Kota Surakarta akan menjadi tuan rumah kedua kalinya dari perhelatan olahraga paralimpik multicabang dua tahunan di kawasan Asia Tenggara.
Layaknya seni, olahraga bersifat universal karena tidak mengenal perbedaan atau diskriminasi oleh warna kulit, suku, etnis, agama, bahkan orientasi politik. Sifat unik ini membuat olahraga sering jadi pemersatu dari pecahnya konflik ataupun perbedaan di masyarakat.
Olahraga mewajibkan terlibatnya setiap orang, baik yang diberi karunia fisik sempurna atau memiliki keterbatasan seperti halnya penyandang disabilitas. Tokoh olahraga nasional, mendiang Mangombar Ferdinand Siregar dalam bukunya Matahari Olahraga Indonesia mengatakan, olahraga adalah wadah istimewa untuk membantu orang dalam mengatasi hambatan-hambatan dirinya terhadap sosial, budaya, dan bahasa. Ini membuat olahraga sebagai platform paling tepat untuk membentuk masyarakat inklusif dan menghargai setiap perbedaan.
Semangat sportivitas yang dijunjung tinggi dalam olahraga mampu menyentuh segala aspek di dalam kehidupan. Ini menjadikan olahraga sebagai alat paling ideal untuk memajukan masyarakat inklusif di mana semuanya terlibat. Termasuk di dalamnya, para penyandang disabilitas, pihak yang acap menghadapi hambatan sosial, pandangan negatif, dan diskriminasi dalam banyak hal.
Mereka kerap kehilangan kesempatan untuk turut berpartisipasi di dalam pendidikan, kesempatan kerja, dan kehidupan sosial. Hal sama juga turut dirasakan untuk meraih kesempatan merasakan kesejahteraan, peningkatan kesehatan, dan penerimaan secara sosial di masyarakat. Ini akibat masih adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang gagal move on terhadap saudara-saudara kita penyandang disabilitas.
Sejatinya, olahraga adalah momentum tepat untuk menunjukkan kemampuan, keterampilan, dan sikap sekaligus menjungkirbalikkan persepsi. Bahwa, para penyandang disabilitas bukan kelompok yang lemah. "Manusia-manusia kuat, jiwa-jiwa yang kuat," begitu kata penyanyi jazz Tulus dalam lirik lagu Manusia Kuat.
Unjuk kemampuan di olahraga ini bisa menjadi pengingat bagi kita yang tidak memiliki keterbatasan fisik, bahwa disabilitas adalah bagian integral di dalam masyarakat. Lewat olahraga, para penyandang disabilitas seperti ingin mengingatkan semua orang akan potensi unggul yang mereka dimiliki.
Olahraga juga dapat membuat kelompok ini semakin kuat secara fisik dan mental dan terciptanya kesempatan untuk aktualisasi diri secara sosial di masyarakat. Juga proses pengembangan kemandirian dan pemberdayaan serta pada akhirnya mampu mewujud sebagai agen-agen perubahan.
Oleh karena itu, sejak awal abad milenium, telah muncul kesadaran tinggi dari masyarakat kawasan Asia Tenggara untuk memberi tempat khusus kepada penyandang disabilitas berprestasi di bidang olahraga. Terlebih lagi, seperti dicatat Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 terdapat sekitar 90 juta penyandang disabilitas di kaasan ini. Zainal Abu Zarin sebagai sosok pencetus diawalinya ASEAN Para Games di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2001 silam.
Perhelatan perdana diramaikan 700 atlet paralimpik, sebutan bagi olahragawan disabilitas. Mereka saat itu datang dari Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Singapura, dan Vietnam. Hanya terdapat dua cabang olahraga dipertandingkan kala itu.
Gelaran pertama tadi dapat terwujud setelah terbentuknya Federasi Olahraga Paralimpik ASEAN (ASEAN Para Sports Fedration/APSF) pada 23 Oktober 2001. Kegiatan ini dalam perjalanannya digelar satu paket dengan ajang SEA Games dengan negara penyelenggara yang sama.
Dalam sejarahnya, baru dua negara yang tak mampu menggelar ASEAN Para Games, yakni Filipina dan Vietnam. Filipina, tuan rumah SEA Games 2019 semestinya beberapa minggu setelahnya harus menggelar ASEAN Para Games. Begitu juga Vietnam pada 2021.
Sayangnya, keterbatasan anggaran telah membuat kedua negara langsung melempar handuk ke negara lain sebagai penyelenggara. Terlebih lagi, pada 2021 pandemi Covid-19 tengah menggejala tinggi di seluruh dunia termasuk Vietnam, dan membuat mereka harus membatasi pengeluaran. Itu membuat Vietnam hanya sanggup menjadi tuan rumah SEA Games yang diadakan mundur satu tahun ke 2022.
Kesempatan itu yang kemudian coba diambil Indonesia untuk menjadi tuan rumah ASEAN Para Games 2022. Kota Surakarta atau lebih dikenal sebagai Solo kemudian didaulat sebagai tuan rumah ASEAN Para Games 2022, 30 Juli-6 Agustus 2022.
Solo adalah kota tempat lahirnya ekosistem olahraga nasional sejak 1920-an silam. Juga sebagai lokasi pemusatan latihan nasional (pelatnas) olahragawan paralimpik di bawah naungan National Paralympic Committe (NPC) Indonesia. Sudah dua kali pula kota ini menjadi tuan rumah hajatan olahraga multicabang penyandang disabilitas di Asia Tenggara setelah sebelumnya pada ASEAN Para Games keenam, 2011 lalu.
Kehadiran ASEAN Para Games 2022 di Solo merupakan kesempatan emas bagi Indonesia. Bukan saja ingin mengejar asa predikat juara umum sebagai penggondol medali emas terbanyak. Namun juga ingin menunjukkan diri kepada masyarakat Asia Tenggara kemampuan kita dalam memberdayakan para penyandang disabilitas di kawasan regional melalui ASEAN Para Games ke-11 kalinya tersebut.
Di atas itu semua, ASEAN Para Games ke-11 di Solo harus dilihat sebagai upaya semua pihak dalam menjaga terus berkobarnya harapan, semangat juang, dan membantu para penyandang disabilitas menggapai semua mimpi berprestasi tinggi di bidang olahraga. Juga sebagai upaya mulia masyarakat Asia Tenggara dalam mengajak dan memberi kesempatan penyandang disabilitas untuk ikut bersama memajukan mayarakat inklusif. Selamat datang di ASEAN Para Games ke-11!
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari