Berada di Jepang, dalam rangkaian tur ke Asia Timur, Presiden Jokowi bertemu puluhan pucuk-pucuk pimpinan perusahaan demi mengakselerasi proses investasi minyak dan gas di Blok Masela.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melakukan tur ke tiga negara Asia Timur, yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan pada Selasa (26/7/2022)--Kamis (28/7/2022). Banyak hasil yang diperoleh dari kunjungan ke tiga negara di Asia Timur itu, yang terkait peningkatan perdagangan, maupun investasi. Termasuk, ihwal percepatan proses investasi minyak dan gas di Blok Masela.
Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi turun langsung menemui 10 pemimpin perusahaan kelas wahid dari Jepang. Di sana, Kepala Negara mengajak mereka berinvestasi di Indonesia. “Jepang merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia dengan karakter investasi yang berkualitas,” ujar Jokowi.
Turut mendampingi Presiden Jokowi ketika bertemu para CEO itu, yakni Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhur Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dan Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid. Sedangkan, para pimpunan perusahaan yang hadir dalam pertemuan itu adalah CEO Toyota Motor Corp Akio Toyoda, CEO Sojitz Corp Masayoshi Fujimoto, CEO Mitsubishi Corp Katsuya Nakanishi, CEO Denso Corp Koji Arima, Vice President Sharp Corp Masahiro Okitsu, Vice President Inpex Corp Kenji Kawano, dan Vice President Kansai Electric Power Matsumura Mikio.
Usai pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Tokyo, Jepang, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pernya menyebutkan, Blok Masela menjadi pokok pembahasan dalam pertemuan itu. Tentu ada yang bertanya, mengapa Blok Masela menjadi begitu penting bagi Indonesia? Dan mengapa Jepang yang diminta untuk menuntaskannya?
Diketahui, Jepang melalui Inpex Corp memiliki sejarah yang panjang dengan Blok Masela, yang merupakan salah satu cadangan migas besar yang dimiliki Indonesia. Letak Blok Masela berada di lepas pantai Laut Arafura, sekitar 155 kilometer (km) arah barat daya Kota Saumlaki, yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste.
Inpex yang merupakan perusahaan minyak dan gas asal Jepang itu mendapatkan hak melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Masela melalui penandatanganan kontrak Masela PSC, pada 16 November 1998. Sejak saat itu, Inpex melalui Inpex Masela Ltd melakukan kegiatan eksplorasi hidrokarbon di blok tersebut, dengan kepemilikan saham 100 persen.
Cadangan gas Blok Masela secara resmi ditemukan pada 2000. Sumur Abadi-1 merupakan sumur eksplorasi pertama Inpex Masela Ltd. Sumur itu terletak di tengah-tengah struktur abadi dengan kedalaman laut 457 meter dan total kedalaman 4.230 meter.
Perusahaan Jepang itu kemudian memperoleh plan of development (POD) 1 pada 30 Desember 2008. Untuk pengembangan lapangan gas abadi ini, Inpex Masela Ltd melakukan beberapa studi detail yang meliputi penghitungan cadangan (reserve calculation), skenario pengembangan (development scenario), dan studi pemasaran gas (gas marketing study).
Dukung Perekonomian Nasional
Di blok itu, kini Inpex Masela Ltd memiliki hak partisipasi, sekaligus bertindak sebagai operator, sebesar 65 persen. Sisanya, dimiliki oleh Shell Corporation sebesar 35 persen.
Blok Masela ditargetkan dapat memproduksi gas 421 juta kaki kubik per hari (mmscfd) dan minyak 8.400 barel per hari. Seiring dengan perkembangan bisnis migas global yang mengalami fluktuasi tajam pada waktu itu, Shell kemudian keluar dari blok itu pada pertengahan 2019.
Kabar itu muncul pertama kali dan diberitakan oleh Reuters, yang mengatakan bahwa Royal Dutch Shell berencana melego 35 persen sahamnya. Ketika itu, nilai sahamnya setara dengan USD1 miliar atau Rp14 triliun lebih.
Aura proyek migas di Indonesia Timur itu memang sempat muram. Setelah penandatanganan kontrak yang dilakukan belasan tahun silam dan POD 1 yang diperoleh sepuluh tahun kemudian itu, baru disetujui rencana pengembangan oleh pemerintah pada Desember 2010, atau 12 tahun kemudian. Beberapa isu kontan menyeruak, seputar penyebab tertundanya pengembangan proyek itu.
Salah satunya, terkait perdebatan seputar posisi penempatan kilang pengembangan Blok Masela. Apakah itu dibangun di darat atau di laut. Pada Desember 2010, sebenarnya posisi kilang sudah diputuskan di laut atau terapung. Hal itu juga tertuang pada POD yang disetujui pemerintah pada Desember 2010.
Namun, kemudian muncul keinginan agar dibangun di darat. Alhasil, tarik ulur pun kembali terjadi. Akhirnya, Presiden Jokowi pun memutuskan pengembangan kilang LNG itu berada di darat (onshore). Alasan, pengembangan Blok Masela bukan sekadar mengejar keuntungan. Melainkan, berkaitan dengan pengembangan wilayah Indonesia Timur.
Besar harapan, pembangunan kilang pengolahan gas di darat itu dapat ikut merangsang perkembangan infrastruktur di sekitarnya, sehingga berimbas positif bagi ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Namun setelah masalah posisi pengembangan kilang tuntas, proyek eksploitasi dan eksplorasi blok itu nyatanya tak lantas melesat.
Persoalan berikut adalah tentang pihak yang akan menggantikan posisi hak partisipasi Shell? Presiden Jokowi sejatinya telah meminta perusahaan nasional untuk mengisinya. "Presiden memerintahkan yang keluar itu (Shell) digantikan perusahaan nasional, baik lewat INA maupun BUMN," kata Menteri Bahlil.
Itulah sebabnya, kini Menteri Bahlil berharap proses tersebut bisa berjalan cepat, agar Indonesia dapat segera memproduksi migas dalam negeri yang ujungnya dapat memberikan dukungan terhadap perekonomian nasional. Yang pasti, masyarakat dan pemerintah berharap Blok Masela segera dikembangkan untuk segera berproduksi migas yang ditargetkan onstream pada 2027.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari