Indonesia.go.id - Indonesia Tegas Soal Hilirisasi

Indonesia Tegas Soal Hilirisasi

  • Administrator
  • Selasa, 24 Januari 2023 | 16:06 WIB
EKSPOR
  Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Indonesia mengajukan banding atas kekalahan saat menghadapi gugatan terkait setop ekspor nikel yang diajukan Uni Eropa ke WTO.ANTARA FOTO/ Jojon
Bagi Indonesia, kebijakan yang diambil soal hilirisasi cukup jelas dan terang benderang. Hilirisasi tetap diteruskan.

Buah dari kebijakan Pemerintah Indonesia soal larangan ekspor nikel mentah atau bijih nikel masih terus memunculkan perseteruan yang panjang, bahkan memasuki babak baru. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun sudah mengeluarkan keputusan bahwa Indonesia dinyatakan kalah menghadapi gugatan Uni Eropa soal larangan ekspor nikel di World Trade Organization atau WTO.

Organisasi Perdagangan Dunia itu menolak pembelaan Indonesia atas pemberlakukan larangan ekspor nikel tersebut. Keputusan kalah itu sudah tertuang dalam laporan final panel WTO tertanggal 17 Oktober 2022 dan didokumentasikan pada 30 November 2022.

Panel menyimpulkan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994. Pasal XI:1 GATT 1994 menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak, dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor.

Nikel tidak masuk dalam pengecualian dalam penerapan Pasal XI:1 GATT 1994, WTO memberikan sejumlah pengecualian. Namun demikian, panel WTO menolak argumen bahwa kebijakan larangan ekspor nikel RI termasuk dalam pengecualian aturan tersebut.

Menurut panel WTO, pengecualian diberlakukan jika kebijakan ekspor bersifat sementara. Selain itu, syarat pengecualian berlaku jika larangan ekspor bertujuan untuk mencegah atau meringankan krisis pangan, atau produk lain yang esensial bagi Indonesia seperti dalam pengertian Pasal XI:2(a) GATT 1994.

"Larangan ekspor tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994. Panel juga menyimpulkan bahwa larangan ekspor tidak dibenarkan berdasarkan Pasal XX(d) GATT 1994 karena tidak diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang atau peraturan yang tidak bertentangan dengan GATT 1994," tulis keterangan WTO yang dikutip Selasa (20/12/2022).

Panel WTO merekomendasikan agar Indonesia mengambil langkah-langkahnya sesuai dengan kewajibannya berdasarkan GATT 1994. Artinya, Indonesia diminta membatalkan larangan ekspor bijih nikel tersebut.

Sikap Indonesia berkaitan dengan keputusan itu, cukup tegas. Indonesia siap melakukan banding terhadap keputusan itu. Pernyataan banding itu langsung dikemukakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tak lama setelah munculnya keputusan Panel WTO, Rabu (30/11/ 2022).

Ketika membuka Rapat Koordinasi Investasi Tahun 2022, Rabu (30/11/2022), Presiden Jokowi dengan tegas telah memerintahkan agar Indonesia mengajukan banding atas kekalahan saat menghadapi gugatan terkait setop ekspor nikel yang diajukan Uni Eropa ke WTO.

Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi telah menunjuk Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi untuk tidak takut mengajukan banding. "Saya sampaikan kepada bu Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi) untuk jangan mundur," ungkap Presiden Jokowi, Selasa (10/1/2023).

Presiden Joko Widodo pun sangat meyakini dengan pilihan Indonesia melakukan hilirisasi komoditas pertambangan adalah pilihan yang tepat.

“Ini akan menjadi lompatan besar peradaban negara. Meski digugat di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO, Pemerintah Indonesia tetap berani maju dalam menghadapi gugatan tersebut. Kita harus berani seperti itu, kita tidak boleh mundur, kita tidak boleh takut karena kekayaan alam itu ada di Indonesia. Ini kedaulatan kita dan kita ingin, semua itu dinikmati oleh rakyat kita, dinikmati oleh masyarakat kita,” ujar Presiden Jokowi.

Kronologi larangan ekspor nikel Indonesia hingga memunculkan gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia bermula dari keberatan negara-negara Eropa atas larangan ekspor nikel mentah atau bijih nikel yang berlaku per 1 Januari 2020. Keputusan larangan itu sesuai dengan bunyi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Akibat putusan itu, Uni Eropa gerah dengan kebijakan larangan ekspor biji nikel. Kebijakan pembatasan impor biji mentah nikel ini dinilai tidak adil dan berimbas negatif pada industri baja Eropa karena terbatasnya akses terhadap bijih nikel dan juga bijih mineral lainnya seperti bijih besi dan kromium.

Sebagai informasi. Indonesia tercatat sebagai produsen nikel terbesar kedua di dunia. Selain itu, Indonesia juga eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.

Kondisi di atas terkonfirmasi dengan penyataan Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom di penghujung 2020. Menurutnya, langkah Indonesia menyetop ekspor bijih nikel membuat industri baja di Eropa dalam ancaman besar.

"Terlepas dari usaha yang kami lakukan, Indonesia tetap tidak beranjak dari langkahnya dan mengumumkan larangan ekspor pada Januari 2020," kata Malmstrom.

 

Sikap Indonesia

Adapun banding Pemerintah Indonesia terhadap kasus sengketa dengan Uni Eropa telah disampaikan ke WTO pda Senin (12/12/2022), seperti tertera dalam pengumuman sengketa dagang WTO. WTO dalam pengumuman resminya menyatakan Indonesia telah memberitahukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) atas keputusannya untuk mengajukan banding.

"Atas masalah hukum dan penafsiran hukum tertentu dalam laporan panel,” tulis WTO dalam pengumuman resmi, dikutip pada Rabu (14/12/ 2022).

Pemberitahuan banding tersebut diajukan bersamaan dengan pengajuan banding kepada Sekretariat Badan Banding atau Appellate Body Secretariat. Persoalannya, pengajuan banding Indonesia ke DSB berpotensi molor lama. Pasalnya, hakim uji pada badan banding atau Appellate Body WTO lagi mengalami kekosongan saat ini.

Appellate Body sebagai pengadilan banding sistem penyelesaian WTO sejak 2019 tidak lagi efektif menyelesaikan sengketa antarnegara lantaran kekosongan hakim uji dan pemblokiran atas penunjukan hakim baru oleh Amerika Serikat. Untuk mengatasi kevakuman appellate body saat ini, dilakukan perbaikan kelembagaan dan kemungkinan penggantian sistem ajudikasi dua tingkat dengan ajudikasi satu tingkat.

Laporan WTO menambahkan karena belum adanya anggota badan banding (appellate body) yang membentuk divisi untuk mengadili banding Indonesia saat ini. “Indonesia diminta untuk menunggu instruksi lebih lanjut tentang langkah lebih lanjut yang akan diambil,” seperti dikutip dari laporan WTO itu.

Dari gambaran di atas, kasus sengketa dagang itu akan molor dan berlarut-larut hingga keluar sebuah keputusan. Bagi Indonesia, kebijakan yang diambil soal hilirisasi cukup jelas dan terang benderang. Hilirisasi tetap diteruskan.

Menurut Kepala Negara, adanya kebijakan pelarangan ekspor itu, Indonesia mendapatkan lompatan nilai tambah yang signifikan. Dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp17 triliun menjadi Rp360-an triliun pada 2021.

"Ini baru nikel, bauksit kemarin kita umumkan di Desember setop juga mulai Juni 2023 dan akan kita industrialisasikan di dalam negeri. Saya tidak tahu lompatannya tapi kurang lebih Rp20 menjadi Rp60--Rp70 triliun," tambah Jokowi.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari