Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang energi baru terbarukan (EBT) memantapkan arah kebijakan percepatan pengakhiran operasional pembangkit listrik batu bara.
Dunia kini dihantui adanya resesi global. Terus berlangsungnya perang Ukraina versus Rusia, yang belum menunjukkan tanda-tanda bakal berakhir, kian memperkeruh situasi ekonomi dunia. Harga energi dan pangan terus naik.
Situasi itu, makin menyadarkan dunia tentang pentingnya penggunaan energi baru terbarukan. Apalagi, untuk negara-negara di kawasan Eropa yang kini sudah memasuki musim gugur, menuju musim dingin. Mereka membutuhkan bahan bakar minyak untuk menyalakan tungku pemanas, yang artinya permintaan terhadap bahan bakar minyak pun naik.
Di sisi lain, harga minyak belum menunjukkan tanda-tanda turun, bahkan cenderung naik lagi pasca-OPEC memutuskan untuk memangkas produksinya. Diprediksi, harga minyak berada di kisaran USD100 per barel hingga akhir tahun.
Kondisi di atas adalah gambaran suram masalah energi dunia yang juga berpotensi berimbas juga ke Indonesia. Namun di tengah-tengah kondisi ekonomi dunia yang masih tidak menentu, kabar baik di tanah air bergaung nyaring. Pemerintah kembali menegaskan komitmennya terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan.
Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik baru saja diterbitkan. Seiring itulah, disampaikan Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar, arah kebijakan percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik batu bara atau PLTU di Indonesia pun semakin mantap.
“Perpres tersebut secara jelas telah mengamanatkan untuk membuat peta jalan (roadmap) terkait percepatan pengakhiran operasional PLTU, baik milik PT PLN (Persero) sendiri, maupun yang berkontrak jual beli dengan pengembang listrik swasta,” ujar Wanhar, dalam acara sosialisasi Perpres EBT, Jumat (7/10/2022).
Apalagi, Indonesia sudah berkomitmen untuk meneruskan program ke arah transisi energi dan mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060. "Dengan keluar perpres ini memantapkan kita arah early retirement akan seperti apa. Sebab perpres itu mengamanatkan untuk segera membuat roadmap," tandasnya.
Sebelum akhirnya perpres itu lahir, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memang telah memberi sinyal. Menteri Tasrif kala itu menyebut, pemerintah tengah menyiapkan regulasi baru.
Aturan baru itu disebutkan, bakal mengatur sejumlah hal. Yakni, pertama, skema tarif baru bagi bisnis pembangkit listrik EBT. Kedua, proses administrasi dalam investasi EBT akan disederhanakan. Dan ketiga, mendorong investor datang ke Indonesia.
Nasib PLTU Lama
Tidak dipungkiri, lahirnya perpres itu juga memiliki hubungan dengan dengan nasib pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Oleh karena itu, pemerintah belum lama ini menuntaskan dan menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021--2030.
Di dalam RUPTL itu disebutkan, porsi pembangkit EBT mencapai 51,6 persen. "Penyusunan RUPTL PLN 2021--2030 saat ini merupakan RUPTL lebih hijau, karena porsi penambahan pembangkit EBT sebesar 51,6%, lebih besar dibandingkan penambahan pembangkit fosil sebesar 48,4%," ujar Menteri Tasrif.
Menurut Menteri Tasrif, penyusunan RUPTL yang lebih hijau merupakan bentuk afirmasi Pemerintah Indonesia untuk terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement.
Dalam hal itu, Indonesia berkomitmen di sektor energi untuk dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan nationally determined contributions/NDC pada 2030 sebesar 29 persen dari business as usual (BaU) dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Saat ini, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim disikapi dengan roadmap menuju NZE.
Pasalnya, tuntutan industri untuk menggunakan energi yang hijau dan penyediaan listrik dari sumber energi yang rendah karbon menjadi tantangan tersendiri dalam penyediaan energi di Indonesia. Pertumbuhan perekonomian yang terdampak pandemi Covid-19 juga berdampak pada pertumbuhan listrik yang menyebabkan beberapa sistem besar seperti sistem kelistrikan Jawa-Bali dan sistem Sumatra berpotensi over supply.
"Oleh karena itu pertumbuhan listrik pada RUPTL sebelumnya sudah tidak sesuai, untuk itu pada RUPTL PLN 2021-2030 diproyeksikan hanya tumbuh rata-rata sekitar 4,9 persen, dari yang sebelumnya 6,4 persen,” tambahnya.
Berkaitan dengan lahirnya Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pelaku usaha panas bumi menuntut pemerintah segera mengeluarkan turunan beleid itu.
Turunan beleid itu yang dimaksud, terutama berkaitan dengan sejumlah hal, mulai soal petunjuk teknis, negosiasi harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), hingga insentif untuk pengembang.
Meskipun pemerintah terus menggenjot elektrifikasi berbasis energi hijau, Menteri Tasrif menegaskan, pemerintah tidak ada rencana untuk menghentikan program 35.000 MW. Menurutnya, program itu tetap berjalan terus. Bahkan, dia menambahkan, dalam dua tahun ke depan akan masuk sekitar 14.700 MW yang sebagian besar dari PLTU Batu Bara.
Dalam konteks penyediaan listrik dari sumber energi yang rendah karbon, harus diakui pemerintah juga sangat tegas melarang pengembangan PLTU baru. Larangan itu tidak berlaku untuk PLTU yang terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, seperti smelter, atau yang termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Pengembangan PLTU baru ini juga dibatasi masa operasinya paling lama sampai dengan 2050. Pada kesempatan yang sama, Executive Vice President Pengendalian Divisi Aneka Energi PT PLN (Persero) Rusdi mengemukakan, PLN siap menjalankan aturan yang berlaku. Namun, PLN meminta pemerintah untuk memikirkan agar aturan tersebut nantinya tidak menyulitkan keuangan PLN sebagai perusahaan negara.
"Di sisi lain, ada hal tertentu dibolehkan bangun PLTU, tapi mungkin umurnya sampai 2050. Di sisi lain, PLN disuruh mempercepat ini [pensiun PLTU]. Sebaiknya harus disesuaikan jangan pula bangun, kami disuruh matikan. Kalau bisa di-inline-kan sehingga sama-sama enak, keuangan PLN menjadi tidak lebih sulit," katanya.
Meskipun transisi energi terus didorong, yang patut disyukuri adalah rasio elektrifikasi di negeri sudah cukup tinggi. Data per akhir Juni 2021 menyebutkan rasio elektrifikasi rata-rata nasional telah mencapai 99,37 persen. Meski harus diakui, masih juga terdapat beberapa provinsi yang perlu perhatian khusus, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.
Bila itu semua sudah terjangkau, rasio elektrifikasi bisa mencapai 100 persen dan ekonomi pun bisa dipacu kencang.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari