Indonesia, salah satu produsen jagung terbesar dunia, tak hanya memenuhi kebutuhan pangan tapi juga merintis energi terbarukan dari limbah jagung. Pemerintah terus mendorong produksi jagung untuk swasembada dan ekspor. Inovasi biomassa dari limbah jagung siap mengurangi polusi dan mendukung energi hijau.
Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen jagung terbesar di dunia. Komoditas ini dapat diolah menjadi berbagai kebutuhan, seperti bahan makanan dan pakan ternak. Selain itu, limbah jagung berupa tongkol dan jeraminya memiliki potensi besar untuk diubah menjadi sumber energi terbarukan, yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta dampak negatif terhadap lingkungan.
Untuk memperkuat ekosistem pangan, pemerintah terus mencari solusi untuk meningkatkan produksi jagung guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, permintaan pasar ekspor, dan substitusi bahan energi baru terbarukan berupa biomassa untuk pembangkit listrik.
Pemerintah telah menyiapkan kebijakan terkait percepatan pengembangan jagung dengan menetapkan strategi menuju swasembada berkelanjutan melalui roadmap jagung 2022-2024. Indonesia memiliki kebutuhan untuk terus menggenjot produksi jagung secara swasembada, terutama karena beberapa negara pengekspor jagung menerapkan pembatasan ekspor guna memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri mereka.
Melalui intensifikasi berupa peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi berupa perluasan areal tanam baru, pemerintah berharap dapat meningkatkan produksi jagung, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun permintaan dari negara lain.
Menurut data Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, produksi jagung dengan kadar air (KA) 27,81 persen (jagung pipilan basah di petani) hingga akhir tahun diprediksi mencapai 25,3 juta ton. Sementara itu, produksi jagung dengan KA 14 persen (jagung simpan di gudang) diperkirakan mencapai 18,7 juta ton.
Asumsi kisaran produksi 18,7–25,3 juta ton diharapkan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 15 juta ton. Sisanya dapat digunakan untuk cadangan nasional, diekspor, atau sebagai bahan baku biomassa untuk pembangkit listrik.
Sepuluh kabupaten di Indonesia yang tercatat sebagai produsen jagung terbesar adalah Tuban (42.811 ha), Bone (30.131 ha), Lampung Timur (35.905 ha), Lampung Selatan (33.840 ha), Bima (29.178 ha), Dompu (28.895 ha), Sampang (28.152 ha), Pamekasan (22.086 ha), Lampung Tengah (19.122 ha), dan Sumbawa (18.363 ha).
Untuk meningkatkan produksi jagung nasional, pemerintah telah menetapkan enam lokasi pengembangan produksi jagung, yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara, dengan total luas lahan 141.000 hektare, termasuk 86.000 hektare areal tanam baru.
Jika semua rencana ini terealisasi dengan baik, Indonesia berpotensi masuk dalam kelompok lima besar produsen jagung dunia. Saat ini, lima produsen jagung terbesar adalah Amerika Serikat (381,78 juta ton), Tiongkok (252,1 juta ton), Brazil (81,91 juta ton), Argentina (39,92 juta ton), dan Ukraina (28,07 juta ton).
Dalam satu kesempatan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan beberapa kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung nasional, termasuk pemenuhan kebutuhan alsintan untuk percepatan olah tanah, tanam, dan panen, serta penyediaan silo dan dryer di sentra produsen atau mobile dryer untuk wilayah terpencil.
Setiap tahunnya, sentra produksi jagung menghasilkan jutaan ton limbah berupa tongkol dan jerami. Limbah ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber polusi lingkungan yang serius. Namun, dengan pendekatan yang tepat, limbah ini dapat diubah menjadi bahan baku yang berharga untuk produksi energi biomassa.
Selama ini, terutama pascapanen, tongkol dan jerami sering dianggap sebagai limbah dan dibakar di lapangan, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berbahaya. Kini, limbah jagung dapat dioptimalkan menjadi biomassa untuk menghasilkan bahan bakar atau bahan kimia lainnya.
Memanfaatkan limbah produksi jagung sebagai bahan biomassa adalah langkah progresif menuju pertanian berkelanjutan dan pengurangan jejak karbon global. Selain itu, limbah ini dapat dioptimalkan untuk mendukung keberlanjutan energi dengan memproduksi bioenergi seperti bioetanol atau sebagai bahan bakar alternatif.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui anak usahanya PLN Nusantara Power telah mengimplementasikan produksi bioenergi. Bersama Pemerintah Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, limbah produksi jagung dimanfaatkan sebagai bahan biomassa untuk co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Punagaya, yang sebelumnya menggunakan sawdust dan woodchip.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyatakan komitmen PLN untuk menghadirkan energi bersih demi tercapainya Net Zero Emissions (NZE). "PLN terus meningkatkan bauran energi hijau dalam penyediaan listrik nasional. Penerapan co-firing biomassa menjadi solusi cepat dalam mengurangi emisi karbon dan peningkatan bauran energi baru terbarukan, karena tidak perlu membangun pembangkit baru," kata Darmawan dalam keterangan resmi, Minggu (16/6/2024).
Pj Bupati Jeneponto, Junaedi Bakri, mengapresiasi langkah PLN Nusantara Power dalam memanfaatkan limbah bonggol jagung untuk co-firing, mengingat Jeneponto juga merupakan salah satu produsen jagung di Sulawesi Selatan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari