Selama palu belum diketuk, rancangan undang-undang masih bisa berubah. Fatsun itu terjadi pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Setelah melewati perdebatan yang cukup ramai, klausul tambahan yang diusulkan pemerintah pada akhirnya bisa diterima DPR. Maka, sejumlah klausul baru pun masuk ke dalam klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker) tersebut.
Uraian teknik mengenai butir-butir usulan tambahan itu disampaikan Elen Setiasi, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian. Keteguhan Elen dalam mengawal usulan pemerintah itu membawa hasil. Sidang Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker DPR RI, yang menggelar agenda rapatnya di sebuah hotel di Jakarta pada Sabtu (26/9/2020), akhirnya menerima usul pemerintah tersebut secara bulat.
Elen Setiadi mengatakan, persetujuan Panja RUU menyangkut tujuh poin terkait perubahan atas UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 ada dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Poin pertama, terkait program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang belum diatur pada UU Ketenagakerjaan dan ternyata diperlukan pada saat pandemi Covid-19.
Program itu dinilai sangat dibutuhkan karena memberi manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Manfaat yang bisa dipetik, antara lain pemberian upah setiap bulan tergantung kesepakatan yang ditanggung dalam program tersebut, pelatihan peningkatan kapasitas, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.
Pemerintah mengatakan, perlindungan pekerja yang terkena PHK itu bisa berupa cash benefit, bisa juga vocational training, atau job placement access. Pekerja yang mendapat JKP tetap mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (Jkm), dan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Poin kedua, terkait durasi kerja. Selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu), RUU Cipta Kerja ini juga mengatur tentang waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, seperti pekerjaan yang dapat kurang dari 8 jam/hari, misalnya, pekerjaan paruh waktu dan ekonomi digital, dan juga pekerjaan yang melebihi 8 jam/hari, seperti migas, pertambangan, perkebunan, dan pertanian.
Poin ketiga, terkait rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), dalam UU Ketenagakerjaan sifatnya wajib bagi semua TKA, menghambat masuknya TKA Ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak, dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia. Dalam RUU Ciptaker, kemudahan pemberian RPTKA diatur hanya untuk TKA Ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti, dan investor.
Perlindungan bagi PKWT-Outsourcing
Poin berikutnya mengatur ihwal perlindungan terhadap pekerja kontrak perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Pada UU yang lama urusan ini belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Perkembangan teknologi digital dan revolusi industri 4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan pekerja untuk jangka waktu tertentu (pekerja kontrak). Pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap, antara lain, dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
Selanjutnya poin kelima mengatur tentang pekerja alih daya atau outsourcing. Diketahui, pada UU 13/2003 tercantum pembatasan untuk jenis kegiatan tertentu, dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih daya. Dalam RUU Ciptaker, alih daya merupakan bentuk hubungan bisnis sehingga pengusaha alih daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap yaitu dalam hal hak upah, jaminan sosial, dan perlindungan K3.
Poin keenam terkait upah minimum (UM), di UU Ketenagakerjaan dapat ditangguhkan sehingga banyak pekerja dapat menerima upah di bawah upah minimum, peraturan UM tak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro, kenaikannya menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya kesenjangan nilai UM di beberapa daerah. Sementara itu dalam RUU Ciptaker, UM tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM tersendiri.
Poin ketujuh, terkait pesangon PHK, di UU 13/2003, pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan dinilai sangat memberatkan pelaku usaha, dan mengurangi minat investor untuk berinvestasi. Di RUU Ciptaker diatur terkait penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK dan menambahkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Terkait sanksi pidana, Baleg DPR RI bersama pemerintah menyepakati sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan tidak akan dimasukkan dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) klaster ketenagakerjaan. Pemerintah akan mengikuti sejumlah Putusan Mahmakah Konstitusi (MK) atas berbagai pasal dalam UU Ketenagakerjaan. Putusan MK itu, antara lain, tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan jaminan sosial.
Sementara itu Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan, pemerintah dan DPR menyepakati konsepsi terkait beberapa hal. Pertama, ketentuan mengenai sanksi akan kembali menggunakan pengaturan di UU eksisting (UU nomor 13 tahun 2003). Dalam UU Ketenagakerjaan, sanksi pidana diatur dalam Pasal 183 hingga Pasal 189.
Kedua, dicabutnya upah minimum padat karya dari RUU Cipta Kerja. Pencabutan ini berdasarkan kesepakatan tripartit yang sebelumnya dilakukan. Ketiga, upah minimum kabupaten/kota tidak dihilangkan. Keempat, pengaturan klaster ketenagakerjaan wajib mematuhi putusan MK.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini