Indonesia.go.id - Bangkit dan Kembali Tumbuh

Bangkit dan Kembali Tumbuh

  • Administrator
  • Senin, 8 Februari 2021 | 14:51 WIB
EKONOMI
  Foto udara gedung apartemen dan perumahan mewah di atas mal di Jakarta. Bisnis eeal sstate menjadi satu sektor yang turut berperan mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Kontraksi ekonomi akibat pandemi dialami semua negara di berbagai belahan dunia. Kinerja ekonomi Indonesia tahun 2020 ada sektor-sektor yang mengalami tekanan berat sampai ringan. Namun ada pula yang bertahan, bahkan tumbuh positif.

Pandemi Covid-19 yang melanda secara global sejak awal tahun menjadi biang keladi atas kemerosotan  ekonomi pada 2020. Kontraksi ekonomi dengan derajat berbeda terjadi di seluruh dunia. Indonesia sendiri menutup 2020 dengan kontraksi 2,07 persen, setelah di kuartal pertama (Q1) sempat tumbuh 2,97 persen, lantas berturut-turut terkontraksi 5,32 persen di Q2, 3,49 persen pada Q2 dan 2,19 persen pada Q4.

Hal ini disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, ketika memaparkan kinerja produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2020, dalam konferensi pers virtual, Jumat (5/2/2021).

Secara relatif, tekanan terhadap PDB alias gross  domestic product (GDP) di Indonesia tak sedalam negara-negara Asean lain. Negeri jiran Malaysia, misalnya, mengalami kontraksi 6 persen, Thailand tertekan 7,1 persen, Singapura 6 persen, dan Filipina bahkan 8,3 persen. Hanya Vietnam yang mampu mencatat pertumbuhan positif, yakni 2,7 persen.

Secara kumulatif, keenam negara utama di Asean, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam, terkontraksi 3,7 persen. Ekonomi global menyusut 3,5 persen pada 2020. Hanya segelintir yang dapat bertahan di jalur hijau, yakni tetap pada tren positif, di antaranya, Vietnam dan Tiongkok yang dalam perkiraan IMF tumbuh 2,3 persen.  

Grup G-20, yakni kelompok 20 negara dengan GDP terbesar di dunia, dan Indonesia ada di dalamnya, juga babak belur oleh virus Covid-19.  Spanyol terkontraksi 11,2 persen, Inggris 10 persen, Prancis 9 persen, Meksiko 8,5 persen, Jepang 5,1 persen, dan Amerika Serikat (AS) 3,4 persen. Laju pertumbuhan India yang amat mengesankan selama beberapa tahun terakhir, menurut kajian Dana Moneter Internasional (IMF) yang dirilis akhir Januari 2021,  harus terinterupsi oleh pertumbuhan negatif 8 persen pada 2020.

Di tengah pelambatan ekonomi akibat  pandemi itu, jamak dilakukan oleh pemerintah di hampir semua negara untuk menambah utang publik guna penguatan kapasitas fiskalnya. Dalam konteks Indonesia, utang luar negeri meningkat menjadi USD416 miliar (sekitar Rp5.853 triliun) per Januari 2021. Separuhnya adalah utang publik yang harus ditanggung Pemerintah RI dan Bank sentral (BI), separuh lainnya oleh swasta dan BUMN.

Utang negara itu digunakan untuk menguatkan belanja negara, sehingga pada APBN ada ekspansi utang sebesar 6,1 persen dari PDB. Hasilnya, belanja pemerintah tumbuh 12,2 persen, yang sebagian besar terserap untuk penaggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Toh, dibandingkan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara (Asean), utang Indonesia secara relatif bukan yang terbesar. Negara-negara lain juga melakukan langkah serupa untuk menguatkan anggaran belanjanya. Secara kumulatif, realisasi utang publik Indonesia ada di level 38,5 persen dari GDP. Sedangkan negara Asean lain, seperti Filipina mencapai 48,9 persen, Vietnam 46,6 persen, Thailand 50,4 persen, dan Malaysia  67,6 persen.

Infokom Tumbuh Tinggi

Bila dirinci, dibalik kinerja ekonomi Indonesia 2020 ada sektor-sektor yang mengalami tekanan berat sampai ringan. Namun ada pula yang bertahan, bahkan tumbuh positif. BPS  merincinya ke-17 sektor perekonomian. Dari jumlah itu, 10 di antaranya  memperlihatkan kinerja negatif akibat dampak pandemi.

Dampak pandemi terdalam pada 2020  terjadi pada sektor transportasi dan pergudangan yang terkontraksi hingga 15,04 persen. Diikuti oleh sektor akomodasi dan mamin (makanan minuman) yang  tercatat minus 10,22 persen. Merosotnya bisnis akomodasi dan mamin, menurut Kepala BPS, merupakan akibat merosotnya tingkat hunian hotel karena menurunnya jumlah wisatawan. “Jumlah wisatawan mancanegara terkontraksi 75 persen dan sejumlah hotel serta restoran tutup selama pandemi Covid-19,” jelas Suhariyanto.

Kinerja negatif diikuti oleh industri pengolahan yang minus 2,93 persen, perdagangan minus 3,72 persen, konstruksi minus 3,26 persen, sektor pertambangan dan penggalian minus 1,95 persen, jasa perusahaan minus 5,44 persen, dan pengadaan listrik-gas minus 2,34 persen.

Sedangkan beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, antara lain, pertanian, kehutanan, perikanan yang tumbuh 1,75 persen. Lalu, sektor jasa keuangan dan asuransi 3,25 persen.

Untuk sektor informasi dan komunikasi (infokom) terjadi pertumbuhan paling tinggi, yakni 10,50 persen. Selebihnya, sektor jasa pendidikan 2,63 persen, real estate 2,32 persen, jasa kesehatan serta kegiatan sosial 11,60, persen, serta pengadaan air 4,94 persen.

Optimisme Global

Secara umum bergulir optimisme bahwa kondisi  pada  2021 akan lebih baik. Kinerja ekonomi di banyak negara umumnya mulai merayap bangkit di kuartal 3 dan 4 pada 2020 ini. Setelah sempat terhempas di kuartal 1 dan 2. Memasuki 2021, optimisme dunia bertambah dengan mulai dilaksanakannya vaksinasi.

Tren penyebaran Covid-19 sendiri, selama tiga pekan berturut-turut Januari 2021 menyusut  rata-rata 9 persen. Pada pekan terakhir Januari penurunannya sampai 13 persen. Begitu pun angka kematiannya terus bisa ditekan.

Maka, IMF merilis proyeksi kinerja ekonomi yang menggembirakan. Ekonomi dunia bakal tumbuh 5,5 persen. Negara-negara G-20 pun akan bangkit. AS diprediksi tumbuh 5,1 persen, Tiongkok 8,1 persen, India bahkan 11,2 persen. Raksasa ekonomi lainnya seperti Jepang bakal tumbuh, begitu halnya Jerman, Inggris, Prancis, dan negara Eropa lainnya.

Secara khusus, wilayah Asean juga diperkirakan kembali tumbuh dengan kecepatan yang mengesankan. Indonesia sendiri diharapkan bisa kembali pada track pertumbuhan dalam level sekitar 5 persen.

 

 

 

Penulis: Putut Tri Husodo
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari