Indonesia.go.id - Indonesia Sudah Produksi Green Diesel Berkualitas

Indonesia Sudah Produksi Green Diesel Berkualitas

  • Administrator
  • Minggu, 26 Mei 2019 | 17:00 WIB
SOLAR NABATI
  Menteri Riset dan Teknologi Mohamad Nasir mengunjungi pengolahan refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) di Kilang Pertamina RU II Dumai di Dumai, Riau, Kamis (16/5/2019). Sumber foto: Antara Foto

Indonesia telah mampu memproduksi green diesel. Walau baru mampu menghasilkan 12.000 barel per hari, kualitasnya tergolong lebih baik.

PT Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai telah berhasil memproduksi green diesel atau solar nabati D-10 dengan kandungan 87,5 persen solar minyak bumi dan 12,5 persen minyak sawit. Keberhasilan ini berkat Katalis Merah Putih yang dikembangkan Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis Institut Teknologi Bandung (TRKK ITB) dan diproduksi oleh PT Pupuk Kujang.

Dengan begitu, Indonesia dapat menghemat solar dari minyak bumi yang mayoritas diimpor. Minyak bumi tersebut digantikan dengan minyak sawit yang sudah diolah hingga mencapai RBDPO atau Minyak Sawit Tersuling, Cerah, dan Tak Berbau.

Jika dalam produksi biofuel ini kandungan sawitnya itu 10 persen, maka dalam satu tahun Indonesia bisa kurangi 10 persen dari total impor (minyak bumi) yang habiskan $17,6 miliar per tahun, bisa menghemat sepuluh persen atau $1,6 miliar per tahun atau Rp25 triliun.

Saat ini green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina sudah memiliki 12,5 persen kandungan minyak sawit, sehingga penghematan impor bahan bakar fosil dengan nilai triliunan yang digunakan untuk solar dapat dikurangi. Misalnya, menaikkan sawitnya menjadi 12,5 persen, bisa hemat di angka Rp31,25 triliun. Dengan nilai impor Indonesia mencapai 250 triliun per tahun.

Green diesel atau solar nabati yang diproduksi Pertamina dengan Katalis Merah Putih dari ITB ini tidak hanya menghemat anggaran impor bahan bakar dari fosil, tetapi juga memiliki cetane atau tingkat pembakaran diesel yang lebih bersih dengan emisi atau polusi udara yang lebih sedikit.

Dengan fosil murni, cetane 51 persen sementara dari hasil Katalis Merah Putih ini, cetane-nya 58 persen, jauh lebih baik dan lebih bersih pembakarannya. Dan konon ini yang belum pernah ada di Indonesia, bahkan di dunia.

Katalis Merah Putih yang berhasil dimanfaatkan di Pertamina Refinery Unit II Dumai ini adalah hasil kerja sama ITB dengan Research Technology Center (RTC) Pertamina. Pertamina mendukung Katalis Merah Putih melalui pengujian Katalis Merah Putih dengan reaktor yang dimiliki RTC Pertamina selama lebih dari 10 bulan.

Kemenristekdikti sendiri telah mendukung inovasi dari ITB ini sejak 2017 melalui program Inovasi Perguruan Tinggi di Industri (IPTI), salah satunya dengan diresmikannya Industri Katalis Pendidikan di Laboratorium TRKK ITB pada 11 Oktober 2018 lalu.

Dengan katalis merah putih, Indonesia kini mampu memproduksi zat kimia yang sangat menguntungkan bagi dunia industri minyak tersebut. Katalis merah putih mampu menghemat 12% kebutuhan bahan baku. Dan diharapkan pada 2020 produksi katalis merah putih sudah berjalan.  Persiapan selanjutnya adalah membangun penyimpanan RPDPO untuk konsumsi hidrogen.

Dari data yang diperoleh menyebutkan, sepanjang kuartal I 2019, ekspor minyak sawit, berupa minyak sawit mentah (CPO), biodiesel, oleochemical, dan produk turunannya, mencapai 9,1 juta ton pada kuartal I 2019, tumbuh 16% (year-on-year/yoy).  Jumlah tersebut akan lebih tinggi lagi bila  industri sawit tidak dihadang diskriminasi sawit Uni Eropa melalui rencana penerapan Renewable Energy Directive II (RED II). 

Pada Maret 2019, Gapki mencatat ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke India turun 62% menjadi 194,41 ribu ton, dibandingkan 516,53 ribu ton per Februari. Yang disebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di India. Penurunan permintaan juga diikuti negara Afrika 38%, Amerika Serikat 10%, Tiongkok 4% dan Uni Eropa 2%. Di tengah berbagai tantangan tersebut, di luar dugaan, ekspor minyak sawit ke negara lain naik 60% dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan permintaan CPO dan produk turunannya dari Indonesia yang cukup signifikan datang dari Asia khususnya Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.

Juga, penyerapan biodiesel di dalam negeri tercatat turun. Sepanjang Maret lalu penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai lebih dari 527 ribu ton atau turun 19% dibandingkan Februari lalu sebesar 648 ribu ton.

Oleh karena itu Pemerintah tengah menyiapkan formula harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel 100%, atau B100. Saat ini, upaya pemerintah mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dengan cara meningkatkan pemanfaatan BBN hingga 100% menghadapi kendala harga CPO yang cukup tinggi, sehingga harga jual produk B100 tinggi.

Menurut hitungan Kementerian ESDM, harga jual solar hijau (green diesel), yang 100% bahan bakunya dari CPO tanpa ada campuran minyak dari fosil, bisa mencapai Rp14.000 per liter. Artinya, bahan bakar ramah lingkungan ini hanya dapat dibeli oleh konsumen Pertamina Dex, yang tak lain masyarakat mampu.

Indonesia masih konsisten untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, dari posisi saat ini 13%. Di sektor transportasi,  pemerintah telah menjalankan pencampuran solar dengan biodiesel 20% (B20). Konsumsi solar tercatat 2/3 dari total konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Tanah Air.

Sesuai kebijakan, menerapkan penggunaan campuran BBM jenis solar dengan minyak nabati atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebesar 20%. Sedangkan konsumsi minyak diesel atau minyak solar kita 2/3 dari semua konsumsi BBM. Pemerintah, juga akan memperluas pemanfaatan CPO untuk BBM jenis bahan bakar avtur dan yang lainnya. Karena itu, pemerintah mendorong PT Pertamina (Persero) untuk mengubah Kilang Plaju dan Dumai dengan total kapasitas sekitar 300 ribu barel per hari (bph), agar bisa membuat green diesel.

Pemakaian biodiesel untuk campuran BBM akan terus ditingkatkan dari B20 ke B100. Ini dengan harapan 30% dari total produksi kelapa sawit sekitar 46 juta ton setahun akan terserap untuk program bauran BBN dalam BBM.

Pada tahun ini, uji coba pengolahan CPO dengan metode co-processing tersebut sudah dilakukan di Kilang Dumai di Riau dan Kilang Cilacap diJawa Tengah. Pada 2020, uji coba direncanakan dilakukan di Kilang Balongan. Jawa Barat. Jika pengolahan CPO tersebut bisa direalisasikan dengan baik, maka impor minyak mentah dapat dikurangi. Program ini diperkirakan akan mengurangi konsumsi minyak mentah sebesar 23.000 barel per hari (bph) atau setara USD 500 juta per tahun.

Terdapat tiga kilang yang nantinya menghasilkan green gasoline dan green LPG, yakni Kilang Plaju, Cilacap, dan Balongan. Pengolahan CPO di Kilang Dumai akan menghasilkan green diesel atau solar hijau. Khusus Kilang Cilacap perseroan memproyeksikan akan menghasilkan juga green avtur atau avtur hijau. Dari program co-processing, diproyeksikan produksi green gasoline bisa mencapai 487 ribu kl per bulan. Sedangkan proyeksi produksi green LPG 104 ribu ton per bulan.

Sementara itu, proyeksi produksi green diesel dan green avtur, sesuai data Pertamina, masing-masing 17.500 barrel steam per day (BSD) dan 11.700 BSD. Neraca perdagangan migas saat ini defisit karena sekitar 60% dari total produksi gas nasional yang mencapai 2.100 juta kaki kubik per hari (mmscfd) digunakan untuk domestik.

Sementara itu, Indonesia banyak mengimpor minyak untuk menutupi kekurangan kebutuhan konsumsi. Pasalnya, produksi minyak dalam negeri rata-rata hanya 770.000 barel/hari, sedangkan konsumsinya mencapai 1,2 juta barel.

Di sisi lain, pemerintah terus memastikan masyarakat dapat mengakses energi dengan harga terjangkau, salah satunya dengan Program BBM Satu Harga. Saat ini, program tersebut telah menjangkau 133 kecamatan di seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2019, BBM Satu Harga ditargetkan sudah menjangkau 170 lokasi. (E-2)