Yogyakarta bukan hanya dikenal sebagai Kota Pelajar. Kota ini juga populer dikenal sebagai Kota Gudeg. Sebenarnya gudeg bukanlah makanan khas kota ini saja. Gudeg juga dikenal di daerah lain.
Sebutlah Jawa Tengah, misalnya, khususnya warga Solo tentu juga sangat mengenal menu tradisional ini. Meski demikian, gudeg sebagai ikon Yogyakarta tampaknya lebih lekat.
Barangkali saja, jika bicara aspek kuantitas, pelaku usaha kuliner gudeg di Yogya—demikian nama kota itu sering disingkat—jumlahnya nisbi lebih banyak. Sejauh ini belum ada pendataan perihal jumlah pelaku usaha di sektor kuliner ini secara spesifik. Jadi, klaim kuantitas ini hanya didasarkan sebatas pengamatan fenomenologis.
Posisi gudeg sebagai menu makanan warga Yogya, mirip halnya nasi pecel di Madiun. Gudeg bisa dan biasa dimakan warga Yogya. Baik itu pada pagi, sore, maupun malam hari. Tidak ada hal spesifik yang membedakan, selain jika di pagi hari kadang gudeg disajikan dengan bubur dan bukan nasi.
Bicara sejarah mula jadinya kuliner gudeg ini tentu bukan hal mudah. Penulisan sejarah masyarakat dengan berangkat dari mendedah sejarah perkembangan kulinernya di sini tampaknya belum menjadi obyek penelitian yang serius.
Sebuah upaya rintisan kecil yang dilakukan Murdijati Gardjito dan Eva Lindha Dewi Permatasari tentu patut dihargai, sekalipun ekplorasinya ternyata lebih pada penulisan soal gizi dan aspek kesehatan. Berjudul Gudeg Yogyakarta: Riwayat, Kajian Manfaat dan Perkembangan untuk Pariwisata, buku ini sedikit mengeksplorasi perihal sejarah kuliner gudeg itu sendiri.
Menurut sumber itu, menu ini tercipta bersamaan dengan momen babad alas Mentaok (pembukaan hutan). Diprakarsai Panembahan Senapati, pembukaan hutan ini dimaksudkan sebagai tempat pendirian Kerajaan Mataram-Islam. Dikisahkan, saat pembukaan hutan, yang kini lokasinya merupakan salah satu kota tertua di Yogya, Kotagede, ditemui banyak pohon nangka dan kelapa. Jumlahnya demikian melimpah.
Bermaksud memanfaatkan stok buah nangka muda dan buah kelapa nan melimpah untuk memenuhi kebutuhan makan para tenaga kerja yang membuka lahan, maka dimasaklah bahan-bahan itu dalam porsi sangat besar. Saking besarnya porsi masakan itu maka sendok yang digunakan pun sebesar dayung perahu. Supaya adukan itu rata, sendok besar itu diputar berulang-ulang.
Peristiwa mengaduk berulang-ulang itulah kemudian dikenang oleh masyarakat sebagai, momen hangudeg. Dan dari momen itulah nama gudeg kemudian muncul mengemuka. ‘Hangudeg’, ‘udeg’, yang berarti mengaduk, dan akhirnya lambat laun menjadi atribut menu tradisional yang kini populer menyandang nama gudeg.
Dari sumber yang sama juga disebutkan, bahwa gudeg sudah masuk dalam Serat Centhini. Ensiklopedi Jawa itu ditulis pada 1742 Tahun Jawa atau 1814 Masehi. Diceritakan, saat Raden Mas Cebolang bertandang ke padepokan Pangeran Tembayat, pada siang harinya disuguhi oleh tuan rumah menu gudeg. Dari catatan Serat Centhini pun dapat diketahui, gudeg saat itu bukan hanya dibuat dari bahan nangka muda, namun juga manggar.
Jika Anda mengamati sejarah tumbuh kembangnya kota bekas daerah Vorstenlanden itu, akan tampak juga sejarah tumbuh kembangnya industri gudeg di sana. Membesarnya industri gudeg pasti tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kota ini.
Perluasan dari sekadar Kota Pelajar menjadi kota tujuan destinasi pariwisata yang melekatkan karakteristik kebudayaan tentu menguntungkan bagi pembentukan pasar sekaligus branding image atas eksistensi gudeg sebagai makanan tradisional. Merujuk sumber BPS, tiga kota yang selama ini menjadi barometer kegiatan pariwisata nasional ialah Jakarta, Bali, dan Yogyakarta.
Selain itu, tentu saja pertumbuhan kelas menengah di kota Yogyakarta penting disebutkan sebagai faktor pendorong tumbuhnya industri gudeg. Sektor pariwisata yang berkembang pasti mendorong munculnya kelas menengah konsumsi yang segera saja memberi dampak besar bagi perkembangan kuliner gudeg.
Sentra Penjualan
Setidaknya ada dua sentra penjualan gudeg. Pertama, di derah Wijilan. Ini sebenarnya adalah nama sebuah kampung sekaligus nama jalan. Terletak di sebelah selatan Plengkung Tarunasura atau lebih populer disebut orang dengan nama Plengkung Wijilan. Ada beberapa nama besar dan melegenda dalam dunia gudeg di sana.
Antara lokasi sentra industri gudeg itu ke keraton jaraknya terpaut tak sampai satu kilometer. Berada di sebelah sisi timur keraton. Sebenarnya menjadi mudah diduga, tumbuh kembangnya industri gudeg di Kampung Wijilan sangat berkorelasi dengan posisi keraton sebagai salah satu lokasi tujuan pariwisata di Yogyakarta.
Sekadar menambah informasi. Keraton Mataram-Islam pertamakali berdiri di Kotagede. Alas Mentaok, tempat mula jadinya menu gudeg seperti sudah diulas di awal. Kemudian keraton pernah bergeser ke Plered di Bantul, posisi sebelah selatan Kotagede. Kedua lokasi ini masih berada di kawasan Yogyakarta.
Sedangkan Kasultanan Yogyakarta sendiri lahir pasca-Perjanjian Giyanti 1755 atau lebih populer diingat sebagai “Palihan Nagari”. Artinya, keraton yang berlokasi di pusat kota di Yogyakarta itu didirikan pascaperistiwa tersebut. Terkait gudeg, tak aneh di Solo sebagai lokasi Keraton Kasunanan Surakarta, saudara tua dari Keraton Kasultanan Yogyakarta, juga mengenal menu tradisional ini.
Kembali ke sentra industri gudeg, yang kedua adalah di Barek. Berada di kawasan sekitar lokasi kampus Universitas Gajah Mada, tepatnya berada di sebelah utara dari Gedung Pusat atau Balairung. Konon, sejak dibukanya UGM sebagai salah satu universitas tertua di awal 1950-an inilah mulailah muncul pedagang gudeg di sekitar kawasan ini.
Awalnya hanya ada satu atau dua pelaku usaha gudeg. Kesuksesannya mengundang pelaku usaha lainnya bermunculan. Dari kawasan sentra ini juga muncul istilah penyebutan umum, Gudeg Barek. Di sini tentu juga muncul beberapa nama besar.
Ketiga, yaitu di kawasan Kranggan. Sebenarnya tidak terlalu tepat, memasukkan kawasan ini pada kategori sentra gudeg. Pasalnya secara kuantitas jumlah pedagangnya tak sebanyak di dua sentra sebelumnya. Namun demikian di daerah Kranggan juga ada nama besar yang nisbi telah menjadi klasik dalam dunia gudeg. Selain itu, ada pendatang baru yang memperkenalkan varian gudeg lain, yaitu dibuat super pedas dan cukup mendapat apresiasi banyak orang.
Berdasarkan karakteristik cara memasaknya, gudeg sendiri terdiri dari dua jenis: gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental. Jauh melebihi kekentalan santan pada masakan padang. Sedangkan gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer.
Sementara, jika berdasarkan bahan pembuatnya maka secara umum gudeg dibuat dari buah nangka muda atau disebut gori dalam bahasa Jawa. Meski demikian ada beberapa lokasi seperti di daerah Bantul yang menyajikan gudeg yang dibuat dari bahan bunga kelapa yang masih muda. Orang Jawa lazim menyebutnya manggar. Juga masih ada sebagian kecil dari mereka yang membuat gudeg dari bahan rebung, yaitu bambu muda.
Posisi sebagai kota pelajar dan kota wisata budaya menjadi berkah tersendiri bagi industri gudeg. Sejarah panjang sebagai kota rantau bagi ribuan pelajar dan mahasiswa di setiap tahunnya, juga sejarah panjang sebagai kota wisata budaya, plus sejarah panjang gudeg sebagai kuliner itu sendiri, tentu berperan besar bagi terciptanya ikon gudeg bagi kota Yogyakarta.
“Gustatory nostalgia” demikianlah Jon D Holtzman menamai fenomena yang merangkum hubungan antara makanan, ingatan, nostalgia, dan eskpetasi. Gustatory nostalgia inilah yang mempengaruhi narasi-narasi yang berkembang dan membentuk sebuah branding image gudeg sebagai menu khas dan sekaligus ikon kota Yogyakarta.
Sayup-sayup di kejauhan larut malam nan sunyi terdengar alunan musik pengamen jalanan tengah merintih menyanyikan lagu KLA Project:
“Pulang ke kotamu//Ada setangkup haru dalam rindu//Masih seperti dulu//Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna//Terhanyut aku akan nostalgi//Saat kita sering luangkan waktu//Nikmati bersama//Suasana Jogja….”