Ratusan orang dengan wajah kusut bersikukuh menyeberang dari Bali ke Jawa melalui pelabuhan penyeberangan Gilimanuk, kendati PT ASDP sudah tak menjual tiket untuk penumpang. Ratusan orang itu tetap memaksa ingin menyeberang. Akhirnya, ASDP pun tak mampu menolaknya. BUMN penyeberangan itu pun kembali melayani para penyeberang tersebut.
Siapakah ratusan penumpang itu? Mereka yang memaksa menyeberang itu merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di Bali. Penyebaran Covid-19 telah mengganggu perekonomian daerah itu. Dan, sejumlah perusahaan terutama yang bergerak di industri pariwisata melakukan PHK terhadap pekerjanya.
Sebenarnya, otoritas pelabuhan dan Pemkab Banyuwangi serta Pemprov Bali sudah mengantisipasi persoalan pemudik asal Bali, korban PHK itu. Mereka sepakat menutup sementara penyeberangan di Selat Bali. Namun, apa lacur, desakan warga yang ingin menyeberang sangat besar, Tim Gugus Tugas Covid-19 tak mampu menahan desakan warga. Akhirnya mereka terpaksa diseberangkan pada Minggu (3/5/2020).
Fenomena seperti itu bukan hanya terjadi di penyeberangan Gilimanuk-Ketapang. Hal itu juga terjadi di beberapa pos penyeberangan lainnya. Di Batam atau Tanjung Pinang juga terjadi ledakan TKI yang mudik setelah Malaysia menerapkan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP). KBRI di Malaysia pun tak bisa mencegah para WNI yang mau mudik tersebut. Bila tetap memaksa, mereka pun menfasilitasinya dengan pemberian surat jalan.
Jika pekerja migran di Bali tergantung dari geliat industri pariwisata di Pulau Dewata, TKI di Malaysia kebanyakan merupakan pekerja harian lepas. Merebaknya Covid-19 dan adanya kebijakan PKP di Malaysia harus diterima pekerja asal Indonesia sebagai pil pahit. Bila mereka tetap bertahan di negeri jiran, tak ada yang menggaji. Oleh karenanya mereka pun memilih pulang kampung. Di kampung, pameo mangan ora mangan asal ngumpul sangat kental menjadi tradisi masyarakat Jawa.
Fenomena ini sangat disadari pemerintah. Pemerintah telah melarang masyarakat untuk tidak mudik demi mencegah penyebaran Covid-19. Arahan itu disampaikan Presiden Joko Widodo pada 21 April 2020, dan ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan No. 25/2020.
Larangan mudik dan keluarnya Permen itu adalah wajar. Pasalnya, tidak terlalu lama lagi, atau sekitar 14 hari lagi, umat Islam akan menyelenggarakan hari kemenangan setelah ibadah puasa sebulan penuh, Idul Fitri 1441 Hijriah. Dan tradisi mudik adalah bagian perayaan Idul Fitri tersebut.
Sejumlah Jurus
Mengantisipasi adanya aktivitas mudik itu, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah jurus untuk membatasi pergerakan manusia. Tujuannya pandemi Covid-19 bisa diperlambat atau dihentikan. Keluarnya Permen Perhubungan No. 25/2020, yang berisikan peraturan tentang pengendalian transportasi dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 itu berisi larangan penggunaan sarana transportasi darat, perkeretaapian, laut, dan udara mulai 24 April hingga 31 Mei 2020.
Tidak boleh lagi ada sarana transportasi masyarakat keluar dan masuk wilayah yang telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun aglomerasinya. Hal yang sama juga berlaku bagi wilayah yang telah ditetapkan sebagai zona merah penyebaran Covid-19.
Tentu bukan berarti semua dilarang. Ada pengecualian diberikan kepada sejumlah kategori kendaraan, antara lain, ambulans, angkutan logistik, pemadam kebakaran, mobil dinas pimpinan lembaga tinggi negara, serta aparat keamanan. Pemerintah telah menyiapkan sanksi bagi pelanggar aturan tersebut. Namun, hal itu rupanya tak menyurutkan niat sebagian masyarakat untuk pulang ke kampung halaman.
Banyak kiat yang muncul di tengah masyarakat untuk mengelabui pengawasan petugas asalkan bisa sampai ke tujuan. Mulai dari menyusur jalan tikus, naik mobil niaga tertutup hingga bersembunyi di balik bak truk yang penuh dengan barang. Sepanjang 24-30 April 2020, Polda Metro Jaya mencatat telah mencegat sebanyak 7.748 kendaraan baik bagi kendaraan roda dua maupun empat dan memerintahkan putar balik bagi kendaraan yang berencana mudik tersebut.
Di tengah masih hangatnya masalah mudik termasuk sejumlah rambu-rambu yang mengaturnya, Rabu (6/5/2020) Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membuat pernyataan yang ditengarai sejumlah pihak sebagai bentuk relaksasi atau pelonggaran dari Permen No. 25 Tahun 2020 soal Pengaturan Transportasi saat Mudik Lebaran. Budi dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR itu menegaskan kebijakan yang dirinya buat bukan relaksasi atau pelonggaran. Itu lebih pada penjabaran dari Permenhub tersebut. “Intinya penjabaran bukan relaksasi,” ujarnya.
Penjabaran itu dimungkinkan semua moda angkutan baik udara, laut, kereta api, dan angkutan darat sudah dapat kembali beroperasi. Namun, semua itu dengan catatan: Protokol Kesehatan harus tetap ditaati.
Tak berselang lama, Istana Kepresidenan melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donni Gahral Adian meluruskan pernyataan Menhub tersebut. Intinya tetap tak ada perubahan. Semua aktivitas mudik dilarang. Apalagi, tambah Donni, ada Surat Edaran (SE) Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang dirilis Selasa (6/5/2020). “Jadi Permenhub itu harus dibaca berbarengan dengan SE Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penangangan Covid-19 No. 4 Tahun 2020 tersebut.”
Bunyi SE tersebut cukup jelas menyebutkan kriteria pengecualian bepergian dengan transportasi bagi orang-orang yang memiliki kegiatan yang berhubungan dengan penanganan Covid-19, seperti : 1) orang-orang yang bekerja pada lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan kegiatan, seperti pelayanan percepatan penanganan Covid-19, pelayanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban umum, pelayanan kesehatan, pelayanan kebutuhan dasar, pelayanan pendukung layanan dasar, dan pelayanan fungsi ekonomi penting;
2) Perjalanan pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang anggota keluarga intinya sakit keras atau meninggal dunia; dan 3) Repatriasi Pekerja Migran Indonesia (PMI), WNI, dan pelajar/mahasiswa yang berada di luar negeri, serta pemulangan orang dengan alasan khusus oleh pemerintah sampai ke daerah asal, sesuai ketentuan yang berlaku.
Di dalam SE tersebut juga mengatur dengan ketat persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang memenuhi kriteria pengecualian untuk bepergian tersebut, seperti menunjukkan KTP, menunjukkan surat tugas, menunjukan hasil tes negatif Covid-19, dan lain sebagainya.
Meskipun sejumlah rambu-rambu sudah sangat mengatur soal larangan mudik itu, persoalannya masih ada saja tetap nekat untuk pulang kampung. Penyebabnya, mungkin saja karena kesadaran yang kurang tentang risiko kesehatan akibat Covid-19, atau bisa juga karena didorong kekhawatiran masa depan suram hidup di perantauan selama pandemi.
Pemerintah sejatinya telah menjamin adanya jaring pengaman sosial melalui berbagai skema, antara lain pembagian sembako di Jabodetabek, serta bantuan tunai. Ada pula program Kartu Prakerja yang diharapkan dapat membantu pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK lantaran perusahaannya terdampak pandemi.
Terlepas dari semua itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah patut mewaspadai fenomena pemudik tersebut. Pengawasan larangan mudik juga perlu diperkuat agar tak ada lagi daerah yang kecolongan. Sejumlah daerah yang selama ini menjadi tujuan pemudik pun perlu menyiapkan antisipasinya. Misalnya, dengan pendataan pendatang serta menyediakan fasilitas karantina. Menjadikan hotel-hotel yang kosong sebagai fasilitas karantina bisa menjadi solusi yang win-win bagi pelaku usaha dan pemerintah untuk bersama sharing the pain mengatasi pandemi Covid -19 tersebut. Dengan demikian, pelaku usaha perhotelan tetap hidup usahanya. Model ini yang dilakukan Pemerintah Australia menghadapi pandemi tersebut.
Solidaritas yang kuat antarmasyarakat dan kebijakan pemerintah yang tegas tentu menjadi harapan bersama sehingga wabah pandemi ini bisa segera berakhir, salah satunya adalah kebijakan larangan mudik tersebut. Tujuan larangan mudik itu tentu baik, yakni mencegah wabah Covid-19 meluas. Melanggar ketentuan tersebut merupakan keteledoran yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Marilah untuk sementara menahan diri dulu untuk tidak mudik hingga wabah pandemi ini berakhir.
Penulis: Firman Hidranto
Editor : Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini