Indonesia.go.id - Potret Transparansi Industri Migas dan Tambang Indonesia

Potret Transparansi Industri Migas dan Tambang Indonesia

  • Administrator
  • Selasa, 21 Juni 2022 | 19:52 WIB
INDUSTRI
  Ilustrasi. Indonesia akan menerapakan standar EITI yang telah dilaksanakan di 52 negara di dunia. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang memperoleh status compliance atau patuh standar transparansi. PGN
Standar EITI telah dilaksanakan di 52 negara di dunia. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang memperoleh status compliance atau patuh standar transparansi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagai Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia, telah menyampaikan laporan EITI Indonesia ke-9 kepada EITI Internasional, pada 28 Maret 2022. Laporan ini berisi data dan informasi sektor migas dan pertambangan yang diuraikan dalam rantai nilai, mulai dari perizinan, lelang, pendapatan, hingga pemanfaatan pendapatan yang telah diperoleh dari kegiatan pengelolaan industri ekstraktif tahun 2019-2020.

"Substansi yang dilaporkan merupakan data final dan audited yang disajikan sesuai dengan standar pelaporan EITI International 2019. Selain itu, disampaikan juga data tenaga kerja per gender, peran dan dampak masyarakat adat, kegiatan kuasi fiskal yang dilakukan BUMN, serta informasi terkait upaya Indonesia dalam melakukan mitigasi risiko dan hambatan terkait keterbukaan kontrak dan commodity trading," tutur Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial selaku Ketua Forum Multistakeholder Group (MSG) EITI Indonesia pada Webinar Diseminasi Laporan EITI Indonesia ke-9, pada 20 April 2022.

Perlu diketahui, EITI atau Extractive Industries Transparency Initiative adalah standar global bagi transparansi di sektor ekstraktif (termasuk di dalamnya minyak, gas bumi, mineral, dan batu bara). EITI sebuah koalisi antara pemerintah, pelaku usaha, kelompok masyarakat sipil, penanam modal, dan organisasi internasional. Perwakilan-perwakilan lembaga tersebut duduk di dalam satu dewan internasional (EITI International Board).

EITI bertujuan memperkuat sistem pemerintahan dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif. EITI menetapkan standar internasional bagi pelaku usaha untuk melaporkan pembayaran dan bagi pemerintah untuk membuka angka penerimaan negara.

Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Presiden nomor 26 tahun 2010, pelaksanaan EITI berada di bawah tanggung jawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI yang memimpin tim pengarah transparansi dan dijalankan oleh sebuah tim pelaksana transparansi yang terdiri dari perwakilan pemerintah, masyarakat sipil dan industri, dan diketuai oleh Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup RI. Tim pengarah menyampaikan laporan kepada presiden secara berkala satu kali dalam setahun.

Standar EITI telah dilaksanakan di 52 negara di dunia. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang memperoleh status compliance atau patuh standar transparansi. Di Indonesia, prakarsa itu dimulai 2007 ketika Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, menyatakan dukungan bagi EITI.

Wakil Ketua KPK pada saat itu, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Deputi KPK untuk Pencegahan Waluyo meninjau persiapan dasar hukumnya. Tahun berikutnya, Menko Bidang Perekonomian saat itu, Boediono, memimpin rapat koordinasi untuk EITI, dan akhirnya di 2010 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden nomor 26 tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Indonesia secara resmi diterima sebagai kandidat negara pelaksana EITI pada Oktober 2010.

Laporan EITI Indonesia ke-9 telah disusun sejak Januari 2021 dengan melibatkan seluruh unit eselon I Kementerian ESDM, kementerian/lembaga terkait, perwakilan pemerintah daerah, asosiasi perusahaan sektor minyak dan gas bumi, asosiasi perusahaan sektor mineral dan batu bara, lembaga swadaya masyarakat, serta industri ekstraktif yang telah melaporkan transparansi pendapatan kepada Sekretariat EITI Indonesia.

"Selanjutnya kami akan terus meningkatkan transparansi, melalui proses mainstreaming pelaporan EITI yang menyatu dalam laporan tahunan perusahaan dan pemerintah. Kami juga menyadari bahwa keberhasilan pelaksanaan EITI, transparansi pendapatan dari industri ekstraktif di Indonesia akan sangat ditentukan oleh adanya partisipasi aktif, kesamaan, dan persepsi dari seluruh pemangku kepentingan," tutur Ego.

Ke depan implementasi EITI akan lebih terintegrasi, sebagaimana dipaparkan oleh Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi. "Integrasi aplikasi dari sistem yang ada antara KESDM, Kemenkeu dan K/L lainnya akan mendorong efisiensi e-government secara umum, dan secara khusus pada perbaikan tata kelola dan penerimaan negara dari industri ekstraktif. Data yang dipublikasi tentunya lebih valid dan dapat dimonitor oleh K/L terkait dan pemangku kepentingan," pungkas Agus.

Pada Webinar Diseminasi Laporan EITI Indonesia ke-9 ini, hadir sejumlah narasumber, yaitu Erwansyah Nasrul Fuad dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Eka Yudhistira dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Muhammad Isro dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Muhammad dari Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan, Djoko Widjajanto dari Indonesian Mining Association (IMA), Marjolijn Wajong dari Indonesian Petroleum Association (IPA), dan Aryanto Nugroho dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Semua narasumber memberikan pandangan yang penting bagi perbaikan tranparansi dan tata kelola industri ekstraktif di Indonesia.

Dalam materi paparannya Sekretariat EITI melaporkan, revenue flow industri ekstraktif 2020, antara lain, berupa total pendapatan negara Rp1.647,78 triliun pendapatan migas dan minerba Rp228,18 triliun. Total pendapatan pajak Rp1.285,14 triliun yang terdiri pajak migas dan dari minerba Rp124,45 triliun yang terbagi dalam sektor migas Rp105,87 triliun dan sektor minerba Rp18.58 triliun

Dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) total Rp343,81 triliun dan PNBP migas dan minerba Rp103,73 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari sektor migas Rp69,08 triliun dan sektor minerba Rp34,65 triliun

Adapun alokasi dana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) dan lingkungan perusahaan sebesar 8,7 triliun. Untuk program PPM Rp2 triliun, yaitu sektor migas Rp0,4 triliun dan sektor minerba Rp1,64 triliun. Untuk lingkungan Rp6,68 triliun, yaitu untuk ASR migas Rp0,03 triliun, realisasi jaminan reklamasi Rp1,5 triliun, dan realisasi jaminan pascatambang Rp5,1 triliun.

Sedangkan total belanja Rp2.595,48 triliun, di antaranya belanja migas dan minerba Rp46,09 triliun, yang terdiri dari belanja pusat Rp1.832,95 triliun. Dari belanja pusat ini, alokasi untuk belanja Kementerian ESDM Rp4,04 triliun untuk sektor migas Rp3,60 triliun dan sektor minerba Rp0,44 triliun.

Sedangkan dana transfer ke daerah Rp762.53 triliun, di mana total DBH Rp93,91 triliun dan DBH migas dan minerba Rp43,47 triliun yang berupa DBH migas Rp20,67 triliun dan DBH minerba Rp22,80 triliun.


Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari