Indonesia.go.id - Mencegah Modus Baru Transaksi Pencucian Uang

Mencegah Modus Baru Transaksi Pencucian Uang

  • Administrator
  • Minggu, 24 April 2022 | 16:00 WIB
PENCUCIAN UANG
  Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat berbicara di Gedung DPR RI, Jakarta. ANTARA FOTO
Hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), modus aliran uang cukup beragam, seperti disimpan dalam bentuk aset kripto, penggunaan rekening milik orang lain, dan kemudian dipindahkan ke berbagai rekening di beberapa bank untuk mempersulit penelusuran transaksi.

Pada Maret 2022, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membekukan sementara transaksi dari 17 rekening senilai Rp77,945 miliar. Aliran dana tersebut diduga berasal dari tindak pidana investasi ilegal.

Pemblokiran rekening ini telah dilakukan PPATK berkali-kali terhadap transaksi dan rekening yang berbeda. “Sehingga total penghentian sementara transaksi yang diduga berasal dari tindak pidana berupa investasi ilegal sebesar Rp502,88 miliar dengan jumlah 275 rekening,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Jumat (25/3/2022).

Mengacu dari hasil analisis PPATK, modus aliran uang tersebut cukup beragam, seperti disimpan dalam bentuk aset kripto, penggunaan rekening milik orang lain, dan kemudian dipindahkan ke berbagai rekening di beberapa bank untuk mempersulit penelusuran transaksi. Sebagai lembaga sentral dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Indonesia, PPATK terus berkoordinasi dengan financial intelligence unit (FIU) dari negara lain.

Dalam hal ini PPATK memiliki kewenangan dalam melakukan penghentian sementara transaksi selama 20 hari kerja dan selanjutnya berkoordinasi serta melaporkan kepada penegak hukum terhadap transaksi mencurigakan dalam nominal besar terkait dengan investasi yang diduga ilegal. Selain itu, pelaporan yang disampaikan oleh pihak pelapor ke PPATK dimaksudkan untuk menjaga pihak pelapor dari risiko hukum dan reputasi. Dengan begitu, para pelapor tidak menjadi sasaran serangan balik dari para pelaku kejahatan pencucian uang.

Modus pencucian uang (money laundering) memang terus berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan pasar keuangan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengingatkan jajaran PPATK adanya modus baru kejahatan pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT).

Presiden Jokowi mengatakan, tantangan-tantangan kejahatan transaksi keuangan di masa depan semakin berat dan potensi kejahatan siber juga semakin meningkat. "Muncul berbagai modus dan bentuk-bentuk baru kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Saya memahami pencegahan dan pendanaan tindak pidana terorisme tidak bisa dilakukan oleh PPATK sendiri," ujar Presiden Jokosi saat memberikan pengarahan dalam rangka Peringatan 20 Tahun Gerakan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) di Istana Negara, Jakarta, Senin (18/4/2022).

Oleh karena itu, Kepala Negara menambahkan diperlukan kerja bersama antara instansi pemerintah, industri keuangan, dan masyarakat, dalam menjaga integritas dan stabilitas sistem perekonomian dan keuangan. Indonesia selama selama 20 tahun terakhir, melalui gerakan Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), adalah bagian dari sejarah panjang dari upaya global dalam penanganan tindak pidana keuangan.

Selama ini para pelaku tindak pidana menikmati hasil kekayaan ilegal dengan memanfaatkan prinsip kerahasiaan perbankan dan industri keuangan lainnya. "Harta kekayaan ilegal menumbuhsuburkan tindak pidana itu sendiri, seperti darah yang menghidupi tindak pidana (blood of the crime)," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Dari kajian FATF, meskipun penggalangan dana bukan tujuan akhir dari kelompok terorisme, pendanaan menjadi urat nadi dalam menjalankan tujuan ideologis dan melakukan serangan terorisme itu sendiri.

Pendanaan yang dilakukan pun melibatkan underground banking dalam berbagai proses transaksi. Misalnya pendanaan yang dibutuhkan untuk melatih teroris baru, memalsukan dokumen, membayar suap, mendukung persenjataan, teroris, keluarga mereka sendiri, dan mencari dukungan publik melalui propaganda di media sosial.

Lazimnya, pendanaan aksi teror dipakai untuk biaya langsung dan tidak langsung. Pada kenyataannya, bervariasi berdasarkan sifat spesifik serangan dan struktur organisasi sindikat teror.

 

Memperkuat Kolaborasi

Adapun tonggak sejarah gerakan antipencucian uang di Indonesia dimulai dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian disahkan menjadi UU nomor 15 tahun 2002. Melalui UU itu, pemerintah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan seiring upaya Indonesia keluar dari daftar hitam negara atau teritori yang tidak kooperatif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang atau NCCT list, yang dikeluarkan Financial Action Task Force (FATF).

Dalam rangka memperkuat kolaborasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan APU PPT Indonesia berdasarkan Keppres nomor 1 tahun 2004, dibentuklah Komite Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Perpres nomor 6 tahun 2012 yang diubah kembali dengan Perpres nomor 117 tahun 2016.

Komite tersebut terdiri dari sejumlah lembaga dan instansi, antara lain, Kemenko Polhukam, Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, Kemenlu, Kemendagri, BI, OJK, PPATK, Polri, BNPT, BNN, dan Kejaksaan Agung. Tentunya, PPATK terus bersinergi dengan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari sektor fiskal, dengan total kontribusi penerimaan negara pada kasus perpajakan hingga akhir tahun 2021 mencapai Rp7,4 triliun.

Di samping itu, peran PPATK adalah rutin memberikan masukan pada proses fit and proper test untuk mendukung pemilihan pejabat negara berintegritas. PPATK sudah berkiprah selama dua dekade sejak 17 April 2002. Selama periode tersebut, PPATK fokus mencegah dan memberantas TPPU dan TPPT dalam berbagai kasus di tengah masyarakat. Selanjutnya, ada beberapa hal yang akan dilakukan PPATK ke depan, yaitu pencegahan dan pemberantasan TPPU dari hasil kejahatan lingkungan (green financial crime/GFC).

Sejak tahun lalu FATF telah menyoroti pencucian uang dari kejahatan eksploitasi lingkungan. Dari data Interpol dan Norwegian Center forGlobal Analysis (RHIPTO) 2021, kejahatan lingkungan disebutkan menjadi salah satu kejahatan utama internasional yang nilainya bisa mencapai USD281 miliar atau Rp1.540 triliun pada tiap tahun.

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari