Indonesia.go.id - Bahtera Mas di Atas Teluk Kendari

Bahtera Mas di Atas Teluk Kendari

  • Administrator
  • Kamis, 27 Agustus 2020 | 08:49 WIB
INFRASTRUKTUR
  Jembatan Bahtera Mas, Sulawesi Tenggara. FOTO: Nindya Karya

Jembatan yang melintasi Teluk Kendari siap dioperasikan. Dengan struktur cable stayed, tampilannya instagrammable. Bukan hanya sarana ekonomi, jembatan di berbagai tempat telah menjadi ikon wisata.

Kota Kendari berkembang dengan cara yang sangat khas. Ia tumbuh di bibir pantai dan melingkari teluk dari satu ujung sampai ke ujung yang lain. Sampai batas tertentu, mirip Kota Palu, Ambon, dan Jayapura. Yang membedakannya, Teluk Kendari itu relatif kecil, bentuknya mirip botol dengan mulut yang hanya selebar 200 m, lalu memanjang 7 km dengan lebar maksimum 3,5 km. Di depan mulut teluk itu ada Pulau Bungkutoko seluas 20 km persegi.

Memanfaatkan bentang alam yang unik itu, di sekeliling teluk tumbuh bangunan-bangunan yang indah. Yang paling ikonik tentunya masjid Al Alam yang tumbuh dan bertumpu di atas struktur beton persis di atas permukaan air teluk. Warga menyebutnya masjid di atas air.

Namun, tak lama lagi akan lahir ikon baru, yakni Jembatan Teluk Kendari yang melintas di atas “leher botol” teluk. Jembatan ini akan menghubungkan kota tua di sebelah utara teluk dengan daerah kota baru di sisi utara yang tumbuh pesat. Tentu, jembatan itu tidak hanya dimaksudkan agar menjadi ikon. Ia akan memberi akses baru menuju kawasan kota tua, pelabuhan lama (untuk pelayaran lokal) berada. Nama untuk jembatan baru itu sudah disiapkan, yaitu Bahtera Mas.

Jembatan baru itu dikerjakan oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XXI Kendari, lembaga yang berada di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Progres konstruksi seluruhnya telah mencapai 97,33 persen,” kata Kepala BPJN XXI Kendari Yohanis Tulak Todingrara, seperti dikutip dalam rilis Kementerian PUPR, Selasa (25/8/2020). Biaya proyek tersebut Rp800 miliar (multiyears) dan telah dimulai sejak 2017.

Menurut Yohanis Tulak Todingrara, pengerjaan konstruksi Jembatan Teluk Kendari itu terdiri dari jalan pendekat atau oprit (602,5 m), approach span (357,7 m), side span (180 m), dan bentang utama atau main span (200 m). Seluruhnya 1,4 km. Jembatan dengan tipe cable stayed ini memiliki lebar 20 meter dengan empat lajur serta median dan trotoar. 

Konstruksi cable stayed ini dipilih untuk meminimalisasi kebutuhan tiang penyangga. Badan jembatan ini hanya bertumpu pada dua pasang tiang tinggi yang berdiri di atas platform beton yang menancap ke dalam dasar teluk. Kabel-kabel baja pun direntang ke tepian gelagar jembatan, untuk memindahkan beban ke tiang-tiang kokoh itu.

Dengan adanya jembatan dengan jalan oprit baru di kedua ujungnya itu, perjalanan dari dua sisi kota bisa ditempuh lima menit saja. Sebelumnya, warga harus menyeberang dengan kapal feri atau melingkar sejauh 20 km melalui jalan darat.

Konektivitas antarbagian kota di Kendari meningkat. Apalagi semuanya juga telah terhubung ke jalan lingkar luar untuk menuju ke luar kota maupun ke kawasan baru Pulau Bungkutoko, kawasan industri baru yang sedang dikembangkan.  Di pulau itu juga ada Kendari New Port, pelabuhan baru yang melayani pelayaran samudera.

Pelabuhan Bungkutoko akan menjadi pintu utama bagi keluar masuknya berbagai komoditas dari dan masuk ke Kendari serta Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Selama ini, Sultra punya produk andalan seperti kakao, kopra, lada, kemiri, kacang mede, cengkeh, jagung, ikan, udang, serta bahan mineral seperti mangan, besi, kerak logam, nikel, dan beberapa lainnya. 

Produk-produk itu tidak akan dibiarkan keluar sebagai bahan mentah. Maka di Pulau Bungkutoko telah disiapkan kawasan industri penunjang seluas 26 Ha. Di pelabuhan juga akan dibangun terminal antarmoda (20 Ha), terminal multipurpose (32 Ha), terminal penumpang (23 Ha), serta tracking mangrove (24Ha) untuk penunjang wisata. Jembatan ke Pulau Bungkutoko itu telah dioperasikan 2019, selebar 9 meter, sekitar 100 meter panjang, dari kawasan Kota Baru Poasia, Kendari.

 

Ikon Kota

Sebagai negara maritim, kita-kota besar Indonesia tumbuh di teluk atau di tepian sungai besar di dekat muara. Dalam perkembangannya, ketika kota-kota telah tumbuh makin besar dan padat, infrastruktur jembatan pun diperlukan guna mempertautkan satu bagian kota dengan bagian yang lain. Jembatan itu pun dibangun bukan hanya sebagai sarana ekonomi semata, melainkan juga untuk ikon kota.

Tentu, banyak jembatan yang telah dibangun. Beberapa di antaranya menjadi ikon yang kuat, seperti Jembatan Ampera, Palembang, Sumsel, yang selesai dibangun pada 1965. Jembatan ini melintang di atas Sungai Musi sepanjang 1.170 meter (termasuk approach span-nya) di kedua ujung. Lebarnya 22 meter, dengan dua jalur pedestrian di kanan kiri. Jembatan ini dibangun atas prakarsa Presiden Soekarno.

Ikon kuat lainnya ada di Jembatan Barelang yang terdiri dari enam unit jembatan, panjangnya antara 240 m hingga 450 m, menghubungkan Pulau Batam, Rempang, dan Galang. Pembangunannya diprakarsai Profesor BJ Habibie, dikerjakan antara 1992-1997. Tiga jembatan di antaranya  dibangun dengan struktur cable stayed.  Sejak itu pula struktur stayed cable itu diikuti jembatan besar lainya.

Menyusul kemudian Jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong (Kalimantan Timur) yang diresmikan pada 2001. Jembatan ini panjangnya 710 meter, dan 270 meter di antaranya tergantung tanpa tiang di bawahnya. Namun, jembatan ini ambruk pada 2011. Sementara itu Jembatan Mahkota di Samarinda yang mulai dibangun 2002, sempat lama mangkrak karena perubahan tata ruang kota dan baru dapat dilanjutkan 2016 dan mulai beroperasi 2017.

Presiden Megawati memprakarsai jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) yang rampung dikerjakan  pada 2008. Jembatan ini panjangnya 5.400 meter dan lebih dari separuhnya di atas air. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengawal pembangunan Jembatan Sultanah Latifah di atas Sungai Siak Kota Siak Indrapura, Riau, dan diresmikannya 2007. Pada era Presiden SBY pula pekerjaan sulit pembangunan jembatan di Kelok Sembilan Sumatera Barat selesai pada 2013.

Presiden Joko Widodo termasuk yang banyak membangun jembatan. Jembatan Merah Youtefa di Kota Jayapura mulai dibangun pada awal 2015 dan diresmikan akhir 2019 oleh Presiden Jokowi. Dengan adanya jembatan itu, warga Jayapura tak perlu mengitari teluk untuk bergerak dari ujung timur kota ke ujung barat Jayapura. Struktur baja lengkung bercat merah, yang menjadi rangka penyangga jembatan itu membuat warga menyebutnya jembatan merah.

Presiden Jokowi meresmikan Jembatan Merah Putih yang melintang di atas Teluk Ambon pada 2016. Jembatan ini mulai dibangun 2011 di era Presiden SBY dan dilanjutkan oleh Presiden Jokowi.

Dengan semangat membangun infrastruktur, Presiden Jokowi pun meneruskan pembangunan Jembatan Ir Soekarno di Kota Manado yang sempat mangkrak 12 tahun. Akhirnya, jembatan ini bisa dioperasionalkan sejak Mei 2016. Sebulan sebelumnya, Presiden Joko Widodo meresmikan Jembatan Tayan di Pontianak, yang melintang di atas sungai Kapuas. Bentangan jembatan itu 1.400 meter, terpanjang di Kalimantan.

Jembatan Youtefa di Kota Jayapura, Merah Putih di Ambon, Jembatan Sokarno di Manado, Suramadu hingga Ampera dan Barelang, pada akhirnya bukan hanya infrastruktur. Struktur megah dan indah itu juga menjadi ikon kota. Instagrammable, cocok untuk swafoto dan menjadi kekayaan budaya dan pariwisata kota.

Dalam waktu dekat ini, aset ekonomi yang sekaligus ikon budaya itu akan bertambah dengan hadirnya Jembatan Bahtera Mas di atas Teluk Kendari. Semuanya keren. Kalau ada kesempatan, mengapa tidak swafoto di sana?

 

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer