Warga Dusun Tebango punya motto ‘satu bumi, satu langit, satu umat kemanusiaan’. Landasan toleransi dan suasana itu bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sering dijuluki provinsi seribu masjid. Tapi ada yang berbeda di Dusun Tebango, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, dimana penduduk minoritas dan mayoritas hidup berdampingan tak pernah terjadi konflik.
Dusun ini adalah tempat yang tenang dan bersahaja. Bisa kita temukan dengan mudah jika berkendara ke Senggigi menuju tiga Gili (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan). Letaknya di sisi timur jalan Raya Senggigi dan jl Raya Pemenang. Sebagian besar penduduknya semula berprofesi sebagai buruh tani namun kemudian beralih ke sektor pariwisata seiring kemajuan pariwisata di daerah itu.
Di dusun ini bermukim sekitar 352 kepala keluarga dengan tiga keyakinan berbeda yaitu Islam, Hindu dan Budha. Jika kita pernah ke sana, kita akan mendapati berugaq (saung) yang terletak di depan setiap rumah warga desa. Beruraq mirip pendopo namun berukuran lebih kecil.
Dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas penduduk Tebango memakai pakaian khas Lombok yaitu baju pegon, ikat pinggang, kain tenun yang dililit di pinggang (leang), kain dalam dengan wiron yang dipakai dari pinggang hingga sebatas mata kaki. Tampak tak ada beda busana yang dikenakan mereka yang muslim dan non muslim.
Meski begitu memang ada penanda dan beberapa simbol agama yang terlihat. Semisal panggilan untuk shalat (adzan) yang disuarakan melalui speaker masjid dan mushala. Ada pura dan banjar Hindu dimana umat memakai kul-kul (semacam kentongan) untuk panggilan ngayah (gotong royong untuk upacara adat). Semuanya berlangsung dengan damai, tanpa pernah ada kejadian pertikaian antarumat beragama di dusun ini.
Vihara Jaya Wijaya dan Vihara Satta Bojonga berlokasi tak jauh dari Madrasah Aliyah Al-Ittihad Al-Islamiyah NW Nipah Tebango. Mereka hidup harmoni berlandaskan saling empati satu pihak dengan pihak lain. Semua persoalan diselesaikan dengan dialog dan kepala dingin serta menjaga nilai-nilai adat, toleransi dan nilai leluhur. Mereka punya motto yang terkenal yaitu ‘satu bumi, satu langit, satu umat kemanusiaan’.
Saat masyarakat Budha membangun vihara, warga Muslim dan Hindu membantunya tanpa pamrih. Hal sebaliknya juga dilakukan oleh umat Budha dan Hindu jika umat Muslim membangun masjid. Hal ini sangat jelas terlihat saat terjadi gempa yang cukup besar di Lombok pada Juli 2018, dimana banyak sekali rumah ibadah rusak, baik masjid, pura maupun wihara. Banyak batu bata yang lepas dari dinding, pondasi bangunan rusak parah, dan mereka saling bahu membahu merenovasi sarana peribadatan yang rusak.
Kepedulian dan toleransi masyakarat di dusun itu tidak sampai di situ saja. Mereka juga menghentikan kegiatan keagamaan jika kegiatan keagamaan lain berlangsung. Ini terlihat ketika masyarakat Muslim mengadakan pengajian maka kegiatan berlatih gamelan di pura akan dihentikan sementara.
Pluralisme dan toleransi yang terlihat sangat indah di dusun ini adalah belajar bersama dalam hal kesenian. Jika ingin berlajar tari-tarian pasti akan diajar oleh guru beragama Budha. Banyak kegiaatan desa yang dilakukan masyarakat di Vihara Jaya Wijaya karena berhalaman luas.
Sejarah Masuknya Agama Budha di Desa Pemenang
Sekitar abad 12 ada seorang tokoh Majapahit yang bernama Dhang Hyang Dwijendra atau lebih dikenal sebagai Dhang Hyang Semeru datang ke Lombok usai musibah besar. Warga memintanya untuk memberi semacam pencerahan sehingga mereka dikumpulkan di suatu tempat untuk mendengarnya. Tempat itu kemudian disebut Tebango yang berasal dari kata tebeng (yang artinya kumpul dalam bahasa Sasak). Sehingga Tebango berarti berkumpul untuk mendapat pencerahan.
Lalu Dhang Hyang Semeru mengajarkan agar masyarakat di sana bersinergi dengan alam niskala (tidak nyata) dan alam manusia. Sesaji ditaruh di tiap sudut kampung yang bernama sanggah. Inti ajaran Dhang Hyang Semeru adalah menanamkan kepercayaan kepada Shiwa Guru sebagai manifestasi Tuhan. Dhang Hyang Semeru beraliran Shiwa Budha yang akhirnya oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan Budhapaksa yang berakulturasi dengan Hindu.
Menurut Babad Lombok yang berpengantar bahasa Jawa Kuno (Kawi), agama pertama orang Lombok adalah Wratsari. Sedangkan menurut Babad Lombok yang ditulis ulang tahun 1972 dan dikutip Radjimo Sastro Wijono dalam tulisannya ‘Rumah Adat dan Minoritasisasi’ dikatakan bahwa agama Wratsari dibawa oleh pendeta Gurundeh dari Budha Klin.
Pada tahun 1970-an masuklah seorang tokoh agama Budha yang berasal dari Cakra Negara, Mataram, bernama Komang Gede Dharma Susela yang mengajarkan inti ajaran Budha yang sebenarnya. Dalam agama Budha ada beberapa hari penting yang diperingati di antaranya: Hari Magha Puja, Hari Waisak, Hari Asadha, dan Hari Kathina. Dalam memperingati hari-hari tersebut, mereka melaksanakan puja bakti.
Mereka menularkan kebaikan dengan cara mereka sendiri. Salah satu yang unik adalah tradisi mencuci dan mencium kaki orangtua pada peringatan hari ibu dan beberapa hari menjelang peringatan Waisak. Kegiatan ini berlangsung di halaman wihara yang ditututp dengan kegiatan makan bersama. Kegiatan ini bertujuan mengajarkan anak muda tentang arti cinta dan bakti kepada orangtua.
Begitulah kehidupan di Lombok Utara. Umat Budha di dusun Tebango hidup nyaman ditengah-tengah mayoritas Muslim di kabupaten Lombok Utara. Umat Muslim di Dusun Tebango juga tidak pernah bergesekan dengan mayoritas umat Budha di wilayah itu. Mereka saling menjaga karena merasa ‘satu umat kemanusian’. (K-CD)