Indonesia.go.id - Takkan Terbuang Anak di Tanah Seberang

Takkan Terbuang Anak di Tanah Seberang

  • Administrator
  • Sabtu, 9 Mei 2020 | 05:56 WIB
PEKERJA MIGRAN
  Petugas kesehatan melambaikan tangan usai melaksanakan rapid test atau pemeriksaan cepat COVID-19 terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal Kapal Pesiar MV Dream Explorer setibanya di Pelabuhan JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (29/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Pemerintah akan membayar tagihan perawatan pekerja migran Indonesia (PMI) yang terserang Covid-19 di luar negeri. Pekerja migran yang pulang kampung tak sampai 5 persen.

Sebanyak 172 anak buah kapal (ABK) Indonesia dievakuasi dari kapal persiar MV Amsterdam, Rabu (6/5/2020). Mereka harus mengakhiri kontrak kerjanya dari kapal pesiar berbendera Belanda itu lebih cepat dari waktu semestinya. Diangkut dengan dua kapal sekoci dan dikawal satuan penjaga pantai dari TNI-Angkatan Laut, para ABK itu mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sesuai protokol kesehatan yang berlaku, para pekerja migran Indonesia (PMI) itu terlebih dulu menjalani pemeriksaan cepat (rapid test) Covid-19. Tak ditemukan indikasi ada yang terinfeksi. Namun, mereka harus menjalani isolasi pada sebuah hotel di Jakarta selama 14 hari, sebelum diizinkan pulang ke kampung halaman masing-masing.

Dalam minggu-minggu belakangan, banyak ABK kapal pesiar Indonesia yang harus pulang kampung akibat wabah virus corona. Pada 30 April lalu, rombongan 375 ABK dari MV Carnival Splendor dikembalikan ke Indonesia via Jakarta. Sehari sebelumnya, rombongan dari MV Explores Dream mendarat di Tanjung Priok, dan pada 24 April silam 51 ABK dari MV Arthania dievakuasi melalui Tanjung Priok pula. Mereka yang terindikasi terjangkit Covid-19 langsung dirawat di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran.

Gelombang kepulangan ABK kapal pesiar ini tak terhindarkan. Hampir 12 ribu ABK Indonesia telah dievakuasi, lantas 2.300 ABK lainnya akan menyusul pada Mei ini. Pandemi Covid-19 membuat kapal-kapal raksasa, yang panjangnya antara 200 sampai 300 meter, dengan bangunan hotel tujuh lantai di atasnya itu harus lego jangkar.

Kepulangan ABK kapal pesiar ini hanya sebagian kecil dari arus balik PMI. Pandemi Covid-19 membuat dunia bisnis di hampir semua negara oleng. Usaha besar, menengah, kecil maupun yang mikro semuanya terpapar. Banyak PMI yang harus kehilangan pekerjaan di tanah rantau, sebagian lain kontrak kerjanya tak diperpanjang, ada pula yang usahanya kandas.

Selama Februari hingga April 2020, sekitar 70 ribu PMI telah pulang kembali ke tanah air. Itu di luar yang jadi ABK kapal pesiar. Dari 70 ribu itu sebagian besar dari Malaysia dan kebanyakan mereka adalah pekerja di sektor informal. Dari 70 ribu itu pula, separuh di antaranya pulang pada Februari-Maret dari 85 negara. 

Di luar Malaysia, dalam Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), arus balik yang juga cukup deras berasal dari Hong Kong yang pada kurun Februari-Maret 2020 mencapai 9.075 orang, dari Taiwan 5.487 orang, Singapura 2.799 orang, Arab Saudi 888 orang, dan Korea Selatan 756 orang. Masih ada kemungkinan gelombang lanjutan pada Mei dan Juni 2020 dengan jumlah 50 ribuan.

Ditambah mereka yang pulang secara mandiri diperkirakan jumlahnya mencapai 150 ribu di awal Mei. Jumlah itu tak terlalu besar, kurang dari 5 persen dari populasi PMI yang ada. Setelah Juni arus pemulangan diperkirakan akan menyusut karena di negara-negara tujuan utama, seperti Arab Saudi, Malaysia, Hong Kong, dan Taiwan, wabah Covid-19 pun sudah mulai menyusut.

 

Penyumbang Devisa Nomor Lima

Bank Indonesia (BI) mencatat (2019) ada 3,75 juta PMI yang aktif mengirim uang hasil keringatnya ke keluarga secara rutin. Jumlah remitansi 2019 mencapai USD11,4 miliar (sekitar Rp171 triliun untuk nilai tukar Rp15.000 per USD). Dengan jumlah itu, para pekerja migran menjadi penyumbang devisa terbesar kelima setelah ekspor minyak dan gas (migas), minyak sawit (CPO) beserta turunannya, batubara, dan pariwisata.

Kontribusi pejuang devisa itu lebih besar ketimbang ekspor tekstil dan produk tekstil, produk otomotif, atau elektronik. Porsi besar itu sudah dikontribusikan PMI sejak bertahun-tahun lalu. Pada 2018, kontribusi PMI USD10,97 miliar dan berkisar USD8,7-USD9,5 miliar pada 2015-2017. Jumlah itu tak termasuk remitansi yang dibawa PMI secara cash atau emas ketika mereka pulang kampung.

Pandemi Covid-19, selain memaksa sebagian PMI pulang ke tanah air, juga menutup arus pengiriman tenaga kerja baru. Pada gilirannya, kontribusi devisa hasil remitansi akan anjlok. Seberapa besar penyusutannya? Diperkirakan akan cukup besar, karena remitansi itu akan dipengaruhi oleh kondisi perekomomian negara di tempat mereka bekerja, yang secara umum akan mengalami penurunan.

Kontribusi terbesar selama ini dihasilkan dari Timur Tengah, terutama dari Arab Saudi. Dari 1,1 juta PMI di sana, dan 960 ribu orang di antaranya di Saudi, terkirim remitansi sebesar USD4,3 miliar. Berikutnya ialah negara Asean yakni USD3,7 miliar, di mana 1,8 juta PMI di Malaysia menyumbang USD3,25 miliar dan 105 ribu di Singapura bisa menghasilkan USD360 juta pada 2019.

Berikutnya ada dari Asia Timur. Yang terbesar adalah 197 ribu PMI di Taiwan dengan USD1,6 miliar, Hong Kong USD1,23 miliar dengan 229 ribu PMI, Korea Selatan USD323 juta dari 25 ribu PMI, dan Jepang USD213 juta dari 23 ribu PMI. Dari Eropa USD32 juta dan Amerika Serikat USD20 juta.

Secara per kapita kontribusi paling besar dari Korea Selatan dan Jepang, di mana PMI terserap di sektor formal industri. Di Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong sebagian besar juga telah masuk ke sektor formal (industri), sebagian lainnya masih sektor domestik (rumah tangga). Di Timur Tengah dan Singapura PMI lebih banyak bekerja di sektor domestik. Ada sebagian kecil PMI di Malaysia dan Saudi bisa membuka usaha kecil.

 

Terserang Corona di Rantau

Di tengah wabah Covid-19 ini, Pemerintah Indonesia tidak lepas tangan atas nasib para PMI. Pertengahan Maret lalu, pemerintah mengirim pesawat Garuda untuk menjemput 68 orang ABK kapal pesiar Diamond Princess dari Tokyo. Pada saat yang sama, KRI Dokter Soeharso milik TNI menjemput ABK kapal Pesiar World Dream secara ship to ship di perairan Riau, dan membawa mereka ke Pulau Sebaru, Teluk Jakarta, untuk menjalani karantina kesehatan. Hal yang sama juga dijalani ABK World Dream,

Pemerintah juga telah memfasilitasi pemulangan PMI dari Arab Saudi, Taiwan, Hong Kong, dan utamanya Malaysia. Khusus untuk Malaysia, para PMI difasilitasi oleh negeri jiran itu sampai ke kota perbatasan seperti Dumai, Karimun, Batam, atau Nunukan, dan Pemerintah RI membantu transportasi ke kampung halaman masing-masing setelah mereka menjalani karantina kesehatan.

Banyak di antara PMI itu yang bisa melakukan perjalanan pulang secara mandiri. Tapi, ada pula di antara mereka yang terserang Covid-19 di negeri orang. Kementerian Luar Negeri mencatat, sampai akhir April lalu ada 650 PMI yang terjangkiti virus corona di 31 negara. Dari jumlah itu 218 sembuh, tapi ada 33 yang meninggal. Semuanya mendapatkan perawatan medis secara layak.

Siapa yang menanggung biaya? Dalam norma hubungan internasional, negara tempat pekerja migran berada diharapkan bertanggung jawab atas perawatan mereka yang sakit akibat wabah  penyakit. Mereka sepantasnya diperlakukan laiknya pekerja lokal, karena kontribusi mereka ke perekonomian negara itu juga sama banyaknya dengan pekerja domestik. Pelanggaran atas azas ini bisa dianggap diskriminasi.

Norma internasional itu bisa terganjal akibat ketiadaan perjanjian bilateral. Toh, pemerintah RI mengambil kebijakan sendiri. Semua warga negara asing yang terpapar Covid-19 di Indonesia akan dirawat atas biaya negara. Mereka diperlakukan layaknya warga negara Indonesia lainnya. Menurut Achmad Yurianto, juru bicara Gugus Tugas Covid-19, biayanya akan diambil dari pos Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sejauh ini, tak ada tagihan dari pihak luar negeri atas biaya perawatan PMI. Boleh jadi, mereka disokong jasa asuransi atau ditanggung perusahaan tempat mereka kerja. Namun, sekiranya ada tagihan untuk biaya rawat anak-anak negeri itu, Achmad Yurianto mengatakan, pihaknya siap menanggungnya dengan pos anggaran BNPB. Mereka tidak akan dibiarkan seperi anak yang terbuang.

Untuk para PMI resmi, semuanya telah mendapat perlindungan asuransi. Namun, PMI resmi itu jumlahnya tak sampai separuh dari tenaga migran yang bekerja jauh di negeri seberang.

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer