Sejauh ini, pemerintah sudah mengizinkan pemanfaatan obat herbal maupun fitofarmaka di sejumlah rumah sakit vertikal di Indonesia.
Salah satu dari enam program utama transformasi sistem kesehatan nasional yang digulirkan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) adalah Transformasi Sistem Ketahanan. Apa itu? Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan adalah ketahanan sistem kesehatan nasional dalam menghadapi kejadian luar biasa (KLB)/wabah penyakit/kedaruratan kesehatan masyarakat, melalui kemandirian kefarmasian dan alat kesehatan, penguatan surveilans yang adekuat berbasis komunitas dan laboratorium, serta penguatan sistem penanganan bencana dan kedaruratan kesehatan.
Dari segi kemandirian kefarmasian dan alat kesehatan, Indonesia kaya akan potensi bahan baku obat herbal, aromatik, dan fitofarmaka. Setidaknya ada ratusan jenis tanaman obat yang tumbuh di Indonesia yang menjadi bahan obat tradisional alias jamu, obat herbal, atau fitofarmaka. Indonesia menjadi salah satu eksportir tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah yang dikenal di pasar internasional.
Keberadaan obat herbal semakin diakui. Ketika pandemi Covid-19 melanda tanah air pada 2020 silam, Kemenkes mengizinkan penggunaan obat herbal di puskesmas, demi pemeliharaan kesehatan dan menambah daya tahan tubuh. Namun demikian, obat tradisional bukan dipakai untuk situasi darurat.
Oleh karena itu, pihak Kemenkes RI terus mendorong pengembangan obat herbal dan fitofarmaka sebagai langkah pengembangan kemandirian farmasi dan transformasi sistem kesehatan di Indonesia.
Menurut Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kemenkes RI Rizka Andalucia, dalam acara Forum Hilirisasi Fitofarmaka yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (4/12/2023), dukungan pemerintah dalam pengembangan obat herbal dan fitofarmaka amat jelas. Hal itu tertuang melalui UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang memberikan peran obat bahan alam dan fitofarmaka.
“Kita berusaha menempatkan fitofarmaka ini dalam pelayanan kesehatan konvensional, sehingga kita harapkan penerapan obat herbal di Indonesia menjadi semakin optimal,” Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI.
Sejauh ini, pemerintah sudah mengizinkan pemanfaatan obat herbal maupun fitofarmaka di sejumlah rumah sakit vertikal di Indonesia. Salah satunya, melalui kerja sama dan integrasi pusat pelayanan obat herbal yang dilakukan antara Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) di Tawangmangu, Jawa Tengah, dengan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta.
Belanja Kemenkes
Kerja sama tersebut terus dikembangkan pemerintah di beberapa rumah sakit lainnya. Termasuk, menggenjot pemakaiannya untuk fasilitas layanan kesehatan (faskes) masyarakat. Tercatat angka belanja fitofarmaka dan obat herbal terstandar (OHT) dalam negeri melalui melalui e-Katalog Sektoral Kemenkes hingga 28 November 2023 mencapai Rp13,9 miliar.
Demikian diungkapkan Plt Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes Eka Purnamasari dalam acara Forum Hilirisasi Fitofarmaka. Dijelaskan, sebanyak Rp8,3 miliar telah digelontorkan oleh 132 dinas kesehatan tingkat provinsi/kabupaten/kota di Indonesia dengan rincian Rp1,5 miliar untuk pembelian OHT serta Rp6,8 miliar digunakan untuk pembelian fitofarmaka.
Selain itu, sebanyak Rp5,6 miliar telah digelontorkan oleh sejumlah 163 rumah sakit vertikal dan rumah sakit umum daerah (RSUD) di Indonesia dengan rincian Rp2,4 miliar untuk pembelian OHT serta Rp3,2 miliar untuk pembelian fitofarmaka. Alokasi belanja obat herbal dan fitofarmaka memang belum besar.
Untuk itulah, Kemenkes berkomitmen belanja fitofarmaka dan OHT dalam negeri terus ditingkatkan melalui sejumlah upaya, salah satunya melalui strategi rencana aksi yang bertujuan membangun kerja sama kolaboratif antara akademisi, bisnis, pemerintah dan komunitas. Sebagai langkah mewujudkan pengembangan ekosistem industri fitofarmaka yang kondusif.
“Salah satunya melalui pengembangan dan peningkatan ketersediaan bahan baku natural untuk memenuhi kebutuhan industri obat bahan alam,” imbuh Eka Purnamasari.
Potensi Indonesia memang kaya bahan baku obat herbal. Merujuk data yang dihimpun Kemenkes, sedikitnya Indonesia memiliki 28 ribu spesies tumbuhan. Negeri Indonesia merupakan rumah dari 80 persen tumbuhan obat dunia. Hasil riset tumbuhan obat dan jamu (ristoja) mengatakan lebih dari 30 ribu ramuan tradisional telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia.
Pada Mei 2022, Kemenkes RI telah menerbitkan Formularium Fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan dan pengadaan fitofarmaka agar tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan serta sebagai acuan penggunaan fitofarmaka yang aman, bermutu, berkhasiat, dan terjangkau.
Peningkatan penggunaan fitofarmaka dalam negeri juga sejalan dengan Instruksi Presiden RI nomor 2 tahun 2022 yang berisi tentang percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hingga 28 November 2023 melaporkan, terdapat 17.000 obat bahan alam golongan jamu, 79 jenis OHT, serta 22 jenis fitofarmaka telah beredar di Indonesia. Dengan demikian, potensi obat herbal dan fitofarmaka akan terus berkembang seiring dengan kebutuhan kesehatan masyarakat serta kemajuan riset teknologi.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari