Hingga genap 10 bulan sejak virus SARS COV-2 kedapatan berjangkit di bumi pertiwi ini, angka penularan belum juga berhasil ditekan. Bahkan di hari-hari belakangan, jagat negeri berkali-kali disuguhi berita ‘rekor’. Memang ada berita rekor angka kesembuhan, tapi tak luput juga berita rekor angka penularan bahkan kematian.
Seiring itu, sajian visual mengenai grafik penularan juga menunjukkan adanya lonjakan angka yang signifikan pascaliburan akhir tahun 2020. Kondisi tersebut sejatinya sudah diramalkan oleh para ahli. Apalagi, dua masa liburan sebelumnya juga menyebabkan terjadinya kenaikan angka kasus infeksi yang relatif tinggi. Besarnya angka kasus infeksi dan angka kematian menunjukkan betapa serius persoalan yang harus dihadapi dalam menangani pandemi Covid-19 di tanah air. Belum lagi jika ditilik lebih teliti tentang jumlah keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR).
Diketahui, hingga akhir pekan lalu, Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito masih menekankan pentingnya kerja sama berbagai di jajaran pemerintahan untuk mencegah lumpuhnya sistem kesehatan secara keseluruhan. Termasuk di dalam penegasan itu, dia menjelaskan, tentang tempat tidur bagi pasien Covid-19 yang sudah terisi penuh dan kewalahan yang dialami nakes dalam memberikan pelayanan.
Sementara itu, masih soal BOR, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, BOR rumah sakit rujukan Covid-19 secara nasional telah mencapai 64,83 persen dari jumlah total 2.979 rumah sakit dengan jumlah tempat tidur keseluruhan sebanyak 81.032 unit. Walau begitu, Kadir juga mengakui, di sejumlah daerah BOR-nya bahkan di atas 80 persen. Sebut saja Jakarta dengan BOR yang mencapai 82 persen. Persoalan lainnya yang juga muncul seiring tingginya angka penularan virus corona adalah tingginya penularan pada tenaga kesehatan (nakes).
Bergumul dengan semua persoalan kesehatan tersebut, keberadaan vaksin seolah menjadi oase. Sebagaimana diketahui, demi memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 bagi rakyat Indonesia, pemerintah telah mengupayakan pengadaan sekitar 660 juta dosis vaksin, yang terbagi atas 330 juta yang sudah terkonfirmasi dan 330 juta dosis berupa opsi. Dalam konferensi pers, di penghujung Desember lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, untuk mengejar terbentuknya herd immunity, diperlukan vaksinasi terhadap sebanyak 188 juta orang, dari total 269 juta rakyat Indonesia.
Dengan memperhitungkan bahwa satu orang membutuhkan dua dosis vaksin dan juga memperhitungkan guideline dari WHO untuk mempersiapkan 15 persen untuk cadangan, maka total vaksin yang dibutuhkan ada sekitar 426 juta dosis. “Itu adalah jumlah yang sangat besar dan untuk itu pemerintah sudah berusaha keras untuk memastikan bahwa kita bisa mengamankan jumlah ini. Sampai sekarang ada lima jalur pengadaan vaksin yang kita sudah tempuh, empat di antaranya sifatnya bilateral dan satu sifatnya multilateral,” jelasnya.
Dari empat yang bilateral pemerintah sudah menandatangani kontrak dengan Sinovac sebesar 125 juta dosis, dan memiliki opsi untuk menambahnya. Selain itu, pemerintah juga telah menandatangani kontrak dengan Novavax untuk 130 juta dosis sebagai opsi. Ketiga, pemerintah juga akan segera menandatangani kontrak dengan AstraZeneca untuk 100 juta dosis vaksin, sebagian konfirmasi dan sebagian opsi. Selain itu, pemerintah juga segera menandatangani kontrak dengan Pfizer untuk 100 juta dosis vaksin, di mana 50 juta sudah konfirmasi dan sisanya adalah opsi.
Lebih lanjut Budi menyimpulkan, jadi total sekitar 400 juta dosis vaksin konfirmasi, 100 juta akan didatangkan dari negara Tiongkok, 100 jutaan akan didatangkan dari Novavax yaitu perusahaan Amerika Kanada, 100 jutaan akan didatangkan dari Astrazeneca, perusahaan di London, Inggris. Sedangkan 100 jutaan vaksin lagi akan didatangkan dari Pfizer, perusahaan gabungan dari Jerman dan Amerika.
Pemerintah juga melakukan kerja sama multilateral dengan institusi yang namanya GAVI, yang merupakan bagian dari WHO. Lembaga itu berencana memberikan vaksin itu secara gratis. Dosis yang bisa diberikan ke Indonesia berkisar antara 3 persen dari populasi atau 16 juta dosis sampai 20 persen dari populasi atau sekitar 100 juta. “Itu sebabnya kenapa kita perlu membuat kontrak dengan opsi dari beberapa pemasok vaksin yang ada tadi sehingga ada kepastian dari pengadaan vaksin yang sifatnya gratis, kita tidak usah ambil dari mereka [antara 4 perusahaan]. Tetapi kalau misalnya vaksin dari GAVI ini belum bisa ter-deliver sesuai dengan jadwal yang kita inginkan, kita sudah mengamankan suplai dari perusahaan-perusahaan tersebut secara bilateral,” paparnya.
Sejumlah negara di dunia memang tengah berupaya memproduksi vaksin mandiri. Ada Cina, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, hingga Israel. Di Jerman, perusahaan biofarmasi swasta bernama CureVac berdiri di garda depan produksi vaksin. Lalu di India, ada Serum Institute of India yang menggandeng Sanofi Pasteur, perusahaan farmasi dari Prancis. Di Amerika Serikat, vaksin Covid-19 dengan kode mRNA-1273 (messenger ribonucleic acid) sedang diupayakan oleh US National Institutes of Health dan Moderna Inc, perusahaan bioteknologi asal Massachusetts.
Berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebagaimana dilansir South China Morning Post, ada lebih dari 60 tim dari perusahaan farmasi, bioteknologi, badan pemerintah, lembaga penelitian, sampai universitas, yang terlibat dalam upaya pembuatan vaksin Covid-19. Kendati begitu disadari, proses produksi vaksin membutuhkan waktu tidak sebentar. Sedikitnya dibutuhkan waktu 12 bulan sebelum nantinya vaksin dilepas ke pasar. Pengujian vaksin biasanya dimulai kepada hewan. Tapi ada yang memangkas tahap itu langsung ke manusia.
Dalam produksi vaksin, pengujian terhadap manusia harus melalui tiga fase. Fase pertama, melibatkan sekitar 100 peserta dengan tujuan menilai apakah vaksin itu aman atau tidak. Fase kedua adalah jumlah yang diuji ditambah agar mampu mengevaluasi kemanjuran vaksin, yang berlangsung selama beberapa bulan sampai tahunan. Setelahnya, vaksin bisa diuji dalam skala lebih besar, dalam hal ini ke ribuan orang.
Vaksin Mandiri
Upaya penciptaan vaksin mandiri juga dilakukan oleh Indonesia. Jadi tak hanya menyiapkan tameng vaksin Covid-19 besutan negeri jiran, Indonesia pun mengembangkan beberapa kandidat vaksin. Nama vaksin yang dikembangkan di dalam negeri adalah Vaksin Merah Putih. Sedikitnya ada tujuh lembaga yang mengembangkan vaksin tersebut. Lima di antaranya berada di bawah perguruan tinggi. Yakni, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair). Sedangkan dua lainnya ada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, yakni Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sejumlah metode berbeda dipakai dalam proses pengembangan vaksin tersebut. Lembaga Eijkman, misalnya, mengembangkan kandidat vaksin Covid-19 dengan platform protein rekombinan. Platform yang sama pernah digunakan sebelumnya di Bio Farma untuk memproduksi vaksin Hepatitis B. Sedangkan UI mengembangkan vaksin dengan platform DNA, MRNA, dan virus-like particle. Lalu Unair dan ITB memilih menggunakan metode adenovirus untuk pengembangan vaksin Covid-19. Selanjutnya, UGM dan LIPI menggunakan protein rekombinan. Yang jelas, upaya memproduksi Vaksin Merah Putih merupakan bagian dari menciptakan kemandirian kesehatan Indonesia dan itu patut diapresiasi.
Dan, kita menyakini produksi itu bukanlah pekerjaan yang yang mudah. Namun, dengan kemampuan memproduksi vaksin sendiri, negeri ini tidak bergantung kepada negara lain. Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pernah mengingatkan bahwa tanpa memproduksi sendiri, negara terpaksa bayar lebih mahal untuk pengadaan vaksin. Sebab pada dasarnya, sebuah negara membuat vaksin dengan tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Itulah sebabnya, Amin pun berusaha menumbuhkan keyakinan berbagai pihak bahwa sejauh ini sumber daya maupun infrastruktur penunjang yang dimiliki Indonesia sudah siap dalam membuat vaksin sendiri.
Pada medio Desember lalu, sebuah terobosan dalam pembuatan Vaksin Merah Putih disampaikan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro. Menteri Bambang memastikan untuk mempercepat uji klinis vaksin merah putih. Tujuannya, agar pada akhir 2021 sudah bisa diproduksi massal untuk masyarakat. "Kami sudah komunikasi dengan Bio Farma, sudah komunikasi dengan BPOM, untuk melakukan upaya percepatan untuk uji klinis, tetap dengan memperhatikan semua protokol yang dibutuhkan," katanya, dikutip dari Antara, Jumat (18/12/2020).
Menteri Bambang juga mengatakan, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, UI, dan Unair berpotensi menyerahkan bibit Vaksin Merah Putih kepada PT Bio Farma pada triwulan I 2021. Pada penghujung Januari 2021, asa atas keberadaan Vaksin Merah Putih kian membengkar. Dalam keterangan resminya pada Kamis (28/1/2021), Menteri Bambang menyampaikan harapan bahwa vaksin kebanggaan negeri itu sudah bisa digunakan pada vaksinasi 2022. “Pada Maret ini, semoga bibit vaksin dapat diserahkan ke Bio Farma untuk kemudian dapat diproses selanjutnya hingga uji klinis. Harapan kita semua agar Vaksin Merah-Putih dapat digunakan dalam vaksinasi pada tahun 2022,” kata Menteri Bambang.
Di tengah pandemi yang merudung dunia, merajut asa di bidang kefarmasian merupakan sebuah keniscayaan. Keberhasilan di bidang pengembangan vaksin atau obat-obatan mandiri sekaligus menjadi wujud bakti anak negeri.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Firman Hidranto/ Elvira Inda Sari