Indonesia.go.id - Menjawab Isu, dari Vaksin Sinovac Kedaluwarsa hingga AstraZeneca Berbahaya

Menjawab Isu, dari Vaksin Sinovac Kedaluwarsa hingga AstraZeneca Berbahaya

  • Administrator
  • Rabu, 17 Maret 2021 | 16:06 WIB
VAKSIN COVID-19
  Karyawan berjalan di dekat envirotainer berisi vaksin COVID-19 AstraZeneca saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Senin (8/3/2021) malam. ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Bukan hanya Sinovac, vaksin AstraZeneca pun diterpa kabar tak sedap. Vaksin asal Inggris yang telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada 8 Maret 2021, sebanyak 1,1 juta dosis, disebut berbahaya.

Dokter Siti Nadia Tarmizi selalu tampak sabar dan nyaris tidak pernah kehabisan senyuman. Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam urusan pandemi Covid-19 itu sehari-hari selalu siaga untuk tampil menjelaskan berbagai hal dan sebagian adalah isu-isu miring, kabar gorengan, yang kalau dibiarkan bisa menyesatkan.

Selasa (16/3/2021) siang, perempuan berdarah Palembang itu kembali muncul dalam konferensi pers virtual. Lagi-lagi, dokter lulusan Universitas Indonesia (UI) yang meraih gelar Strata-2 bidang epidemiologi itu harus kembali tampil meluruskan berita miring.

Kali ini mengenai vaksin Sinovac kadaluwarsa dan bahaya penggumpalan darah di balik vaksin AstraZeneca. Dalam hal kedaluwarsa, menurut Siti Nadia Tarmizi, batasan pada vaksin itu berbeda dari makanan atau obat pada umumnya. Maka, jika vaksin Sinovac yang disebut bahwa batas masa simpannya hanya sampai 25 Maret 2021 itu tidak lantas berarti larutan medis itu rusak dan tak terpakai per hari itu.

“Kita tahu bahwa vaksin Covid-19 itu semuanya vaksin yang jenisnya baru. Tentunya masa simpan yang  diterbitkan akan disesuaikan dengan data-data yang ada,” kata Nadia dalam keterangan pers virtualnya.

Yang disebutnya itu menunjuk ke vaksin Sinovac kemasan jadi yang tiba di Indonesia pada 7 dan 31 Desember 2020 yang seluruhnya berjumlah 3 juta dosis. Vaksin tersebut, menurut Nadia Tarmizi, diproduksi oleh pabriknya di Beijing, Tiongkok, antara September--November 2020. Pengembangnya Sinovac Biotech Company menjamin bahwa vaksinnya mampu melewati masa simpan dengan aman pada kurun tiga tahun, yakni sampai September-November 2023.

Namun saat masuk ke Indonesia, penanganan vaksin ini mengikuti ketentuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), pihak yang menerbitkan sertifikat emergency use authorization (EUA). Mengacu pada kedaruratannya, BPOM pun menerbitkan ketentuan masa simpan enam bulan terhitung sejak tanggal produksi, yakni September 2020. Dengan demikian, masa simpannya dianggap akan berakhir pada 25 Maret 2021.

Terlepas dari perbedaan cara  pandang tersebut, tiga juta dosis vaksin Sinovac itu telah terpakai semuanya. “Saat ini semuanya sudah tidak ada lagi pada fasilitas pelayanan kesehatan karena sudah habis kita gunakan untuk vaksinasi kepada tenaga kesehatan dan sebagian petugas pelayanan publik,” ucap Nadia, yang selain menjadi juru bicara Covid-19 adalah Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular di Kemenkes.

Dengan penjelasan itu, Nadia berharap, masyarakat tidak perlu khawatir atas safety vaksin yang kini beredar. “Pemerintah tak mungkin mengedarkan vaksin yang kedaluwarsa,” ujar Siti Nadia sambil tersenyum.

Ke depannya Satgas Covid-19 dan Kemenkes pun akan terus berpegang pada ketentuan BPOM sebagai pemegang otoritas dalam urusan obat.

AstraZeneca

Bukan hanya Sinovac, vaksin AstraZeneca pun diterpa kabar tak sedap. Vaksin asal Inggris yang telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada 8 Maret 2021, sebanyak 1,1 juta dosis, disebut berbahaya. Oleh karenanya, begitu kabar tersiar, pemerintah menunda penggunaannya, padahal masa simpannya akan selesai pada Mei 2021. Dus, 1,1 juta dosis itu akan terbuang percuma.

Melalui Nadia Tarmizi, Kemenkes menegaskan, pemerintah tak menunda distribusi vaksin Covid-19 dari AstraZeneca karena adanya isu bahwa vaksin tersebut menyebabkan penggumpalan darah dan berbahaya. Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah menahan distribusinya karena masih menunggu review terakhir para ahli, terutama dari BPOM serta Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI)

“Kita tahu ada beberapa negara, 10 atau 11 negara, yang menunda. Bukan membatalkan tapi menunda sementara saja, sampai mendapatkan informasi yang lebih jelas dari Badan POM masing-masing negara,” kata Nadia.

Isu timbul penggumpalan darah pascavaksinasi memang muncul di negara-negara tersebut. Nadia  menjelaskan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11  Maret lalu sudah merilis  klarifikasi, bersama dengan Europe Medicine Association (EMA) dan BPOM Inggris, bahwa tak ada hubungan antara terjadinya penggumpalan darah dan vaksin AstraZeneca. Bahwa terjadi pengumpalan darah, itu bisa terjadi, namun WHO memastikan bukan akibat vaksin.

Faktor penyakit bawaan disebut sebagai faktor yang paling memungkinkan. Lebih jauh, menurut Nadia Tarmizi, WHO melansir data bahwa saat ini sudah 17 juta orang menerima vaksin AstraZeneca. Fenomena penggumpalan darah yang dilaporkan sebanyak 40 kasus. “Jadi, sebenarnya kasusnya yang sangat kecil. Yang kedua, tak ada hubungannya dengan vaksin AstraZeneca. Bahwa Kemenkes menunda dulu pendistribusian AstraZeneca ini dikarenakan lebih pada kehati-hatian,” tegasnya.

Dalam waktu dekat diharapkan dapat dirilis penjelasan dari BPOM di masing-masing negara atas kasus pengumpalan darah itu. Di luar isu penggumpalan  darah, BPOM dan ITAGI masih mempertimbangkan soal kriteria penerima vaksin. Ada pertanyaan mendasar, apakah AstraZeneca diberikan ke masyarakat dengan kriteria yang sama dengan Sinovac. Faktanya, spesifikasi keduanya tak sepenuhnya sama.

Suntikan vaksin AstraZeneca direkomendasikan berjarak 9--12 minggu, sementara Sinovac dua minggu saja (untuk usia 18-59 tahun). Ada pula laporan lain yang menyebut, suntikan pertama AstraZeneca cukup cepat memberi kekebalan dan perlindungan, meskipun level yang optimum baru bisa dicapai setelah suntikan kedua. Toh, spesifikasi ini membuatnya cocok digunakan di tempat yang paling terpapar Covid-19.  

Semuanya masih dalam penilaian. “Jadi kita menunggu proses ini sambil tentunya proses pengecekan fisik, quality control, apakah ada vial yang rusak, kemasan yang kondisinya tak cukup baik, ini dipastikan dulu sebelum kita distribusikan ke tempat pelaksanaan vaksinasi,” tambahnya.

Nadia juga mengatakan Kemenkes memperhatikani shelf life (masa simpan) AstraZeneca yang pendek yaitu sampai akhir Mei 2021. “Tentunya 1,1 juta dosis vaksin yang sudah kita terima ini harus kita prioritaskan pada tempat-tempat di mana sebelum masa shelf life-nya habis,” ujar dokter Nadia Tarmizi, yang berpengalaman dalam penugasan pencegahan HIV dan TBC itu.

Dokter Nadia masih akan terus hadir menyampaikan info terbaru, seraya menangkal isu-isu miring yang terus berseliweran. Belum lama, ia harus tergopoh-gopoh mengklarifikasi  isu gorengan banyak wartawan kliyengan, lemas, bahkan klenger pascavaksinasi  di Senayan.

Sebelumnya ada kabar aparat akan melakukan pengejaran kepada mereka yang tidak memenuhi panggilan vaksinasi, isu dokter meninggal setelah vaksinasi di Palembang, dan banyak lainnya. Semua diduduksoalkan secara jernih disertai senyuman.

 

 

Penulis : Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari