Indonesia.go.id - Murur, Skema Baru Jaga Keselamatan Jemaah Indonesia

Murur, Skema Baru Jaga Keselamatan Jemaah Indonesia

  • Administrator
  • Jumat, 14 Juni 2024 | 07:02 WIB
HAJI 2024
  Jemaah calon haji Indonesia menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka ke Arafah di Makkah, Arab Saudi, Jumat (14/6/2024). Dalam musim haji 2024 Kementerian Agama (Kemenag) mulai menerapkan skema murur demi menjaga keselamatan jemaah haji Indonesia.ANTARA FOTO/ Sigid Kurniawan
Dalam skema murur, saat melewati Muzdalifah, bus berhenti sejenak dan jemaah tetap berada di bus. Kemudian bus melanjutkan lajunya ke tenda Mina.

Pemerintah Indonesia mengambil langkah penting dalam menjaga keselamatan para jemaah ketika menjalankan salah satu rangkaian wajib dalam ibadah haji di Tanah Suci. Dalam musim haji 2024 Kementerian Agama (Kemenag) mulai menerapkan skema murur untuk membantu memudahkan jemaah haji usai melaksanakan wukuf di Arafah dan bermalam atau mabit di Muzdalifah sebelum melontar jumrah di Mina. Skema ini hanya diberlakukan bagi hampir 25 persen dari total 241.000 jemaah asal Indonesia atau sekitar 55.000 orang masuk dalam kategori jemaah risiko tinggi (risti), lanjut usia (lansia), disabilitas termasuk pendamping lansia.

Sebelum menetapkan murur, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) telah mendata dulu jemaah yang akan diikutkan dalam skema khusus ini. Datanya berasal dari petugas di masing-masing kelompok terbang (kloter) terhadap tiga kategori jemaah layak murur. Semua itu dilakukan ketika jemaah masih berada di Kota Mekkah dan bersiap menuju Arafah untuk wukuf. Melalui murur saat pukul 19.00 hingga 22.00 waktu Arab Saudi (WAS) pada 9 Dzulhijjah, jemaah yang telah selesai wukuf akan bergerak ke Muzdalifah dan tidak turun dari kendaraan untuk mabit. Tapi mereka akan langsung menuju Mina.

Skema murur berbeda dengan taraddudi atau proses normal. Karena jemaah dengan proses normal diberangkatkan PPIH dari Arafah menuju Muzdalifah setelah pukul 22.00 waktu setempat untuk kemudian bermalam sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Mina, mulai pukul 23.30 WAS. Didahulukannya waktu pemberangkatan jemaah skema murur dimaksudkan agar mereka tidak terhalang oleh arus skema normal antara Arafah ke Muzdalifah. Ini juga memberikan waktu lebih longgar bagi jemaah skema murur untuk naik dan turun kendaraan baik ketika berangkat dari Arafah atau saat tiba di Mina.

Jadwal murur lebih awal juga menghindari penumpukan kedatangan jemaah di Mina. Meski tiba lebih awal, jemaah murur cenderung tidak beraktivitas keluar-masuk tenda penginapan sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas. Untuk kebutuhan pemberangkatan seluruh jemaah ke Muzdalifah, baik dengan skema murur maupun normal, Pemerintah Indonesia menyiapkan ratusan bus milik Naqabah, operator operator transportasi darat milik Pemerintah Arab Saudi. Kemenag juga telah menyediakan kerikil yang digunakan untuk kebutuhan melontar jumrah di Mina. Sebanyak 70 buah kerikil disiapkan dalam satu kantong khusus kepada setiap jemaah murur.

Menurut Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kemenag Subhan Cholil, seperti diwartakan Antara, ke-70 buah kerikil itu digunakan untuk melontar di Ula, Wustha, dan Aqabah hingga selesai Nafar Tsani pada hari tasyrik 11--13 Dzulhijjah. "Kita juga telah memikirkan penyediaan kerikil untuk lontar jumrah," kata Subhan. Seluruh kerikil telah disiapkan oleh PPIH melalui mashariq sejak jemaah murur diberangkatkan dari Arafah. Mereka juga telah dibekali oleh snack berat agar tidak kelaparan dalam perjalanan dari Arafah menuju Mina.

Sedangkan Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Liliek Marhaendro Susilo menjelaskan, pelaksanaan murur terbukti membantu jemaah risti, lansia, dan disabilitas. Mereka memiliki waktu lebih panjang untuk beristirahat. "Indikatornya kalau kita secara logika saja, di pos kesehatan Mina tidak begitu banyak yang sakit. Ini juga sebenarnya antisipasi untuk menghindarkan jamaah kita mengalami sakit atau mungkin kelelahan yang lebih di cuaca yang seperti ini," ujar Liliek.

Ini karena dalam skema murur, saat melewati Muzdalifah, bus berhenti sejenak dan jemaah tetap berada di bus. Kemudian bus melanjutkan lajunya ke tenda Mina. Berdasarkan catatan PPIH, area Muzdalifah yang diperuntukkan bagi jemaah Indonesia luasnya mencapai 82.350 meter persegi (m2). Saat musim haji 2023, area tersebut ditempati sekitar 183.000 jemaah Indonesia dalam 61 maktab. Selain itu, ada sekitar 27.000 orang di 9 maktab menempati area Mina Jadid. Sehingga setiap anggota jemaah saat itu hanya mendapatkan ruang atau tempat sekitar 0,45 m2 di Muzdalifah.

Pada 2024, Mina Jadid tidak lagi ditempati jemaah Indonesia sehingga sebanyak 241.000 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah. Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat di Muzdalifah seluas 20.000 meter persegi sehingga ruang yang tersedia untuk setiap anggota jamaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah sekitar 0,29 m2. Oleh karena itu, mabit Muzdalifah dengan skema murur menjadi ikhtiar Pemerintah Indonesia untuk dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah.

 

Aspek Fikih

Sementara itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan, murur telah dikaji dengan mempertimbangkan aspek hukum fikih dan keamanan jemaah. Murur menjadi ijtihad dan ikhtiar bersama dalam menjaga keselamatan jiwa jemaah Indonesia di Tanah Suci, khususnya bagi lansia, risti, dan disabilitas. Murur juga sejalan dengan hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriah Nahdlatul Ulama. "Kita tidak hanya boleh bicara sekadar bagaimana murur itu bisa dilaksanakan dengan mudah," ungkap Yaqut.

Keputusan murur itu ikut didukung oleh Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis). Mereka menyatakan pelaksanaan haji dengan melakukan skema murur tetap sah dan tidak dikenai kafarat atau denda. Ketua Umum PP Persis KH Jeje Zaenudin mengatakan, pelaksanaan mabit yang tidak sempurna di Muzdalifah, yang disebabkan oleh pelaksanaan skema murur akibat ketiadaan lahan atau hal lainnya, merupakan salah satu bentuk kesulitan yang dapat ditoleransi.

Itu kategori masyaqqah (kesulitan) yang menyebabkan jemaah boleh melakukan murur dan tanpa ada kewajiban kafarat atau dam dan hajinya tetap sah. Persis lanjut Jeje, dalam keputusan Dewan Hisbah 2003 menegaskan mabit di Mina pada 11--12 Dzulhijjah hukumnya wajib. "Dalam kondisi tertentu dan menyulitkan pelaksanaan mabit. Sehingga tidak dapat bermalam di Mina, padahal pembimbing, petugas, dan jamaah, telah berikhtiar namun bisa terjadi kedaruratan, maka hajinya tetap sah," ujarnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Dia mengatakan, skema murur patut menjadi pilihan karena bertujuan menjaga keselamatan diri. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu menegaskan, murur dimungkinkan jika timbul kesulitan saat perjalanan menuju Mina. "Itu ada alasannya, masyaqqah, kesulitan. Dalam maqashid syariah, ada hifdzunnafs. Ada pertimbangan keselamatan jamaah. Perjalanannya sudah melewati malam. Saya kira sah," tegas Buya Anwar.

Apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tentunya dilakukan demi memberikan kenyamanan dan menjaga keselamatan 241.000 jemaah Indonesia yang berbaur dengan 3,32 juta jemaah lainnya dari 88 negara untuk menjalankan rukun Islam kelima di Mekkah dan Madinah. Semoga perjalanan ibadah haji mereka lancar dan mabrur serta dapat kembali ke tanah air dengan selamat.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari

Berita Populer