadi Menteri Keuangan sebanyak dua periode pada kurun 26 September – 14 November 1945 dan periode 3 Juli 1947 – 4 Agustus 1949.

Ada hal menarik dicatat. Sebagai negara baru menerbitkan uang sendiri ialah tugas besar pemerintah. Alex menginisiasi percetakan uang sendiri. Sebagai menteri, Alex membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia. Dari sanalah sejarah awal lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) sendiri.

Selain itu, ia di masa Kabinet Mohammad Hatta I juga pernah melakukan tugas negara menjual (opium trade) dan emas ke luar negeri pada akhir Februari 1948. Tujuan perdagangan candu dan emas itu ialah membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai para diplomat Indonesia di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London, dan New York.

Kembali merujuk MBP Munus dkk, disebutkan ia bersama Mohammad Hatta merintis terbentuknya Palang Merah Indonesia (PMI). Selain itu, Alex juga sempat ditunjuk sebagai perdana menteri bagi Pemerintah dalam Pengasingan (Exile Government) di New Delhi. Ide ini dirancang oleh Soekarno-Hatta untuk mengantisipasi sekiranya Pemerintahan Darurat RI (PORI) di Bukittinggi gagal berfungsi.

Sudah tentu beberapa jabatan sebagai duta besar juga pernah diembannya, seperti antara lain sebagai duta besar untuk Filipina, Jerman Barat, dan Uni Soviet. Namun memasuki masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno, ia sering berselisih pendapat dengan Soekarno. Karena itulah, ia kemudian memutuskan diri mundur dari kiprahnya di panggung politik dan tinggal di Swiss. Sayangnya tidak terlalu jelas, mengapa setelah Presiden Soekarno lengser, Alex tidak langsung pulang ke tanah air.

Menarik digarisbawahi di sini, sekalipun saat itu ia tidak tinggal di Indonesia, Alex masih tercatat memiliki sumbangsih penting bagi tanah air. Ini terjadi di masa Presiden Soeharto. Pada 1975, demi menghasilkan tafsiran Pancasila yang paling definitif, Soeharto membentuk tim kerja yang dikenal dengan nama “Panitia Lima”.

Diketuai Mohammad Hatta, Panitia Lima beranggotakan AA Maramis, Achmad Subardjo, Sunario dan A.G. Pringgodigdo. Tiga dari lima tokoh itu, Hatta, Soebardjo, dan Alex, adalah mereka yang intens terlibat sidang-sidang BPUPKI/PPKI. Keterlibatan Maramis dalam tim kerja ini dilakukan secara korespondensi dari Swiss.

Panitia Lima tentu menghasilkan suatu rumusan tafsiran Pancasila. Namun isinya justru mengkritik kebijakan Presiden Soeharto. Walhasil, Naskah Uraian Pancasila hasil rumusan Panitia Lima ini tidaklah dijalankan oleh rezim ini.

Setelah puluhan tahun tinggal di negeri orang, ia diketahui kembali pulang ke tanah air pada 1976. Hanya berselang setahun sejak kepulangannya, Alex Maramis benar-benar berpulang pada 31 Juli 1977 di Jakarta. (W-1)

Berita Populer