Indonesia.go.id - Pahlawan yang Tak Terlupakan

Pahlawan yang Tak Terlupakan

  • Administrator
  • Sabtu, 10 November 2018 | 04:42 WIB
HARI PAHLAWAN
  Sumber foto: Antara Foto

Kini sedikitnya ada 180 nama penyandang Gelar Pahlawan Nasional yang sebagian besar pejuang kemerdekaan. Presiden RI berhak atas Bintang-Bintang Kehormatan Tertinggi.

Dengan senyum cerah, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan bergegas memapaki tangga Istana Negara Jakarta, Kamis (7/11/2018). Pagi itu Anies ke istana untuk urusan keluarga. Kakeknya, Abdurrahman Rasyid (AR) Baswedan, akan menerima Gelar Pahlawan Nasional. Bersama pamannya, Samhari  Baswedan, Anies pun mewakili keluarga menerima surat keputusan pemerintah itu dari tangan Presiden Joko Widodo.

Bersama AR Baswedan, ada lima tokoh lain yang menerima penghargaan tinggi yang secara regular diberikan menjelang Hari Pahlawan 10 November itu, yakni Ir H Pangeran Muhamad Noor, tokoh Kalimantan Selatan,  Hj Andi Depu (Sulawesi Barat), Depati Amir (Bangka Belitung), Kasman Singodimedjo (Jawa Tengah), dan Brigjen KH Syam'un (Banten).

Semasa hidupnya, mereka  semua pernah terjun dalam perjuangan kemerdekaan RI. Kasman Singodimejo, misalnya, adalah Komantan PETA Jakarta yang ikut mengawal upacara Proklamasi Kemerdekaan RI.  Pada saat yang sama, dia juga anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan dia berperan besar dalam penghilangan tujuh versi Piagam Jakarta dari naskah Pembukaan UUD 1945.

Di masa Revolusi Kemerdekaan, Kasman yang juga merupakan tokoh Muhammadiyah sempat pula menjadi Jaksa Agung, Menteri Muda Kehakiman, Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan aktif di Konstituante pada era 1955-1959.

Ada pun AR Baswedan tercatat pernah berkiprah di Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian di awal era kemerdekaan, dia menjabat Wakil Menteri Muda Penerangan, aktif  di Badan Pekerja KNIP, dan ikut mendampingi tokoh kharismatis Haji Agus Salim dalam misi ke Mesir yang berbuah pengakuan kemerdekaan Indonesia.

Lain halnya dengan KH Syam’un. Ulama itu mengangkat senjata pada perang kemerdekaan, ikut membidani Brigade Tirtayasa Di Banten, dan mengintegrasikannya ke dalam Divisi Siliwangi. KH Syam’un wafat 1949 dalam usia 55tahun, karena sakit, di medan gerilya. Pangeran Muhammad Noor, Depati Amir, dan Ibu Agung Hajah Andi Depu ,juga menerima penghargaan tertinggi ini karena ikut terjun dalam perjuangan kemerdekaan RI.

Meski tak disebut secara eksplisit, gelar Pahlawan Nasional menempati posisi paling utama dalam tatanan pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seperti termaktub dalam UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan.

Disebutkan di sana, salah kriteria penerima gelar ini adalah warga negara yang telah meninggal dunia, yang pada masa hidupnya tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya luar biasa bagi pembangunan, kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Dengan begitu, gelar Pahlawan Nasional tak terbatas pada perjuangan meraih kemerdekaan. Pasal 26 UU 20/2009 itu menyebutkan, penerima Gelar Pahlawan Nasional adalah mereka yang semasa hidupnya pernah memimpin atau melakukan perjuangan melawan penjajah melalui perjuangan bersenjata atau perjuangan politik untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujutkan persatuan dan kesatuan bangsa (butir a).

Butir yang lain menyebut adanya syarat melakukan pengabdian dan perjuangan hampir sepanjang hidupnya, dan bekerja melampaui tugas yang diembannya. Pada butir-butir selanjutnya, masih dalam Pasal 26, diprasyaratkan juga pernah menghasilkan gagasan atau pemikiran besar yang menunjang pembangungan bangsa, atau pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, meningkatkan harkat dan martawat bangsa.

Gelar Pahlawan Nasional itu sendiri diberikan melalui Keputusan Presiden. Lebih jauh, dalam penjelasan Pasal 4 UU Nomor 20/2009 disebutkan, gelar Pahlawan Nasional mencakup segala gelar yang pernah diberikan pada masa sebelumnya, yakni Pahlawan Perintis Kemerdekaan pun Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera.

Dengan demikian, kini sedikitnya ada 180 nama tercatat sebagai pemilik Gelar Pahlawan Nasional. Sedangkan tentang pemilihan penerima gelar, inisiatifnya tidak harus dari negara. Pasal 20 Ayat (2) menyebutkan, usul pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan dapat diajukan oleh lembaga negara, kementerian, lembaga nonpemerintah, pemerintah daerah, organisasi/kelompok masyarakat, bahkan perseorangan. Usul itu  ditujukan kepada presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang bertugas memberikan pertimbangan kepada presiden.

Tanda Jasa, Tanda Kehormatan

Gelar Pahlawan Nasional  hanya salah satu tanda penghargaan. Bentuk lainnya ialah Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Tanda Jasa itu lebih sederhana, berupa medali dengan tiga katagori, yakni Medali Kepeloporan, Kejayaan, dan Perdamaian.  Ketiganya memiliki derajat yang sama.

Sedangkan Tanda Kehormatan lebih rumit. Kategorinya lebih beragam dan berjenjang-jenjang. Di kelompok Tanda Kehormatan itu ada jenis Bintang dan Satyalancana untuk perseorangan, serta Samkaryanugraha untuk kesatuan militer, instansi pemerintah dan organisasi. Bintang itu sendiri ada yang untuk kelompok sipil, dan untuk militer.

Bintang Kehormatan untuk sipil itu adalah Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa,  Bintang Kemanusiaan, Bintang  Penegak Demokrasi,  Bintang Budaya Parama Dharma, dan Bintang Dhayangkara. Adapun untuk militer, Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, serta  Bintang Swa Bhuwana Paksa. Sebagian besar bintang jenis ini berkelas-kelas.

Untuk Bintang Republik Indonesia, misalnya, ada lima kelas. Urutannya dari yang tertinggi  adalah Adipurna, Adipradana, Utama, Pratama dan Nararya. Begitu halnya urutan di Bintang Mahaputera, yaitu Adipurna, Adipradana, Utama, Pratama dan Nararya. Adapun tiga kelas yakni Utama, Pratama dan Nayarya itu berlaku di Bintang Jasa, Bintang Penegak Demokrasi, Bintang Bhayangkara dan Bintang-Bintang untuk militer seperti Bintang Yudha Dharma.

Yang tidak memiliki  jejang adalah Bintang Kemanusiaan, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Sakti, dan Bintang Dharma. Lebih jauh lagi, dari semua bintang itu ada pula urutan peringkatnya, yang tertinggi Bintang Republik Indonesia (5 kelas), Bintang Mahaputera (lima kelas), lalu pada level yang setara ada Bintang Jasa Utama, Bintang Kemanusiaan, Bintang Penegak Demokrasi Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma. Sedangkan di bawahnya, ada Bintang Yudha Dharma dan seterusnya.

Hal yang menarik diketahui, UU 20/2009 menempatkan Presiden Repubik Indonesia secara istimewa. Di mana, Presiden RI berhak menerima segala jenis bintang tanda kehormatan itu.