Indonesia.go.id - Melongok Jejak Kebesaran Kesultanan Deli

Melongok Jejak Kebesaran Kesultanan Deli

  • Administrator
  • Selasa, 3 Mei 2022 | 08:03 WIB
CAGAR BUDAYA
  Masjid Raya Al Mashun, Medan, Sumatera Utara. WIKI COMMON
Masjid Raya Al-Mashun dirancang arsitek Belanda Theodoor van Erp yang juga merancang Istana Maimun, tetapi kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman.

Di jantung Kota Medan, sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, terdapat bangunan bersejarah dan menjadi cagar budaya setempat. Tempat itu adalah Masjid Raya Al-Mashun atau dikenal juga sebagai Masjid Raya Medan dan menjadi ikon wisata religi bagi kota ketiga terbesar di Indonesia tersebut.

Rumah ibadah umat Muslim itu lokasinya ada di di Dukuh Sungaimati, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimon, Kota Medan. Sisi timur Masjid Raya Al-Mashun menghadap ke Jl Sisingamangaraja sedangkan sisi utaranya tertuju ke Jl Masjid Raya.

Masjid berjarak hanya sekitar 200 meter dari Istana Maimun yang merupakan Istana Kesultanan Deli, sebuah kerajaan yang turut membangun peradaban Melayu modern di Sumatra. Rumah ibadah ini mulai dibangun pada 21 Agustus 1906 atau 1 Rajab 1324 Hijriah dalam kalender Islam, ketika Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam memimpin Kesultanan Deli.

Sultan Ma'mun ingin mewujudkan sebuah masjid yang megah, karena menurutnya hal itu lebih utama dibandingkan kemegahan istananya yang telah berdiri sejak 1888. Mengutip penelitian yang dilakukan Achy Askwana dari Universitas Sumatra Utara berjudul "Analisis Karakteristik Ornamen di Masjid Raya Al-Mashun Medan" (2015), Sultan Ma'mun memiliki kemampuan keuangan lebih karena saat itu permintaan ekspor tembakau Deli sedang meningkat.

Kondisi itu membuat Sultan Deli berkeinginan membangun fasilitas-fasilitas penting untuk kemajuan Kesultanan Deli. Pembangunan Masjid Raya Al-Mashun Medan menghabiskan biaya sebesar 1 juta gulden yang ditanggung oleh Kesultanan Deli. Namun, dikutip dari Tengku Luckman Sinar dalam Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (2006), dana pembangunan masjid ini juga dibantu oleh seorang saudagar dari etnis Tionghoa bernama Tjong A Fie.

Pembangunan masjid ini selesai pada 1909 dan digunakan pertama kali untuk salat Jumat, 10 September 1909 atau bertepatan dengan 25 Sya’ban 1329 Hijriah. Ketika sudah berdiri dan resmi digunakan, Masjid Raya Al-Mashun tampak megah serta memiliki sayap di sisi selatan, utara, timur, dan barat. Pada awalnya Masjid Raya Al-Mashun dirancang oleh arsitek Belanda Theodoor van Erp yang juga merancang Istana Maimun, tetapi kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman.

Van Erp ketika itu dipanggil ke Pulau Jawa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah pada 1907--1911. Sebagian bahan bangunan masjid yang diimpor antara lain marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia dan Jerman, kaca patri dari Tiongkok, dan lampu gantung didatangkan langsung dari Prancis.

Tingdeman merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, India, Eropa dan Melayu, serta Timur Tengah. Pola bangunan oktagonal itu menghasilkan ruang bagian dalam unik, berbeda dari masjid kebanyakan. Kubah masjid letaknya di tengah bangunan, bentuknya tidak membulat, melainkan pipih oktagonal mengikuti desain bangunan. Desain demikian dikenal sebagai Moghul.

Kubah utama ditopang oleh delapan pilar beton besar berdiameter 60 sentimeter yang menembus hingga ke bagian dalam masjid, tepat di ruang salat. Selain itu, terdapat empat kubah lebih kecil tepat di atas empat bangunan sayap. Sekilas, model bangunan Masjid Raya Al-Mashun ini mengingatkan kita akan Masjid Raya Banda Aceh. Keempat bangunan sayap Masjid Raya Al-Mashun ini mempunyai beranda dilengkapi pintu masuk dan tangga hubung, karena antara pelataran dengan lantai utama masjid posisinya ditinggikan.

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat berwudu, gerbang masuk, dan menara. Ruang utama, tempat salat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada bagian mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.

Jendela-jendela besar mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri unik dan akan memancarkan warna menarik ketika terkena sinar matahari. Ornamen dengan nilai estetika tinggi tecermin pada bagian dalam masjid seperti di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan dan kaligrafi Islam.

Pada hari-hari tertentu seperti Ramadan, pengurus Masjid Al-Mashun rutin membagikan menu khas buka puasa berupa bubur sup anyang. Ratusan warga rela antre di pelataran luar masjid sambil membawa wadah untuk menampung bubur yang rasanya gurih.

Bubur sup anyang terbuat dari tepung beras, wortel, kentang, sayuran anyang atau pakis yang dibubuhi kelapa dan kacang panjang. Bubur itu dimasak terlebih dulu oleh pengurus masjid sebelum dibagikan kepada warga.

Masjid ini juga masih menyimpan mushaf Alquran tua berusia ratusan tahun yang dipajang di pintu masuk untuk jamaah laki-laki. Mushaf terbuat dari kertas kulit yang sangat tua, dibuat di Timur Tengah. Walaupun merupakan tulisan tangan, dan berusia tua, kitab suci ini tersebut masih utuh dan ayat-ayat yang tertera di dalamnya masih jelas untuk dibaca.

Kalau anda sedang berwisata atau pulang kampung ke Kota Medan, singgahi juga jejak peninggalan Kesultanan Deli di Masjid Al-Mashun ini. 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer