Bank Indonesia memastikan fundamental ekonomi Indonesia kuat. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS belakangan ini dinilai semata-mata sentimen negatif jangka pendek.
“Pada dasarnya rupiah akan menguat.” Begitu yang ditegaskan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo usai pertemuan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresiden, Jumat (21/6/2024).
Ucapan penguasa bank sentral RI itu terkait dengan nilai mata uang rupiah yang terus-menerus mengalami tekanan di tengah gejolak dunia yang tidak menentu. Jika pada akhir Mei 2024 rupiah berada di level Rp16.253 per dolar AS, maka pada 21 Juni 2024 nilainya sudah bergerak melemah di level Rp16.450.
Dihitung dari akhir Desember 2024, maka kisaran depresiasi (pelemahan) rupiah terhadap dolar sekitar 5,9 persen. Merujuk data yang dilansir Bloomberg, dari 21 Juni 2023 ke 21 Juni 2024, pelemahan rupiah sekitar 8,45 persen.
Depresiasi rupiah yang terbilang besar itu tidak urung membuat sejumlah kalangan khawatir. Bahkan ada prediksi persentase itu akan terus membesar, sehingga berdampak terhadap pengurangan cadangan devisa dan memicu inflasi.
Namun, Gubernur BI menepis analisa semacam itu. Perry meyakinkan pelemahan rupiah saat ini merupakan tren sesaat. Alasannya, saat ini fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, baik dari sisi inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Karena itu seharusnya rupiah itu menguat.
Menguatkan argumentasi itu, Perry menyodorkan sejumlah data dan indikator pendukung. Antara lain, angka inflasi Indonesia yang terbilang rendah. Yakni, berada di level 2,8 persen pada Mei 2024 (year on year). Kemudian pertumbuhan juga masih cukup tinggi yakni di posisi 5,1 persen. Selanjutnya pertumbuhan kredit juga bertambah 12 persen. Sementara imbal hasil pinjaman juga masih cukup menarik.
Sentimen Jangka Pendek
Adalah faktor-faktor jangka pendek, jelas Perry, yang mempengaruhi nilai tukar. Di antaranya seperti ketegangan di Timur Tengah yakni serangan Israel ke Jalur Gaza yang tak kunjung berhenti. Kemudian kebijakan suku bunga Bank Sentral AS (the Fed Fund Rate) yang tak jadi turun dan masih tinggi. BI pun memperkirakan suku bunga acuan AS hanya akan turun sekali pada akhir tahun.
AS belum lama ini menaikkan suku bunga obligasi pemerintah dari 4,5 menjadi 6 persen. Mereka menaikkan suku bunga untuk membiayai utang. Kebijakan suku bunga tinggi di AS menjadi pemicu utama pelarian modal, baik di Indonesia, maupun di negara lain.
Atas keadaan tersebut, respons bank sentral RI adalah dengan cara menaikkan suku bunga acuan. Langkah itu dibarengi dengan melakukan intervensi pasar. Namun, resep BI kali ini rupanya belum sepenuhnya berhasil.
Mata uang rupiah memang sempat menguat Rp16.500 menjadi Rp15.900 per dolar AS. Namun, keperkasaan rupiah tidak bertahan lama. Adanya sentimen-sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri, membuat kembali loyo. Terlebih di saat Bank Sentral Amerika Serikat (AS) mengambil kebijakan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25-5,50 persen pada pertengahan Juni 2024.
Langkah the Federal Reserve yang ketujuh kali berturut-turut mempertahankan suku bunga tersebut, menjadikan dolar perkasa.
Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan periode Maret 2022 yang masih berada di posisi 0,25 persen-0,50 persen. Secara total the Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak 550 bps sepanjang Maret 2022 sampai September 2023.
Kebijakan suku bunga the Fed membuat dolar perkasa terhadap banyak mata uang dunia. Sebut saja rupiah yang dari akhir tahun sampai dengan Juni 2024 telah turun 5,92 persen. Demikian juga bond Korea 6,78 persen, bath Thailand 6,92 persen, peso Meksiko 7,89 persen, real Brasil 10,63 persen, dan mata uang yen Jepang 10,78 persen.
Merujuk data tersebut di atas, tidak berlebihan jika Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap optimis. Menkeu pun sejalan dengan pandangan Gubernur BI bahwa pelemahan rupiah itu relatif lebih baik dan berkeyakinan rupiah akan kembali menguat.
Sentimen Domestik
Otoritas jasa keuangan mendata bahwa pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen domestik. Pada Juni ada permintaan dolar dari korporat. Permintaan dolar dalam jumlah besar pada triwulan kedua terbilang wajar karena perusahaan menggunakannya untuk repratriasi dividen dan membayar utang. Selain itu, masalah persepsi fiskal ke depan di masa transisi juga ikut membuat tekanan terhadap rupiah.
Gubernur BI meyakinkan ke publik bahwa fundamental rupiah sejatinya sangat kuat dan akan terus menguat. Namun, dari minggu ke minggu, bulan ke bulan sentimen-sentimen negatif bermunculan, sehingga rupiah terkesan labil; kadang kuat, di lain waktu melemah. “Tapi, pada dasarnya rupiah akan menguat," tegas Perry.
Cadangan Devisa Aman
Pemikiran Gubernur BI mendapat penguatan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, seluruh jajaran di KSSK secara terus-menerus memantau stabilitas sistem keuangan baik dari sisi perbankan dan institusi nonbank, serta pergerakan kurs yield surat berharga dan saham. Saat yang tepat mengambil kebijakan untuk mengeliminir risiko sistemik sektor keuangan dan moneter.
Pendek cerita, pemerintah meyakinkan akan selalu berada di pasar untuk menstabilkan rupiah. Lagi pula, saat ini cadangan devisa RI juga cukup besar yakni mencapai USD139 miliar per Juni 2024 yang dikumpulkan aliran modal banyak masuk ke dalam negeri.
Cadangan devisa itu akan dipakai untuk melakukan intervensi, termasuk buat membeli surat berharga negara di pasar sekunder. Sehinggga bisa menarik modal (inflow) dan menghindari outflow terus-menerus.
BI juga memanfaatkan instrumen SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) untuk menarik modal masuk. Ada modal masuk dari luar senilai Rp179,86 triliun ke SRBI yang menambah pasokan valas di dalam negeri. BI juga melakukan koordinasi dengan pemerintah dalam penerapan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA).
Penulis: dee waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari