Krisis pangan dan energi hingga risiko resesi tengah menghantui semua negara, termasuk Indonesia.
Dunia kini dihantui ketidakpastian seiring dengan masih berlangsungnya krisis konflik Rusia-Ukraina. Dampak lanjutan dari konflik itu adalah pasokan energi menjadi terhambat. Demikian pula pasokan pangan. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia juga terkena dampaknya.
Itulah sebabnya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali melontarkan peringatan akan pengaruh dari kondisi global tersebut. "Banyak yang belum memiliki perasaan yang sama bahwa kita sekarang ini berada dalam kegentingan global. Kita diincar oleh ancaman dan risiko-risiko, baik itu yang namanya resesi global, resesi keuangan, krisis pangan, dan krisis energi," ujar Joko W idodo, Rabu (11/1/2023).
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi pun menyitir pernyataan Direktur Pelaksana Dana Moneter (IMF) Kristalina yang menyatakan bahwa pada 2023, sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi. Artinya, jika ada 200 lebih negara di dunia, 70 di antaranya akan mengalami resesi.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk terus menyampaikan perkembangan situasi global saat ini kepada masyarakat, termasuk krisis yang memicu kenaikan harga komoditas pangan dan energi. Pernyataan senada juga dikemukakan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin di Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian, Rabu (25/1/2023). Wapres Ma'ruf meminta, Kementerian Pertanian menggenjot angka produksi beras di dalam negeri agar meningkat dari tahun ke tahun.
Wapres Ma'ruf mengatakan, produksi beras semestinya tidak hanya fokus pada upaya mencapai surplus stok, melainkan juga meningkatkan jumlah beras yang diproduksi. "Saya minta fokus kita agar jangan hanya pada surplusnya, tapi juga pada besaran angkanya. Harapannya, jumlah surplus terus meningkat dari tahun ke tahun, artinya produksi beras juga meningkat dari tahun ke tahun," ujar Wapres.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras memang selalu surplus setiap tahun. Namun, jumlah surplus beras itu cenderung turun dari tahun ke tahun, dari 4,37 juta ton pada 2018 menjadi 1,74 juta ton pada 2022.
Wapres Ma’ruf pun mengingatkan, sektor pertanian adalah sektor yang kritikal karena harus mampu menyediakan pangan bagi lebih dari 275 juta jiwa di Indonesia. "Ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan menjadi persoalan kritikal yang harus senantiasa dikelola dengan baik, seiring dengan meningkatnya tren pertumbuhan penduduk," kata Wapres Ma'ruf.
Wapres Ma’ruf juga mengingatkan, Kementerian Pertanian agar mengidentifikasi komoditas pangan yang tepat dalam menghadapi krisis pangan dunia, serta fokus mendorong pengembangannya, termasuk penetapan target produksi dan lokasinya.
Berkaitan dengan kondisi itu, disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, pihaknya berpatokan pada tiga strategi dalam menghadapi krisis pangan global tahun ini. Pertama, peningkatan kapasitas produksi guna menekan inflasi dan mengurangi impor. Kedua, pengembangan substitusi gandum dan daging impor. Ketiga, penaikan ekspor pangan yang diminati pasar.
Strategi itu menyasar 15 komoditas pangan, yakni cabai, bawang merah, kedelai, gula tebu, daging sapi, ubi kayu, sorgum, sagu, gula nontebu, daging kambing/domba, itik/ayam lokal, sarang burung walet, porang, ayam, dan telur.
Menurut Mentan Syahrul, dunia sedang dihadapkan pada potensi krisis pangan global. Selain karena persoalan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina, hal tersebut juga disebabkan oleh dampak perubahan iklim (climate change) yang mengganggu produksi pangan.
“Ada kemungkinan harga pangan dunia bergejolak karena beberapa faktor, seperti climate change yang mengganggu produksi pangan global. Untuk menyikapi hal ini, kami sudah menyiapkan tiga strategi dengan muara ketersediaan pangan meningkat dan harga stabil, serta ekspor naik. Tidak ada pangan yang mundur, produksi harus makin naik,” ujar Mentan Syahrul.
Menurut Mentan Syahrul, ketiga strategi tersebut. Pertama, peningkatan kapasitas produksi pangan untuk menekan inflasi (cabai, bawang merah) dan mengurangi impor (kedelai, gula, daging sapi).
Kedua, pengembangan pangan substitusi impor gandum (ubi kayu, sorgum, sagu), substitusi impor daging sapi (daging kambing/domba, itik/ayam lokal), dan substitusi impor gula tebu (gula nontebu, seperti stevia, aren, lontar, dan lain-lain).
Ketiga, peningkatan ekspor produk yang sedang diminati pasar (sarang burung walet, porang, ayam, telur). “Saat ini, sarang burung walet, porang, ayam, dan telur sangat diminati, permintaan banyak,” tutur dia.
Mentan Syahrul juga mengingatkan agar pemangku kepentingan di sektor itu melakukan intervensi teknologi mekanisasi pertanian. “Intervensi teknologi mekanisasi sangat penting dalam meningkatkan produksi pangan nasional,” ujar Mentan Syahrul.
Untuk itu, Mentan Syahrul mendorong jajaran Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan untuk memperluas penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) di seluruh Indonesia, salah satunya melalui program Taksi Alsintan.
“Pada Maret nanti, harapannya perluasan Taksi Alsintan sudah selesai. Taksi Alsintan harus kita implementasikan untuk membantu petani meningkatkan produksi,” ujarnya.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, Mentan Syahrul juga menyebutkan pentingnya tata kelola air serta mitigasi iklim dan cuaca di sektor pertanian. Pemantauan cuaca dapat dilakukan dengan mengoptimalkan data dan informasi iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Selain itu, Mentan Syahrul juga mengingatkan pihaknya ihwal tantangan yang tengah dihadapi sektor pertanian Indonesia, yakni alih fungsi lahan. Kementan telah melakukan berbagai upaya pencegahan sebagai tindak lanjut UU nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Mentan Syahrul meminta, pemerintah daerah turut aktif demi mengurangi laju alih fungsi lahan. “Pemerintah daerah harus memiliki ketegasan serta perencanaan yang baik dalam menjaga lahan pertanian dan alokasi lahan untuk kegiatan pembangunan lainnya. Hal ini penting demi menjaga produktivitas lahan pertanian,” ujarnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari