Bentang alam kota Palu memang elok. Menghadap ke paras Teluk Palu yang tenang, kota ini memiliki unsur landscape yang lengkap, laut, hamparan dataran rendah, dan perbukitan. Bangunan kota mengelilingi teluk. Dari 378 km2 luas wilayah kota, hanya sekitar 20 km2 (5,3%) yang berada di lembah berlahan datar. Selebihnya, merambat ke kaki-kaki perbukitan hingga sampai ketinggian 500 meter dari muka laut. Bila malam tiba, lampu-lampu berpendar memancarkan pesona yang langka.
Dalam sejarahnya, Donggala tumbuh awal sebagai kota bandar. Pada awal abad 16, Kerajaan Benawa muncul di sana. Lokasinya yang di sebuah tanjung, dengan teluk yang menjorok hampir 50 km ke pedalaman, membuat kekuatan Kolonial Belanda tertarik. Melalui perjanjian damai, Belanda menjanjikan Donggala sebagai terminal dagang untuk kopra, damar, kemiri, juga sapi.
Belanda terus bercokol di Donggala dan menjadikannya wilayah kabupaten (afdeling) pada 1904. Waktu itu, Afdeling Donggala membawahi Palu yang berstatus sebagai onderafdeling, setingkat kota kawedanan. Pada masa Perang Dunia II, Kota Donggala hancur dan tak cepat pulih. Maka ketika Pemerintah RI membentuk Provinsi Sulawesi Tengah pada 1964, Palu dipilih menjadi ibu kotanya. Sejak itulah, Palu tumbuh sebagai kota modern yang menawan.
Namun, bandar cantik itu berdiri di atas pelataran bumi yang rawan. Tak jauh dari Kota Palu, di sebelah Barat, terbentang Sesar Palu-Koro yang cukup aktif. Sesar ini berupa patahan kerak bumi yang membujur ke Utara menyisir sisi Barat Kota Donggala, lalu masuk ke Selat Makassar, kemudian ke Utara, dan bertemu di kedalaman laut dengan Sesar Sulawesi Utara. Yang ke Selatan-Tenggara, Sesar Palu Koro itu menembus pegunungan dan bertemu Sesar Matano, tidak jauh dari Danau Poso, dekat perbatasan Sulsel-Sulteng. Patahan Matano itu mengarah ke Timur dan masuk ke Teluk Tolo, Sulawesi Tenggara.
Berada di sepanjang busur cincin api, Indonesia memiliki banyak sesar. Gempa besar yang menerjang Pulau Lombok akhir Agustus lalu, misalnya, lantaran ulah Sesar Flores yang memanjang dari Utara Lombok ke Timur hingga Flores. Bahkan, Pulau Jawa yang padat pun teriris oleh Patahan Cimandiri yang memanjang dari Kawasan Bogor hingga Pelabuhan Ratu. Ada pula Sesar Grindulu di Jawa Timur dan Sesar Opak yang mengguncang Yogyakarta, pada Mei 2006.
Sesar-sesar itu terus bergerak, seiring dengan adanya desakan yang tidak pernah berhenti, dalam skala besar, oleh lempeng-lempeng litosfir bumi yang tebalnya sekitar 100 km itu. Di Indonesia, tekanan tektonik itu setidaknya dilakukan oleh empat lempeng sekaligus, yaitu Lempeng Asia, Lempeng Pasifik, Lempeng Australia, dan Lempeng India. Alhasil, pada patahan-patahan seperti di Sesar Palu-Koro terjadi gesekan atau tumbukan di antara dua keping kerak bumi itu. Bila titik kritis terlampaui, terjadilah gempa bumi--bencana yang tak bisa diprediksi, apalagi dicegah.
Gempa di Sesar Palu-Koro itu mengakibatkan kota Palu, Donggala, Sigi Biromaru, dan daerah sekitarnya porak-peranda. Tsunami juga menerjang Palu dan Donggala. Namun, Palu terkena godam tsunami lebih parah karena lokasinya yang di ujung dalam teluk. Sejumlah ikon penting Palu ambruk seketika. Badan Jembatan Kuning Ponulele runtuh ke sungai, Mal Tatura rontok, Hotel Roa-Roa yang berlantai delapan ambruk, dan RS Anutapura (empat lantai) hancur. Sekitar 2.256 orang ditemukan tewas dan diduga masih ada ratusan lainnya hilang.
Tanah Jadi Bubur
Gempa Palu setidaknya menyingkapkan fakta-fakta yang berharga. Bahwa di balik paras elok Kota Palu, menurut para geolog, tersimpan potensi bencana besar saat guncangan gempa melanda. Pertama, lokasinya yang persis di ujung teluk membuat terjangan tsunami menjadi lebih bengis. Olakan air yang terkumpul di sepanjang lorong teluk menyatu dan menghantam Pantai Kota Palu dengan energi lebih besar. Hantaman tsunami ini mengakibatkan jatuhnya korban dalam jumlah besar.
Yang kedua, bertumpu di atas tanah alluvial (endapan), Kota Palu seperti berdiri di atas alas yang rapuh. Daya dukung tanah untuk segala struktur di atasnya relatif rendah. Maka ketika gempa terjadi, bangunan di atasnya menerima energi guncangan yang lebih besar. Tak pelak lagi, gempa bermagnitudo 7,4 SR itu menimbulkan kerusakan hebat di Palu, Donggala, dan Sigi Biromaru. Ribuan bangunan pun rata dengan tanah.
Yang lebih memilukan adalah ihwal ketiga, likuifaksi. Itu merupakan fenomena adanya perubahan tanah yang semula padat menjadi lembek dan encer seperti bubur. Ketika rangkaian guncangan gempa terjadi, lapisan-lapisan tanah di bagian bawah seperti diperas dengan energi raksasa. Kantung-kantung air dalam dan air yang terjebak di pori-pori lapisan tanah bagian bawah tergencet dan menyembur ke atas. Gerakan air ke bawah terhalang batuan kedap. Walhasil, tanah lapisan teratas menerima semburan air yang melampaui kapasitas jenuhnya.
Likuifaksi ini jamak terjadi di dataran rendah. Namun, yang muncul Palu jauh lebih ekstrem. Tanah alluvial yang terhampar di Kota Palu rupanya begitu mudah melumpur saat menerima aliran air tanah dari bawah. Dan, situasi itu diperburuk karena adanya lapisan pasir yang tebalnya 1-7 meter. Sementara itu, ketebalan lapisan alluvial tersebut sekitar 14 meter. Struktur pasir itu yang lebih mudah dan menimbulkan efek luncuran seperti tanah longsor (landslide).
Bencana likuifaksi itulah yang melanda Perumnas Balaroa Palu. Tanah yang tiba-tiba hanyut dan melumpur itu telah mengubur 900 rumah di atasnya. Belum diketahui jumlah korban jiwa yang diakibatkannya. Hal serupa terjadi di Kawasan Petobo, Palu Selatan. Sementara itu, di Kabupaten Sigi, likuifaksi menyergap Sidera dan Jono Oge. Di Bolaroa, tanah yang melumpur lantas tergelincir itu menyisakan cerukan sedalam 20 meter. Kesan yang muncul, tanah itu amblas ditelan bumi.
Gempa yang melanda Palu, Donggala, dan sekitarnya, telah kerap terjadi. Dalam catatan geologi, gempa dengan kekuatan besar pernah terjadi pada 1907, dan gempa dengan magnitudo lebih kecil tercatat pada 1927. Tercatat pula, riwayat gempa pada 1938, 1968, 1998, dan 2008. Gempa yang terjadi pada 28 Oktober 2018 kemudian mendatangkan bencana hebat.
Tata Ruang Disusun Ulang
Meski hantu gempa tak bisa dienyahkan, Palu, Donggala, Sigi Binomaru, dan wilayah sekitarnya harus bangkit lagi, melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi. Namun, para geolog mewanti-wanti agar proses rekon dan rehab memperhatikan betul aspek geologisnya. Mereka meminta agar peta geologis disusun lebih rinci dan tata ruang perlu menyesuaikan dengan peta baru itu. Hal tersebut tak hanya berlaku untuk Palu, tapijuga Donggala, Sigi Biromoru, dan daerah sekitarnya.
Memang, boleh jadi tak semuanya bisa mengikuti peta geologis yang ada. Tapi setidaknya, terbuka jalan untuk menyelaraskan antara peta tata ruang dan mitigasi bencana. Semua langkah itu akan segera diayunkan setelah masa tanggap darurat selesai di pertengahan Oktober 2018. (*)