Kata 'warteg' dalam benak orang Indonesia pada saat ini mungkin sudah sangat lazim. 'Warteg' adalah singkatan dari dua kata yang digabung yakni 'warung' dan 'Tegal'.
Menurut KBBI, 'warung' biasanya merujuk pada suatu tempat yang tidak terlalu besar, tempat orang menjajakan sesuatu, bisa itu makanan, minuman, kelontong, dan sebagainya. Sedangkan, 'Tegal', dengan "T" besar jelas menunjuk pada nama suatu kota.
Sebagai satu fenomena, warteg tentu mengusik keingintahuan. Apa yang menarik dari warung ini? Mengapa ada Tegal di belakang kata warung? Apa bedanya Tegal dengan kota-kota yang lain? Bukankah para pendatang di ibu kota juga berasal dari kota-kota yang lain? Mengapa Tegal yang melekat?
Penelitian dari Rinda Asytuti yang dipublikasikan pada 2015 melihat fenomena warung Tegal sebagai salah satu bentuk usaha gastronomi berskala mikro yang berada di wilayah urban atau kota. Gastronomi adalah istilah untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan penyediaan atau penyajian makanan.
Warung Tegal sejak awal kemunculannya selalu berkait erat dengan perkembangan kaum urban dan pemenuhan kebutuhan perutnya.
Urusan gastronomi ibu kota sebenarnya bukan hanya nama Tegal yang lekat dengan berbagai makanan yang ada di ibu kota. Orang Padang atau orang Minang juga sangat kental dalam hal kedaulatan perut orang ibu kota.
Istilah 'nasi Padang' mungkin sama populernya dengan “warteg” dalam benak orang Jakarta jaman sekarang. Keduanya melekat pada satu subkultur urban yang lekat dengan identitas kedaerahan.
Urbanisasi adalah konteks yang melatari fenomena ini. Magnet besarnya adalah Kota Jakarta yang dulu bernama Batavia. Konon sejak Batavia berkembang pesat menjadi pusat perniagaan dan pengembangan usaha banyak para perantau dari berbagai kota yang relatif dekat di Pulau Jawa dan Sumatra berdatangan ke kota, yang perlahan menjadi ibu kota.
Fenomena urbanisasi itu bahkan bisa ditarik ke belakang sejak jaman Hindia Belanda. Salah satu yang mencatat fenomena makan di warung adalah Stamford Raffles. Dalam History of Java, Raffles mencatat kebiasaan makan orang Jawa di pagi hari yang disebut 'sarap'.
Orang Jawa biasa mendapatkan sajian 'sarap(-an)' berupa secangkir kopi beserta kudapan kue-kue yang dibuat dari beras dari tempat-tempat kecil di sudut dan pinggir kota yang dikenal sebagai 'warongs'.
Hingga saat ini, dalam kebiasaan orang Betawi, sarapan di pagi hari adalah seperti yang digambarkan Raffles.
Percampuran Budaya Antarbangsa
Raffles datang di Hindia Belanda, tepatnya di Batavia pada awal abad 19. Dia mendapati sebuah kota yang telah lama menjadi melting pot atau percampuran berbagai budaya antarbangsa.
Pada saat itu, Batavia adalah kota yang baru bisa bangkit kembali setelah tragedi setengah abad sebelumnya, yakni Geger Pecinan 1740. Peristiwa tragis itu dalam catatan Belanda ditulis sebagai pemberontakan. Sedangkan dari sisi warga pendatang di Batavia, peristiwa tersebut akan selalu dikenang sebagai pembantaian.
Peristiwa tragis itu tercatat sebagai hal besar yang memporak-porandakan berbagai segi kehidupan di Batavia, terutama dalam bidang perekonomian dan penghidupan penduduknya.
Perlu waktu yang cukup lama bagi Batavia, terutama bagi warganya yang sebagian besar berasal dari kaum pendatang, untuk menata kembali kota yang denyut kehidupannya bergantung pada kepadatan penduduknya.
Batavia sebelum tragedi Pecinan adalah sebuah kota Benteng. Batavia dirancang oleh VOC sebagai bandar perdagangan lengkap dengan tembok-tembok perlindungannya. Bentangannya melebar seluas 10 hingga 15 km.
Wilayah Kota Tua di Jakarta pada saat ini adalah peninggalan yang tersisa dari wajah Batavia jaman dulu. Kota-kota di pesisir Jawa seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Lasem, dan Surabaya adalah model-model yang dibangun mengikuti rancangan ini.
Wilayah di luar benteng, pada masa sebelum kedatangan Raffles, adalah wilayah yang tidak diperhatikan pembangunannya. Wilayah luar benteng dikenal juga dengan sebutan Ommenlanden (wilayah sekitar).
Di wilayah itu, pendatang dari Cina yang dikenal sebagai Cina peranakan kelas pekerja menetap dan berbaur dengan kuli dan pekerja yang datang dari berbagai wilayah pedalaman di luar Batavia.
Bondan Kanumoyoso mencatat, para pendatang di wilayah Ommenlanden ini bahkan datang dari wilayah Cirebon hingga Tegal yang umumnya merantau untuk menjadi 'bujang', sebutan bagi kuli pengangkut tebu.