Indonesia.go.id - Evakuasi Segera bila Sirita Meraung-Raung

Evakuasi Segera bila Sirita Meraung-Raung

  • Administrator
  • Rabu, 20 Oktober 2021 | 12:07 WIB
MITIGASI
  Petugas BMKG menunjukkan aplikasi Sirita di perangkat gawainya. BMKG
Bila terjadi gempa besar di Laut Selatan, tsunami di Cilacap bisa mencapai belasan meter tingginya. Waktu evaluasi 50 menit. EWS radio dan sirine Sirita mempercepat penyebaran perintah evakuasi.

Aktivitas kegempaan di Indonesia cenderung meningkat. Catatan di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, pada periode 2008--2016 rata-rata terjadi 5.000 hingga 6.000 kali gempa berkekuatan di atas 2 skala Richter per tahun. Angka itu melonjak  menjadi 7.169 kali pada 2017, dan melompat menjadi 11.500 kali per tahun pada 2018--2019. Namun, tren di 2020 agak menurun, meski masih cukup tinggi, yakni 8.258 kali gempa.

Kecenderungan kenaikan frekuensi gempa itu terjadi cukup merata di wilayah Indonesia, termasuk  di kawasan laut selatan Pulau Jawa. Dalam banyak kasus, gempa mengakibatkan tsunami. Situasi ini yang terus menjadi perhatian BMKG.

Merespons situasi ini, BMKG terus mengembangkan perkakas deteksi dini tsunami serta peringatan dini tsunami. Terkait dengan peringatan dini itulah Kepala BMKG Profesor Dwikorita Karnawati hadir di aula Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, guna meluncurkan dua produk inovasi terkait early warning system (EWS) tsunami, yang dianggap sesuai untuk wilayah pesisir selatan Jawa yang padat penduduk.

Kedua inovasi BMKG itu yang pertama adalah early warning system (EWS) Radio Broadcaster, dan yang kedua ialah aplikasi Sirens for Rapid Information on Tsunami Alert (Sirita). ‘’Kedua inovasi ini merupakan respons BMKG atas meningkatkan aktivitas kegempaan di Indonesia,” ujar Kepala BMKG Dwikorita dalam acara  yang dihadiri oleh beberapa pimpinan BPBD Jawa Tengah, pejabat Pemkab Cilacap, serta perwakilan industri besar di Cilacap seperti dari Pertamina, Holcim, dan PLTU Cilacap.

EWS Radio Broadcaster adalah peralatan lama yang merupakan moda diseminasi secara verbal dan berbasis pada gelombang radio biasa. Pegiat kebencanaan Radio Antar-Penduduk Indonesia (RAPI), dan Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) bergabung dalam jaringan EWS Radio Broadcaster tersebut. ‘’Ini untuk antisipasi adanya kerusakan komunikasi seluler pascagempa,” imbuh Dwikorita. Dengan demikian, diseminasi kebencanaan tetap bisa berjalan lewat jalur nondigital.

Ada pun Sirita adalah aplikasi sirine tsunami berbasis android yang dibuat untuk memudahkan dan mempercepat  pemerintah menyampaikan perintah evakuasi kepada masyarakat di daerah bencana. Dwikorita menyebut, perancang Sirita itu ialah Setyoajie Prayoedie, Kepala Stasiun Geofisika di Banjarnegara, Jawa Tengah.

’Handphone yang menginstal aplikasi Sirita itu akan berbunyi keras seperti bunyi sirine, jika BMKG mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami,’’ ujar Dwikorita. Jadi, kendala tak tersampaikannya peringatan dini pada masyarakat bisa diminimalisir. Peringatan dini dengan sirine HP pun dianggap lebih cepat menjangkau warga karena HP adalah barang pribadi yang selalu ada di dekat pemiliknya.

Sementara itu, Dwikorita juga mengakui, sirine peringatan tsunami yang kini terpasang di pantai-pantai, selain tak terlalu rapat, sebagian juga sering tak berfungsi karena dimakan umur. "Di era kini, saya yakin hampir semua orang telah memiliki ponsel pintar berbasis android. Paling tidak, dalam satu rumah tangga setidaknya ada satu yang memiliki ponsel pintar, bahkan lebih. Maka, aplikasi ini akan sangat bermanfaat sebagai bentuk peringatan dini evakuasi bagi masyarakat di pesisir pantai," ujar Dwikorita, seperti dikutip dalam pers rilis BMKG edisi 6 Oktober 2021.

Lebih Cepat dan Masif

BMKG sendiri telah mengoperasikan berbagai peralatan untuk  mendeteksi gejala tsunami secara cepat. Peralatan itu dipasang menyisir berbagai pesisir wilayah Indonesia rawan tsunami. Alat itu secara umum disebut Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTews). Bentuknya bisa berupa pelampung yang dapat mendeteksi perubahan muka air laut atau tomograf yang bisa menangkap getaran air laut, yang semuanya mengindikasikan adanya pola khas gerakan massa air yang bakal mendatangkan gelombang tsunami.

Melalui jalur gelombang satelit, peralatan pemantau itu dapat mengirim data lapangan ke BMKG, secara real time. Dengan demikian, BMKG dapat mengirim informasi segera ke pemerintah daerah jika ada potensi tsunami dan diperlukan tindakan evakuasi. Piranti seperti EWS Radio Broadcaster dan aplikasi bisa membantu diseminasi berjalan lebih cepat dan lebih masif.

Tsunami Belasan Meter

Profesor Dwikorita mengatakan, dipilihnya Cilacap sebagai  tempat peluncuran inovasi  BMKG, karena Cilacap ialah pusat industri, kota pemerintahan kabupaten yang berpenduduk padat dan berada di pesisir pantai Laut Selatan yang memiliki potensi gempa yang laten. Cilacap berpotensi terdampak oleh tsunami bila terjadi gempa di Laut Selatan, seperti halnya Kota Pangandaran, Pelabuhan Ratu, dan banyak tempat lain di pesisir selatan Jawa.

Di Cilacap jarak evakuasi menuju tempat yang aman cukup jauh, yakni 2–4 km, sehingga cukup memakan waktu. Padahal, di Cilacap juga, tambah Dwikorita, terdapat berbagai objek vital nasional dan strategis di antaranya kilang minyak Pertamina, pembangkit listrik tenaga uap, dan pabrik semen Dynamix (Holcim).

"Berdasarkan pemodelan, potensi ketinggian tsunami dapat mencapai belasan meter dan estimasi kedatangan tsunami sekitar 50 menit. Namun, karena pesisir Cilacap padat penduduk, maka butuh waktu lebih panjang untuk proses evakuasi. Terlebih, tempat evakuasi cukup jauh sekitar 2 hingga 4 kilometer," Dwikorita memaparkan. Tentu dengan catatan, gempanya cukup besar dan episentrum cukup dekat.

Harapannya, keberadaan EWS Broadcaster dan Sirita ini dapat meminimalisasi risiko jika sewaktu-waktu gempa bumi dan tsunami menerjang pesisir selatan Pulau Jawa. Dwikorita menyebut, penggunaan teknologi digital dan aplikasi yang saling terkoneksi akan bisa meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini, dan menghindarkan terputusnya rantai informasi peringatan dini dari BMKG kepada masyarakat.

Dwikorita mengungkapkan, penyebaran peringatan dini bisa terkendala ketika jaringan komunikasi seluler ambruk karena rusak dihantam gempa. Dalam situasi ini, BMKG mencoba menyiapkan jalur alternatif EWS Broadcaster dan Sirita.

‘’Bunyi sirine yang keluar dari handphone harus didefinisikan sebagai sebuah perintah untuk segera lakukan evakuasi, mencari dataran tinggi atau tempat-tempat yang lebih tinggi, untuk  menghindari terjangan tsunami," ujar Dwikorita menandaskan.

Literasi Bencana

Kepala BMKG itu menegaskan pula bahwa publikasi tentang  potensi gempa bumi dan tsunami itu bukan untuk menakut-nakuti masyarakat. Sebaliknya, dimaksudkan untuk mendorong pemangku kebijakan agar menyiapkan langkah mitigasi yang kuat hulu ke hilir. Lebih dari itu, katanya, BMKG bermaksud untuk meningkatkan literasi bencana dan membangun budaya selamat di masyarakat.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang hadir secara virtual menyambut gembira peluncuran EWS Broadcaster dan aplikasi Sirita. Inovasi BMKG itu, menurut Ganjar, akan berkontribusi positif pada upaya mitigasi pengurangan risiko tsunami di pesisir selatan Jawa. ‘’Apalagi, potensi bencana tsunami di selatan Pulau Jawa disebut-sebut maksimum dapat mencapai ketinggian lebih dari 20-an meter jika gempa bumi megathrust terjadi. Terima kasih teman-teman BMKG,’’ ujarnya.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari