Peraturan Pemerintah (PP) 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) menciptakan peluang usaha dengan kerja sama yang adil.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) sebagai regulasi lanjutan dari UU nomor 11/2020 tentang Cipta kerja.
Penerbitan PP ini tentu patut diapresiasi karena sudah mengikuti tren dan mengantisipasi perkembangan teknologi di sektor tersebut. Bisa dikatakan PP ini mengakomodasi penyediaan jasa konten (over-the-top), penyelenggaraan pos dan telekomunikasi, penggunaan spektrum frekuensi radio, hingga soal migrasi TV digital.
PP yang telah di-posting di laman Setneg RI tersebut terdiri atas 10 bab, 103 pasal, dengan penjelasan sejumlah ayat-ayatnya. Berkaitan dengan terbitnya PP tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengemukakan, regulasi itu menciptakan peluang yang luas kepada pelaku usaha dengan menciptakan kerja sama yang adil.
"Ini untuk membentuk kerja sama berdasarkan pada prinsip adil, wajar, nondiskriminatif dan menjaga kualitas layanan," ujarnya, Selasa (23/2/2021).
Lahirnya PP Postelsiar juga mendapatkan apresiasi dan pujian dari pengamat dan mantan Komisioner BRTI 2015-2018 Agung Harsoyo. Menurutnya, PP ini merupakan salah satu terobosan Pemerintahan Presiden Jokowi yang menguntungkan kepentingan nasional.
Pasal 15 Ayat (1) PP Postelsiar, misalnya, berbunyi bahwa kerja sama pelaku usaha, baik nasional maupun asing, yang menjalankan kegiatan usahanya melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dengan penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, nondiskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, penjelasan dari PP tersebut menyebutkan, yang dimaksud dengan kegiatan usaha melalui internet adalah over-the-top (OTT) dalam bentuk substitusi layanan telekomunikasi, platform layanan konten audio dan/atau visual, dan/atau layanan lainnya yang ditetapkan oleh menteri.
Namun, di pasal yang sama Ayat (4) juga menyebutkan, kerja sama dikecualikan bagi pelaku usaha berupa pemilik dan/atau pengguna akun pada kanal media sosial, platform konten, marketplace, dan jenis kanal lainnya.
“Pasal tersebut untuk demokratisasi informasi dengan tujuan agar pelaku usaha individual dalam negeri dapat membuat konten,” ujar Agung, dalam pernyataannya, Senin (22/2/2021).
Sementara itu, pada Pasal 15 (Ayat 6) terdapat pengaturan untuk memenuhi kualitas layanan kepada penggunanya dan/atau untuk kepentingan nasional, penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi dapat melakukan pengelolaan trafik, termasuk bagi OTT.
Tidak dipungkiri, regulasi itu bertujuan untuk menyeimbangkan tiga sudut pandang sekaligus, yakni pelaku industri, masyarakat (pelanggan), dan pemerintah. Karena diaturnya kualitas, penyelenggara jasa atau operator telekomunikasi akan berlomba menyajikan layanan terbaik, sehingga masyarakat yang menikmati dan pemerintah mendapatkan benefit.
Agung pun menilai wajar, pemerintah mengatur OTT yang beroperasi di Indonesia, baik asing maupun lokal, serta memberikan kewenangan kepada operator telekomunikasi untuk menggelola trafiknya. Hal itu dinilainya justru merupakan bukti bahwa pemerintah, yakni Kemenko Perekonomian dan Kemkominfo, telah melindungi kepentingan nasional.
Pengaturan ini bagian tak terpisahkan dari pemberian pelayanan kepada masyarakat “Dengan PP Postelsiar ini, saya melihat pemerintah mengharapkan agar aturan baru ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia daripada kepentingan asing,” ujar Agung.
Yang menarik dari PP 46/2021 itu adalah pada Pasal 21 dan semua ayat di dalamnya yang menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar, berupa tanah, bangunan, dan/ atau infrastruktur pasif telekomunikasi.
Artinya, satu operator tidak perlu membangun infrastruktur baru di satu daerah yang sudah tersedia infrastruktur yang dibutuhkan. Di dalam regulasi sebelumnya, ada kewajiban satu operator untuk memenuhi kewajiban pembangunan universal service obligation (USO) yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, terutama di Pasal 21 PP 46/2021, bila satu operator membutuhkan infrastruktur yang dimiliki operator lainnya dan kerja sama yang diupayakan tidak berhasil, maka akses penggunaan infrastruktur bersama wajib diberikan sesuai yang diatur pemerintah.
Berbagi Infrastruktur
Pasalnya, penyelenggara maupun operator jasa telekomunikasi seringkali kesulitan dalam memperluas jaringan hingga ke berbagai pelosok tanah air. Dengan adanya PP tersebut regulasi itu mempermudah penyelenggara jasa telekomunikasi untuk bekerja sama dalam berbagi infrastruktur pasif (infrastructrure sharing).
Hal ini diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2). Ayat (1) menyebutkan, penyelenggara jaringan dalam menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dapat bekerja sama dengan penyedia infrastruktur pasif. Selanjutnya, Ayat (2) disebutkan bahwa infrastruktur pasif meliputi gorong-gorong (duct), menara, tiang, lubang kabel (manhole), dan/atau infrastruktur pasif lainnya.
PP itu pun mengatur pengaturan tarif jasa telekomunikasi. Pasal 30 Ayat (1) menyebutkan, besaran tarif penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara berdasarkan formula yang ditetapkan oleh menteri.
Pada Ayat (2) disebutkan, menteri dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat. Selanjutnya, Pasal 50 Ayat (1) menyebutkan, penyelenggara jaringan telekomunikasi pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio dapat melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru. Sejumlah ketentuan di atas juga untuk mendukung implementasi teknologi seluler genarasi kelima (5G).
Dan, yang menarik lagi dari PP Postelair ini adalah Bab V mulai Pasal 68 hingga Pasal 79 yang membahas soal penyelenggaraan penyiaran. Dari sejumlah pasal itu, masalah terkait migrasi TV digital, terutama Pasal 78 Ayat (11) menyebutkan, menteri menetapkan penyelenggara multipleksing melalui evaluasi, atau seleksi berdasarkan pertimbangan, salah satunya untuk persiapan penghentian siaran analog (analog switch off/ASO).
Berkaitan dengan itu, Menkominfo mengemukakan terbitnya PP 46/2021 sebagai bagian dari UU Cipta Kerja telah menembus kebuntuan regulasi bidang penyiaran pada UU 32/2002 yang telah berusia belasan tahun. “Dengan lahirnya regulasi itu sudah merealisasikan dasar hukum untuk migrasi penyiaran TV analog ke digital dan kepastian tenggat waktu proses ASO. Kita memiliki waktu kurang lebih 20 bulan untuk meneruskan persiapan penghentian siaran televisi analog dan beralih sepenuhnya ke siaran digital di seluruh Indonesia,” tuturnya.
Itu tertuang di Pasal 78 Ayat 11 mengatur migrasi dari TV terestrial ke digital yang ditargetkan terjadi pada 2022. Selain itu, Pasal 85 Ayat (1) pun menyebutkan, pemerintah membantu penyediaan alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/ STB) kepada rumah tangga miskin agar dapat menerima siaran TV secara digital melalui layanan terestrial.
Selanjutnya, pada Ayat (3) disebutkan, jika penyediaan alat STB tidak mencukupi, dana dapat dipenuhi dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Selain itu, dana bisa dari sumber lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari